Jangan Buru-Buru Menggunakan Perasaan, Tapi dirasa dulu!
"Jangan buru-buru menggunakan perasaan, tapi dirasa dulu", paling tidak ungkapan atau nasihat seperti itu pernah kita dengar. Tapi apa maksudnya ya....., apakah yang menyatakan ungkapan itu paham dengan yang diucapkannya dan yang mendengar paham maksudnya? Coba kita telusuri apa maksud ungkapan tersebut.
Perasaan, ini juga mahluk yang tidak asing bagi kita, tapi apa sih? Banyak pendekatan yang bisa menjelaskannya, tapi wujud dari perasaan sederhananya hanya seperti ini:
- Senang (bahagia, diwujudkan dalam bentuk sedih/terharu atau marah, pernah lihat orang bahagia tapi marah?)
- Tidak senang (kecewa, wujud kecewa juga bisa sedih atau marah).
Tapi, bagaimana dan dari mana semua perasaan ini berasal ? Orang bijaksana yang pernah saya baca bukunya menjelaskan bahwa manusia secara inheren dibekali oleh hasrat. Bah... mahluk apa pulak ini hasrat...
Gini ceritanya mas.
Hasrat ini adalah sebuah entitas yang ada dalam diri manusia yang padanya tidak diberi kemampuan dialektika atau bernalar melainkan hanya dilekatkan kemampuan merasakan sensasi senang atau tidak senang. Sensasi perasaan senang diperoleh ketika seseorang mencapai kepuasan, yakni ketika apa yang diinginkannya tercapai; disisi lain, perasaan tidak senang muncul ketika seseorang tidak mencapai kepuasan, yakni ketika yang diinginkan tidak tercapai. Sehingga perwujudan dari hasrat ini kemudian cenderung mengejar apa yang diinginkannya; apa yang diinginkannya adalah yang bisa memuaskannya, sejak ia merasakan sensasi perasaan senang bila puas. Jadi sebenarnya hasrat ini adalah pecandu kepuasan sejak kepuasan memberi sensasi perasaan senang, dan, ogah untuk sudi merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan (wajar banget, memang begitu bukan?). Tidak ada yang salah memiliki entitas hasrat ini, karena sebagaimana segala sesuatu yang inheren pada diri manusia, hasrat merupakan bagian dari sebuah sistem pendukung kehidpan manusia, kalau tidak ada hasrat maka tidak akan ada dorongan pada manusia untuk mengejar apa yang dapat memenuhi kebutuhannya.
Baiklah, kalau begitu, jadi, poin pertama, kita sekarang tahu bahwa perasaan (senang atau tidak senang) sebagai pernyataan puas atau tidak puas berakar dari hasrat. Lantas?
Nah, lebih lanjut, si hasrat yang gandrung pada sensasi perasaan senang ini kalau tidak kendalikan, akan berubah menjadi gairah (passion), dan gairah ini lebih dahsyat dari hasrat, sebab gairah ini tidak dapat dipuaskan, walaupun telah dikenyangkan oleh makan, minum dan seks tetap saja tidak dapat dituntaskan keinginannya, selalu minta lagi dan minta lagi. Masak iya sih? Begini contohnya: pernah tidak kita merasakan bahwa kita sudah kenyang, tapi ketika kita jalan melihat yang menggairahkan, kita yang sudah kenyang ini seleranya bangkit lagi, kepingin lagi sama yang menggairahkan itu (misalnya makanan). Jadi ketika hasrat tidak dikendalikan dan ia berubah menjadi gairah. maka seseorang akan menjadi pemuja ‘perasaan senang’ dan sejak perasaan senang mengejar apa yang diinginkan untuk memuaskannya maka hidupnya ditujukan semata hanya untuk memenuhi apa yang bisa memuaskan si gairah. Dan sejak seseorang dikendalikan oleh gairah yang mencandu sensasi perasaan senang, maka ia cenderung mengabaikan pertimbangan nalar berilmu yang menimbang benar salah, baik buruk dan segera akan hidup di luar kebutuhan dan diluar kemampuan untuk memenuhinya.
Lha kok bisa, apa maksudnya hidup diluar kebutuhan ?
