Rules Derived From Princess Pahang

in #indonesia6 years ago

Qanun Bak Putroë Phang

images.jpeg

The peak of the progress of Aceh civilization existed during the time of Sulthan Iskandar Muda. Progress is due diligence from sulthan itself who wants to advance Aceh Darussalam and known to all corners of the world. The geographical location of Aceh between the Indian Ocean and the Straits of Malacca is a strategic position. Both lines are international traffic and Aceh has several ports used to dock large ships from all over the country. From the east to the west there are many harbors in the period, starting from the port of Kuala Langsa, Lhokseumawe, Sabang to Meulaboh is the entrance of foreign citizens, especially people from the Middle East, Asia and Europe.

Puncak kemajuan peradaban Aceh ada pada masa Sulthan Iskandar Muda. Kemajuan tersebut karena ketekunan dari sulthan sendiri yang ingin memajukan Aceh Darussalam dan dikenal ke seluruh penjuru dunia. Letak geografis Aceh antara Samudera Hindia dan Perairan Selat Malaka merupakan posisi strategis. Kedua jalur tersebut merupakan lalu lintas internasional dan Aceh memiliki beberapa pelabuhan yang digunakan untuk berlabuh kapal-kapal besar dari manca negara. Mulai dari timur hingga ke barat banyak dijumpai pelabuhan pada masa tersebut, dimulai dari pelabuhan Kuala Langsa, Lhokseumawe, Sabang hingga Meulaboh merupakan pintu masuk warga negara asing terutama orang-orang dari Timur Tengah, Asia dan Eropa.

Iskandar Muda managed to build relationships with foreign nations and expanded the kingdom to the peninsular Malaysia. At that time, Aceh as a whole became an international free port. Thousands of people come and go every day. Education advanced rapidly at that time, the Acehnese who excel at the scholarship awarded to Saudi Arabia in addition to presenting teachers from Turkey, especially in the field of military and weaponry. Trade advanced rapidly, Aceh's economy when it was only supported by rice, nutmeg, pepper and cloves. But only with the Aceh agricultural produce succeeded and parallel with the Arabs and Europeans.

Iskandar Muda berhasil membangun hubungan dengan bangsa asing dan memperluas wilayah kerajaan hingga ke semenanjung Malaysia. Ketika itu, Aceh secara keseluruhan menjadi pelabuhan bebas internasional. Ribuan orang datang dan pergi setiap harinya. Pendidikan maju pesat ketika itu, msyarakat Aceh yang berprestasi diberikan beasiswa hingga ke Arab Saudi disamping menghadirkan guru-guru dari Turki, terutama dalam bidang militer dan persenjataan. Perdagangan maju pesat, perekonomian Aceh ketika itu hanya ditopang oleh beras, pala, lada dan cengkeh. Tetapi hanya dengan hasil pertanian Aceh berhasil maju dan sejajar dengan bangsa Arab dan Eropa.

taman-putroe-phang-saksi-sejarah-kebesaran-kerajaan-aceh.jpg

Most of the foreigners in Aceh came from Iran in East Aceh and North Aceh, India in particular in Pidie, Arab and Turkey in Aceh Besar, and Portuguese in Aceh Barat. They even make their own settlements and many are married to locals. In addition to the Portuguese, other nations are almost the same color with local people as to not appear to be dominant except for India which has its own distinct characteristics and their descendants almost entirely in Pidie. Portuguese white European, blond and blue-eyed people make the village in West Aceh, especially in the Lamno region. Their offspring can be found today. Turkey, Arabia and Iran have the same physical characteristics with the local Acehnese, so they do not appear to be dominant. In addition to the above, the Dutch often stop in Aceh at that time, they are more open political relationships than the trade. Java at that time was under Dutch control.

