Part-1) 11 Tahun Akhir Penantian Kami
Masih teringat jelas hampir saban hari aku selalu mendatangi rumah tetangga sebelah untuk selalu menggendong anaknya yang kala itu baru berumur 2 tahun. Saat itu aku sangat ingin memiliki seorang adik, tak perduli laki-laki atau perempuan kah, yang penting Bagiku adalah seorang adik.
Seperti biasanya aku selalu bermain dengan anak tentagga sebelah rumah yang sudah kuanggap seperti adik sendiri. Rifal itulah namanya, adik laki-laki yang hampir saban hari aku jaga, bermain dengannya, membantu memandikannya dan mengayunkannya saat dia ingin tidur, dia sangat dekat denganku. Begitupun aku, tiada hari kulalui hari tanpa bermain dengan rifal.
Dulu yang aku tahu adik tersebut dibeli dari luar negeri yang dengan pesawat terbang bisa di bawa pulang dan hanya orang kaya yang mampu membelinya seperti ibunya rifal. Sedangkan abah dan ibuku, kami hanya orang sederhana dan aku yakin dengan abah yang hanya memiliki bengkel kecil takkan sanggup membeli seorang adik.
Meskipun begitu aku selalu berdoa kepada Allah agar Allah memberikan rizki yang berlimpah untuk abah, agar abah dan ibu dapat membeli adik untuk ku.
Hingga saat umurku 11 tahun aku baru tahu bahwa adik kecil itu tidak berasal dari luar negeri tetapi berasal dari rahim seorang bidadari.
Aku melihat bagaimana ibuku dengan susah payahnya mengandung adiku saat itu.
Tepat saat usia kandungan ibuku 9 bulan,
Suatu pagi kami dikagetkan dengan wajah ibu yang tiba-tiba memerah seperti orang yang baru saja terkena siraman air panas, ibu mengeluh wajahnya terasa panas dan kepalanya sangat pusing, tangan dan kakinya juga bengkak. Melihat hal yang tidak seperti biasanya abah langsung membawa ibu ke bidan yang ada di kampung kami, singkat cerita bidan tersebut menyuruh abah membawa ibu ke Rumah Sakit untuk di rujuk.
Setelah menempuh jarak yang lebih kurang 60 km dari rumah, akhirnya kami tiba di rumah sakit. Ibu langsung dimasukkan ke instalasi gawat darurat karena kondisinya yang semakin Memburuk, kondisi kesadarannya semakin berkurang, tekanan darahnya hampir mencapai 200 mmHg, bengkak dan merah di wajahnya semakin terlihat jelas. Aku yang saat itu masih berumur 11 tahun dan belum tahu apa-apa hanya bisa menangis saat ibuku diinfus, serta di ibujarinya di pasangkan penjepit yang dihubungkan dengan kabel ke layar monitor, dan saat itu ibuku sudah berada di ruang ICU.
Dokter spesialis kandungan sedang tidak berada di tempat ucap seorang dokter wanita yang baru saja mengukur tekanan darah ibu.
Sehingga jadwal operasinya baru bisa kita lakukan nanti malam.
Hah??? Ibu akan dioperasi gumamku dalam hati.
Tanpa terasa air mata terus mengalir di pipiku tanpa bisa ku tahan, kulihat tubuh ibu yang sudah terkulai lemas tanpa sadarkan diri dan kulihat abah yang dari wajahnya terlihat jelas ia sangat khawatir dengan kondisi ibu dan aku berkata dalam hatiku "ya Allah andai saja aku tahu, perjuangan ibu untuk memberikan ku seorang adik seperti ini beratnya, aku takkan meminta Engkau untuk memberiku adik, rifal saja sudah cukup bagiku. Dan kalau Engkau memberiku adik dan mengambil ibu dari ku maka aku takkan memaafkan diriku sendiri karena aku telah mengulang-ngulang doa padamu untuk memberikan ku adik".
Keluarga bu nurhayati di panggil dokter, ucap perawat perlahan dari balik pintu ruangan ICU.
Abah langsung bergegas keluar mengikuti perawat untuk menemui dokter,
.
.
.
Bersambung...
nice article... dan memberikan inspirasi yang sangat bermanfaat bagi kalangan perempuan di seluruh dunia...
Terima Kasih bg @anharfazri
sama-sama... yang penting tetap semangat dan berusaha...
OMG dek... Ikut tegang dan kuatir nih....padahal sdh tahu bhw mamaknya dek Zahra alhamdulillaah sehat wal afiat, tapi tetap saja kebawa suasana, tegaaaang. What a nice post!
Thank kk @dianguci