Contohnya begini: seseorang merasakan rasa lapar (lapar bermacam-macam: lapar makanan, lapar secara seksual, dan lain-lain). Misal, sebut saja lapar makanan. Lapar makanan yang dirasakan pada diri seseorang merupakan tanda bahwa dirinya sedang membutuhkan asupan gizi. Rasa lapar ini kemudian memicu seseorang untuk mengejar apa yang dapat menuntaskan rasa lapar itu. Dan pengejaran seseorang untuk menemukan apa yang dibutuhkannya demi menutaskan laparnya itu melibatkan entitas hasrat. Tapi kemudian si hasrat yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan ini memilih-milih makanan yang sesuai dengan keinginannya sehingga yang dipenuhi sudah lebih dari sekedar kebutuhan. Sehingga jika tidak dikendalikan dan berubah menjadi hasrat, alih-alih sekedar memenuhi kebutuhan gizinya dengan makanan sederhana yang secukupnya, maka ia akan memilih makanan yang sesuai keinginan gairahnyademi mendapatkan sensasi perasaan, misalnya makanan ala hotel bintang lima. Ketika ia mendapatkan apa yang diinginkannya ia akan puas, dan kepuasan dnyatakan dalam bentuk sensasi perasaan senang, dan jika keinginannya tidak dipenuhi maka ia tidak puas dan mendapatkan sensasi perasaan kecewa, walaupun makanan itu bisa memenuhi kebutuhan tubuh dan menuntaskan rasa lapar.
Jadi, hingga disini, kita sudah paham, poin kedua, hasrat, jika tidak dikendalikan, berubah menjadi gairah yang cenderung mengejar apa yang diinginkannya demi kepuasan yang tidak pernah dapat dicapainya, dengan mengabaikan pertimbangan kuantitatif-kualitatif nalar, semata-mata hanya demi mendapatkan sensasi sensasi perasaan senang. Dengan bahasa yang kurang santun dapat dinyatakan bahwa pemuja perasaan adalah pecandu khayalan, karena khayalan di luar pertimbangan-pertimbangan nalar. Jadi jangan menggunakan perasaan karena perasaan hanya sensasi yang dikendalikan gairah; ketika seseorang semata hanya menggunakan perasaan, maka ia buta, abai dari pertimbangan kuantitatif-kualitatif benar - salah, baik - buruk. Contohnya lagi begini Gan, Sis: Agan dan Sista saling jatuh cinta. Terbawa perasaan. Si Agan sampe rela manjat tembok demi ketemu si Sista dengan resiko diteriaki sebagai maling dan digebuki; atau sampai rela melakukan tindakan-tindakan tidak patut yang melanggar norma. Jadi benerkan kalau dibilang cinta itu buta, karena pake perasaan, yang nge-drive gairah :).
Jadi lantas, apa harus dirasa-rasa dulu, apa pulak maknanya ini?
Gini. Ada banyak makanan terhidang di meja. Cicipi satu persatu sejumput-sejumput hingga kita bisa menilai mana yang enak dan mana yang tidak. Tapiyang pertama tentu saja kita perlu standar,alias tahu mana yang enak dan mana yang tidak enak, kalau tidak ada standar maka akan terjebak pada opini tentang enak – tidak enak. Yang kedua, gimana cara merasa-rasanya, apa harus dicicipi dulu, dicemol-cemol gitu? Eits, jangan begitu cara berpikirnya.
Pada diri manusia, selain entitas hasrat, juga ada etitas lain yang padanya dilekatkan kemampuan dialektis atau kemampuan bernalar. Entitas ini, jika padanya ditanamkan atau diajarkan sebuah ilmu yang ‘baik dan benar’ akan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik walau dalam wujud apapun yang baik dan yang tidak baik ini tampil. Dan seseorang yang bisa bernalar hingga kecerdasan yang seperti ini, bagaikan orang yang memiliki indera perasa yang sangat tajam terhadap makanan hingga bisa memilih mana makanan dengan cara yang santun dan sepatutnya tanpa harus dicemol-cemol dan paham mana yang enak dan yang tidak enak, mana yang baik dan tidak baik . Jadi ungkapan ‘dirasa dulu’ itu ibarat mencicipi, dan mencicipi itu ibarat kerja kemampuan dialektika dari nalar berilmu, berpikir, menilai, mengidentifikasi, membuat pertimbangan-pertimbangan kuantitatif-kualitatif untuk membedakan dan mengenali mana yang baik dan mana yang tidak baik walaupun mereka tampil dalam beragam rupa yang tersembunyi. Jadi, gak harus dicemol-cemol kan?
Begitulah: Janagn buru-buru menggunakan perasaan, tapi dirasa dulu. Akhirnya: selamat menggunakan ‘rasa’ untuk memilah dan mengenali mana yang baik dan yang tidak baik, dan jangan menggunakan ‘perasaan’ karena anda bisa saja tmembeli kucing dalam karung yang tidak pernah anda butuhkan yang akan memberi dampak kerugian bagi hidup anda.
Semoga bermanfaat.