Bangsa asing yang paling di Aceh ketika itu berasal dari Iran di Aceh Timur dan Aceh Utara, India khususnya di Pidie, Arab dan Turki di Aceh Besar, dan Portugis di Aceh Barat. Mereka bahkan membuat perkampungan sendiri dan banyak yang menikah dengan warga lokal. Selain Portugis, bangsa-bangsa lainnya hampir sama warna kulit dengan warga lokal hingga tidak tampak dominan kecuali India yang mempunyai ciri khas tersendiri dan keturunan mereka hampir sepenuhnya ada di Pidië. Portugis bangsa Eropa berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru membuat perkampungan di Aceh Barat khususnya di kawasan Lamno. Keturunan mereka dapat dijumpai hingga sekarang. Turki, Arab dan Iran mwmpunyai ciri fisik yang sama dengam warga lokal Aceh, hingga mereka tidak tampak dominan. Selain yang tersebut di atas, Belanda sering singgah di Aceh pada ketika itu, mereka lebih banyak membuka hubungan politik dibandingkan dengan perdagangan. Jawa pada waktu itu berada dibawah kendali Belanda.

His own wife named Princess Kamaliah is the son of King Pahang, in Aceh more popularly known as Putri Pahang (Putroë Phang). Princess Kamaliah is instrumental in the development of the Kingdom of Aceh Darussalam. His work can be seen today in Banda Aceh, Taman Putroë Phang. Princess Kamaliah built the park to entertain royal guests from abroad. In addition, custom treating guests and state procedures are also much designed by the princess. More precisely called the Protocol of the Kingdom of Aceh by the design of Princess Kamaliah. So for the services of the Acehnese people honor Princess Kamaliah with the title "Qanun Bak Putroë Phang" (Rules derived from Princess Pahang) meaning state rules and some other rules.

Istri beliau sendiri bernama Putri Kamaliah adalah anak Raja Pahang, di Aceh lebih terkenal dengan sebutan Putri Pahang (Putroë Phang). Putri Kamaliah sangat berperan dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam. Hasil karya beliau dapat dilihat hingga sekarang di Banda Aceh yaitu Taman Putroë Phang. Putri Kamaliah membangun taman tersebut untuk menjamu tamu-tamu kerajaan dari luar negeri. Selain itu, adat memperlakukan tamu dan tata cara bernegara juga banyak dirancang oleh sang putri. Lebih tepatnya disebut Protokoler Kerajaan Aceh hasil rancangan Putri Kamaliah. Maka atas jasa-jasanya Rakyat Aceh menghormati Putri Kamaliah dengan sebutan "Qanun Bak Putroë Phang" (Aturan berasal dari Putri Pahang) maksudnya aturan kenegaraan serta beberapa aturan lainnya.

IMG_20180526_232420.jpg
#Dalông

In addition to rules and protocols, Princess Kamaliah also brings several cultures from her country to Aceh. The people of Aceh are very respectful and loving the princess, so whatever is done will be followed by all the people especially for the progress of the country of Aceh. Several types of food brought by the princess can be found up to now in Aceh, including Keukarah, Boh Meulaka, Asoë Kaya and Leupet. Dalông is a cultural object of Pahang country brought by princess to Aceh. Dalông is where to put food served for honorable guests. Sulthan himself very supportive of the princess, because what hangs done by Princess Kamaliah solely for the progress of the Kingdom of Aceh Darussalam. The kingdom is advanced and the people are prosperous because the King and the Empress love the country and love the people.

Selain aturan dan protokoler, Putri Kamaliah juga membawa beberapa budaya dari negerinya ke Aceh. Rakyat Aceh sangat menghormati dan menyayangi sang putri, jadi apapun yang dilakukan akan diikuti oleh seluruh rakyat terutama demi kemajuan negeri Aceh. Beberapa jenis makanan yang dibawa oleh putri bisa dijumpai hingga sekarang di Aceh, diantaranya Keukarah, Boh Meulaka, Asoë Kaya serta Leupet. Dalông merupakan benda kebudayaan negeri Pahang yang dibawa oleh putri ke Aceh. Dalông adalah tempat meletakkan makanan yang disajikan untuk tamu-tamu terhormat. Sulthan sendiri sangat mendukung sang putri, karena apa hang dilakukan oleh Putri Kamaliah semata-mata hanya untuk kemajuan Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan maju dan rakyat makmur dikarenakan Raja serta Permaisuri mencintai negeri dan menyayangi rakyatnya.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 60935.93
ETH 2645.60
USDT 1.00
SBD 2.56