Aku Melihatnya Lagi
Sejak aku memutuskan untuk membenci, rasanya enggan jika harus bertatap muka dengannya lagi. Karena buatku, itu adalah hal yang membuang-buang waktu. Aku tak ingin melihatnya lagi, sebab apa-apa yang sudah kami jalani terlalu jelas. Tak ada yang perlu dibahas, karena luka tetaplah sama. Ia akan terus membasah jika terlalu dimanja
Handponeku bergetar, seseorang mengirimkan aku sebuah pesan singkat.
"Kamu dimana?". Tanyanya padaku, tentu saja aku kenal siapa pengirimnya
"Aku lagi makan sama Linda, Kenapa Fan?"
"Oh aku lagi di caffe spbu nih, kesini dong. Udah lama ngga ketemu" Balas Rifan lagi
"Oke, nanti abis makan kami kesana ya"
Setelah pesan terakhir ia mengiyakannya, aku bergegas menyelesaikan menyantap mie Aceh yang ada di depanku. Ini adalah makanan yang paling kurindulan jika sudah kembali ke Jakarta. Jadi, selama disini aku akan memuaskan diriku dengan memakan mie Aceh tapi tentu saja tidak setiap hari
Usai makan, kami datang ke caffe yang Rifan bilang, jaraknya dekat jadi tak menggunakan waktu banyak diperjalanan. Kami segera ke lantai atas, karena lantai bawah kebanyakan ditempati oleh bapak-bapak. Sedangkan di lantai atas yang mendominasi anak remaja. Belum sempat aku melambaikan tangan padanya, seketika mataku tertuju pada sesosok laki-laki di samping Rifan, kakiku lemas. Ingin segera aku membalikan badan dan beranjak pergi. Tapi, linda menarik tanganku untuk datang ke Meja Rifan.
"Airaaaaaaaa, udah lama ga ketemu". Ucap Rifan antusias saat aku tiba di mejanya dan ia tersenyum lebar
Aku hanya tersenyum, entah apa yang harus ku lakukan. Ia meminta kami duduk. Rasanya aku benci berada di posisi ini. Aku mencoba mengontrol perasaanku agar tidak membalikan meja saat itu juga. Aku mengalihkan perasaanku berbincang dengan Rifan, Kami membicarakan banyak hal tentang perkuliahan pastinya. Aku memberikan semangat agar ia bisa segera menyelesaikan kuliahnya. Aku mengerti, jika sudah bekerja pasti kuliah akan terbengkalai. Tapi, sebagai teman aku hanya bisa memberikan dorongan agar tidak patah semangat.
Sesekali aku melirik seseorang disamping Rifan yang hanya fokus pada layar leptopnya. Ia sama sekali tak bergeming, bahkan keluar sepatah katapun. Untuk menyapa saja rasanya mulutnya terkunci. Aku hanya tersenyum sinis melihatnya. Menganggap ia patung selama pembicaraan kami bertiga, itu tak salah bukan? Kini ia benar-benar menjadi asing buatku. Seperti seseorang yang tidak lagi kukenal dengan baik. Sama seperti saat aku dan ia belum pernah ditemukan.
"Bagaimana rasanya?". Tanya Linda saat tiba dirumah, ia mengantarkan aku pulang
"Biasa aja, lagian dia juga kaya ngga kenal. Aku pun melakukan hal yang sama". Jawabku asal
"Aku ngerti ra, ngga apa-apa. Bagiku, disini kamu terlihat jauh lebih dewasa"
Aku tersenyum getir saat punggung Linda perlahan menghilang bersamaaan dengan motornya yang berlaju kencang. Bagaimana mungkin itu tidak apa-apa? Bertemu dengan seseorang yang telah memberiku hukuman mati karena perkataan perpisahaannya untukku kala itu yang bahkan kini masih terngiang dengan jelas. Bagaimana mungkin itu tidak apa-apa? Perasaan yang seperti ditendang keluar angkasa lalu aku harus mengemis untuk tetap bertahan hidup, bagaimana mungkin?
Salam hangat,