Kopi Gayo
"Kopi Kaheng" Membelah Tanah Gayo yang Berkabut
@fikarweda
(Pak Kaheng menyeduh kopi, untuk pelanggan)
Ketika Takengon, Ibukota Kabupaten Aceh Tengah, Dataran Tinggi Gayo, masih diselimuti kabut dan disergap udara dingin, Warung Kaheng siap mengantarkan kehangatan dengan secangkir kopi panas dan kopi susu telor kocok (wing). Tersedia pula aneka penganan atau "penan" sebagai "teman" kopi. Penganannya enak. Salah seorang pelanggannya adalah keluarga Marwan Hakim, yang tinggal tak jauh dari warung itu. Tiap pagi, keluarga ini membeli penganan dari Warung Kaheng. Jenis penganannya beragam: kue bohong, pulut panggang, kue kacang, dan banyak lagi.
Warung Kaheng buka sebelum gema azan subuh, setiap hari. Selalu ramai dikunjungi pelanggan, mulai dari jamaah masjid, petani, nelayan, politisi, polisi, pemuda dan pegawai negeri sipil.
Warung Kaheng, salah satu warung kopi favorit warga Kota Takengon. Terletak di Jalan Sengeda Pasar Inpres Takengon, warung tersebut memanfaatkan sebuah bangunan ruko permanen. Meski tak menggunakan papan nama, hampir tak ada warga Kota Takengon yang tak mengenal Warung Kaheng. Warung ini Selalu ramai dikunjungi, terutama pagi sampai siang hari.
Jamaah Masjid Belang Mersa Takengon, langsung melangkahkan kaki menuju Warung Kaheng selepas menunaikan shalat shubuh.
Ketika matahari pagi mulai tegas, pelanggan warung kian beragam. Jamaah masjid berganti dengan pelanggan lain, termasuk pegawai negeri sipil yang akan berangkat ke kantor. Perbincangan antarpelanggan pun kian beragam. Mulai topik remeh temeh sampai kepada masalah-masalah berat yang dihadapi dunia internasional.
Kaheng adalah nama lain dari H. Melki Tanujaya, sang pemilik warung. Ia turunan Tionghoa yang lahir dan besar di Gayo. Ia mualaf, lahir pada 8 Agustus 1948, menikah dengan perempuan Gayo, dikaruniai empat anak.
Warung milik Kaheng, salah satu wsrung kopi tertua di Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah itu. Kaheng mulai terlibat dalam usaha warung kopi sejak 1973. Ketika itu ia bekerja di warung kopi "Rindang" milik Pak Tua-nya atau paman. Merasa sudah kuat mandiri, Kaheng lantas membuka warung sendiri pada 1976 dengan nama "Suka Ramai." Pada masa itu, di Takengon baru ada tiga warung kopi milik pengusaha turunan Tionghoa dan lima warung lainnya milik pengusaha Aceh. Warung milik pengusaha Tionghoa adalah Rindang, Warung Hidup alias Kerempeng, dan Suka Ramai milik Kaheng. Sementara warung milik penguasaha Aceh adalah Sinar Famili, Sinar Pagi, Surya, Warung Delima dan Alhilal.
Pemuda Kaheng memilih bekerja di warung kopi, karena tak punya biaya melnjutkan pendidikan selepas tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Takengon pada 1969. "Zaman itu sangat susah. Mau kulih tak ada biaya," kenang Kaheng. Pilihannya menekuni usaha warung kopi, karena usaha tersebut tidak membutuhkan modal besar. "Untuk beli gula bahkan bisa beli secara cicil, sementra kopi tersedia banyak di Aceh Tengah," katanya.
Awalnya Kaheng membuka warung kopi di Desa Baleatu Takengon. Pindah ke warung Jalan Sengeda pada 1981. Pada bulan Maret 2018, Kaheng pindah ruko lagi, berselang satu lorong dari warungnya yang lama, dan tetap berada di Jalan Sengeda, dekat dengan Hotel Mahara, salah satu hotel terkenal di sana. Di seberang jalan, terdapat Datu Coffee yang selalu ramai dikunjungi penikmat kopi Gayo. "Saya baru saja pindah ke sini. Ruko yang lama, saya sewa, dan pemiliknya melakukan beberapa renovasi. Saya memilih tempat ini, karena sudah milik sendiri," kata Kaheng dalam percakapan singkat kami di depan warung kopinya itu, pada 21 Maret 2018.
Dari usahanya itu, Kaheng bisa membeli kebun kopi dan menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi. Dua anaknya berprofesi sebagai dokter, dan satu lagi bekerja di PT Telkomsel. Usaha warung kopinya sekarang diteruskan oleh anak dan menantunya. Kaheng sendiri sudah merasa cukup tua dan harus pensiun. Ia naik haji 2006.
Meski di Takengon saat ini menjamur warung kopi modern dengan peralatan seduh kopi yang juga modern, Kaheng tidak ingin mengubah ciri warungnya. Ia tetap menekuni warung kopi saring diseduh manual, menggunakan jenis kopi robusta atau "kupi geste." Untuk mempertahankan citarasa kopi, Kaheng sendiri yang mengolah bubuknya, mulai membeli biji kopi sampai kepada menggongseng yang juga dilakukan secara manual menggunakan belanga besi. "Dulu memang bisa ludes 40 Kg seminggu. Akhir-akhir ini menurun menjadi 30 Kg kopi per minggu. Ini barangakli di Takengon sudah banyak warung kopi," sebut Kaheng mengenai penurunan omsetnya.
Kaheng juga tak ingin mengganti bubuk kopinya dari robusta menjadi arabika. Juga tak ingin memasang papan nama warung. "Biarlah seperti itu, karena masyarakat sudah mengenalnya begitu," katanya. Kaheng memang memiliki lingkup pergaulan sangat luas dari berbagai kalangan. Ia dikenal mudah bergaul dan pandai bercerita. Itulah sebabnya ia tidak terlalu kuatir, akan kehilangan pelanggan walau warungnya tanpa papan nama.(*)