Jokowi Bugis, JK Jawa
Apa yang dimaksud dengan multikulturalisme? Tak lain sikap mau melakukan perjalanan melewati tubuh kebudayaan sendiri untuk berjumpa dengan kebudayaan lain.
Jika menggunakan istilah dari sebuah judul buku yang diterbitkan Gramedia tentang kajian lintas agama , yang terbit beberapa tahun sebelum Soeharto tumbang disebut : Passing Over. Multikulturalisme adalah passing over, melintas batas untuk semakin mematangkan kesadaran akan identas sendiri dengan tidak perlu menolak kebudayaan orang lain.
Itulah yang diperlihatkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memberikan pidato kenegaran di Gedung MPR/DPR, Senayan Jakarta 16 Agustus 2017. Jokowi mengunakan pakaian adat Bugis dan JK memakai pakaian adat Jawa. Tentu saja ini bukan sesuatu yang sifatnya by accident, tapi by design. Bagi orang seperti saya yang membaca tanda-tanda fashion ini dalam konteks acara kenegaraan yang sifatnya resmi dan protokoler, tentu sebuah terobosan yang luar biasa nekat sekaligus penuh makna.
Jokowi dengan momentum ini menunjukkan bahwa tidak ada superioritas kebudayaan daerah tertentu yang lebih baik dibandingkan kebudayaan lain . Jokowi yang Jawa tidak perlu menunjukkan kejawaannya . Demikian pula JK yang memang dikenal sebagai "Raja Bugis" tak perlu menghidupkan semangat chauvinistic kebugisannya. Kebudayaan luar Jawa - jika menggunakan istilah Claude Levi-Strauss - bukanlah budaya liar (savage culture). Luar Jawa adalah peradaban sendiri yang sama penting dan masygul makna kebudayaannya. Tidak ada budaya yang lebih tinggi sehingga bisa meremehkan kebudayaan lain. Kita hidup dalam keruman tanda kebudayaan yang beragam dan memesonakan.
Hal ini tentu berbeda dengan presiden RI sebelumnya. Soekarno dan Soeharto dalam batas-batas aksentuasi yang mereka miliki, memenuhi syarat membanggakan kebudayaan dan peradaban Jawa. Suatu ketika Soekarno sempat mengatakan bahwa syarat presiden di Indonesia adalah Jawa dan Islam. Secara ambang bawah sadar, Soekarno menunjukkan identitas Jawa sedemikian pentingnya, meskipun ia tidak meremehkan kebudayaan luar Jawa. Buktinya Soekarno yang Jawa tak merasa diremehken ketika menggunakan panggilan "bung" yang khas dari Ambon (meskipun ada yang mengatakan ini panggilan dari Bengkulu).
Soeharto apalagi. Seluruh kendali kebudayaan dan politiknya sangat Jawa, sangat marataraman. Soeharto yang dikenal sebagai jenderal yang sumringah ( the smiling general) ini menggunakan seluruh partitur kebudayaan Jawa dalam menjalankan kekuasaannya. Bahkan menurut Benedict Anderson, sistem kebudayaan Jawa menjadi semacam tes bagi seluruh kaki-tangannya untuk bisa diterima masuk lingkaran inti kekuasaan.
Mereka harus mampu mencerna "tata krama Jawa", terutama kultur agraris Jawa Tengah yang feodalistik sebagai gaya berperilaku dan bersikap. Tak peduli sukunya apa, orang-orang seperti TB Silalahi, Akbar Tanjung, Bustanil Arifin, Abdul Gafur, dan Ibrahim Hasan harus menyelami kebudayaan Jawa bahkan harus beraksen njowo ketika akhirnya dipercaya Soeharto. Ibrahim Hasan, mantan gubernur Aceh yang kemudian dipromosikan menjadi Menteri Pangan/Kepala Bulog harus menghilangkan aksen klek-klok Acehnya, dan mulai terbiasa mengucapkan semangkin untuk kata semakin.
Tapi pasangan pemimpin Indonesia terakhir ini memang sedang melakukan "dekonstruksi kebudayaan". Hal itu agar Indonesia ini tetap muat bagi seluruh entitas kebudayaan dan menjadi rumah bersama. Motto pembangunan di era Jokowi - JK "membangun dari pinggir" mengafirmasi tentang hal itu.
Namun, ada hal yang mengganjal. Pola pakaian tradisional yang dikenakan oleh Jokowi agak kurang meusanet ( not matching ). Ia menggunakan kain songket bugis dan terlihat celana panjangnya menyusur ke bawah. Mungkin karena Jokowi terlalu tinggi. Demikian pula alas kaki yang tepat ketika menggunakan pakaian adat tentu saja sendal atau sendal sepatu, bukan pantoffel.
Lepas dari semua hal itu. Pak Jokowi, Nice try!.
NB : Foto-foto Put NS
Enak banget tulisan ini dibaca, emang kalo sudah biasa nulis di surat kabar besar, tulisannya sangat renyah, menggelitik, dan jeli.
I like this post, a lot!
Thanks @horazwiwik, sesuatu yang muncul tiba-tina begitu saja dan saya tuliskan semalam sebelum tidur.
Wow, padahal sebagus ini tulisannya biarpun idenya tiba2. Kalo emang dah mendarah daging kegiatan menulis beginilah jadinya 👍👍
Tq for compliments
contoh yang sangat baik ditunjukkan oleh para pemimpin bangsa terutama dalam membangun rasa optimisme kebangsaan yang mulai memudar, tulisan yang sangat menarik pak @teukukemalfasya
Harus lebih banyak lagi keteladanan yang ditunjukkan pemimpin dan bukan hanya Jokowi. Sayangnya yang kita lihat di sekitar kita @mustafa1989 adalah penguasa tanpa keteladanan. We must step forward to save the people from the bad practices of our leaders. Thank you for comment.
Kelihatan kelas nya. Jadi pengen banyak belajar ni sama master tulis menulis.
hanya perlu memulainya @waldan dan selanjutnya tinggal pilih asah melalui jurus-jurus baru. Thanks anyway.
menurut saya tulisan ini penting untuk dibaca dan sangat menambah wawasan..
Postingan renyah khas Brade @teukukemalfasya memang menarik. Ada ide baru muncul begitu saja karena kreatifitasnya yang hebat. Tetap menulis untuk kami di Steemit. Semangati kami penulis pemula. Terimakasih. Salam terhangat dari Bireuen.