Dari Laut, Kita Kembali Kelaut!
Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis berada di tengah-tengah jalur khatulistiwa. Bahkan, dibeberapa tempat seperti kota Pontianak, Garis equator tepat melintang di atas kota tersebut. Hal Ini menyebabkan Indonesia memiliki iklim tropis dengan pancaran sinar matahari sepanjang tahun. Perpaduan Iklim tropis dan deretan gunung vulkanik yang kerap disebut “Ring Of Fire” membawa berkah tersendiri bagi bangsa ini. Ditengah ancaman gunung berapi yang sewaktu-waktu bisa saja meluapkan lahar panasnya, Rakyat Indonesia justru memiliki tanah yang subur. Kondisi alam tersebut ditunjang dengan luasnya hamparan hutan hujan tropis yang kaya akan sumber daya flora dan fauna.
Oleh karena itu, maka kita dapat memahami ambisi Presiden H.M Soeharto dalam mengembangkan sektor agraris. Indonesia dibawah kepemimpinan Soeharto saat itu mencanangkan program Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menitik beratkan pada peningkatan produksi pertanian serta perkebunan. Bahkan, pada saat itu Indonesia berhasil mewujudkan Swasembada beras sehingga mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri tanpa perlu bergantung pada kuota impor.
Sementara itu, sektor maritim yang sebenarnya memiliki potensi sama besarnya dengan sektor agraris sepertinya kurang dilirik. Sektor kemaritiman hanya dimanfaatkan untuk kepentingan transportasi dibawah kendali Kementrian Perhubungan.
Seiring bergantinya tampuk kepemimpinan pasca kerusuhan mei 1998, Pengelolaan sumber daya maritim juga mulai menjadi perhatian pemerintah. Hal tersebut ditandai dengan pengembangan kawasan Batam sebagai jalur perdagangan dunia pada masa presiden Habibie. Namun kondisi politik yang tidak stabil pada masa transisi tersebut sedikit banyaknya juga berdampak pada sektor pemanfaatan sumber daya kelautan. Tercatat, Hanya Kementrian Perhubungan serta Kementrian Kelautan dan Perikanan yang menjadi andalan pemerintahan Gus Dur, Megawati, dan SBY dalam mengelola sumber daya kelautan yang luasnya sekitar 2/3 luas keseluruhan Nusantara.
Angin segar pun berhembus setelah terpilihnya Joko Widodo menjadi Presiden RI ke-tujuh. Rencana pengembangan potensi kemaritiman sebenarnya sudah di dengung-dengungkan pada saat kampanye Pilpres 2014. Saat itu gagasan pembangunan Tol laut meski kerap mendapat cibiran namun justru menjadi salah satu program andalan mantan Walikota Solo tersebut. Rencana penguatan poros maritim juga semakin dekat setelah Jokowi membacakan pidato kemenangannya dari atas sebuah kapal di kawasan Jakarta Utara. Pidato Kemenangan itu seolah menyiratkan pesan bahwasanya bangsa Indonesia siap untuk kembali mengikuti jejak nenek moyangnya turun dan berlayar ke laut lepas. Bahwasanya Indonesia tengah bersiap menjadi salah satu negara maritim terbesar dan terkuat didunia.
Puncaknya adalah saat Presiden Jokowi menunjuk seorang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman untuk memaksimalkan pengelolaan potensi kelautan di Indonesia. Tidak hanya sekedar pemanfaatan, namun Presiden Jokowi juga menggalang kerjasama global yang berorientasi pada sektor kemaritiman.
Kembali ke Fitrahnya
Apa yang dicita-citakan oleh Presiden Jokowi dalam hal mewujudkan indonesia sebagai negara maritim sebenarnya telah pernah diwujudkan oleh para pendahulu kita. Nusantara sejak tahun 1400 -bahkan jauh sebelum itu-, adalah wilayah lalu lintas perdagangan dunia. Para pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke pelabuhan-pelabuhan di nusantara untuk menjajakan dagangannya. Selain itu mereka juga mengincar hasil bumi berupa rempah-rempah yang tumbuh subur di tanah nusantara.
Provinsi Aceh sebagai gerbang sebelah barat selat malaka memiliki tradisi kemaritiman dalam bidang kesenian. Di kabupaten Simeulue, terdapat sebuah karya sastra terkait Smong; gelombang pasang laut yang kerap datang menghantam daratan pasca terjadinya gempa bumi. Oleh karena itu, pada saat terjadinya musibah Tsunami pada tahun 2004 lalu, relatif sedikit masyarakat Kabupaten Simeulue yang menjadi korban. Padahal secara geografis kabupaten tersebut berada pada sebuah pulau di perairan Samudera Hindia dan tak jauh dari pusat gempa di lepas pantai kota Meulaboh. Hal ini terjadi karena pengetahuan tentang gelombang pasang tsunami telah di tuturkan turun-temurun melalui seni oleh masyarakat sekitar.
Tradisi kemaritiman tersebut juga dapat kita lihat dibidang Militer. Dunia telah mengakui kehebatan seorang Laksamana Perempuan pertama didunia, pemimpin pasukan Inoeng Balee yang beranggotakan para janda pejuang Aceh. Laksamana Malahayati bersama armada lautnya menjadi momok yang menakutkan bagi angkatan laut penjajah saat itu. Ia bertugas mengamankan jalur perdagangan selat malaka serta menjaga kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam dari cengkraman penjajah.
Malahayati merupakan salah satu dari sekian banyak bukti kegemilangan sejarah maritim nusantara. Di saat sebagian besar wanita di dunia masih berjuang untuk mendapatkan haknya, Malahayati dengan gagah berani memimpin pasukannya dan bertempur di tengah ganasnya ombak lautan.
Begitu juga dengan berbagai wilayah lain di Indonesia. Hampir setiap daerah memiliki tradisi serta local wisdom yang berkaitan dengan bidang kelautan. Bahkan beberapa suku bangsa di Indonesia memang dikenal sebagai pelaut yang tangguh. Suku Bugis misalnya, sejak berabad-abad lalu orang Bugis terkenal ahli dalam menjelajahi lautan. Sehingga tidak heran saat ini cukup banyak komunitas masyarakat Bugis yang berdiaspora ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan dibeberapa tempat juga terdapat perkampungan masyarakat Bugis.
Oleh karena itu, kita bisa menafsirkan bahwasanya cita-cita mewujudkan indonesia sebagai poros maritim dunia adalah langkah untuk membawa Indonesia kembali ke fitrahnya. Bahwasanya sektor kelautan di Indonesia pernah mencapai masa ke-emasannya adalah fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Dan saat ini Presiden Jokowi kembali mencoba untuk mengembalikan masa kejayaan tersebut.
Laut Untuk Rakyat
Wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2,4 juta kilometer persegi yang dimiliki Indonesia sesungguhnya menyimpan kekayaan yang sangat luar biasa. Potensi tersebut jika dikelola dengan baik bisa menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.Berdasarkan data Badan Pangan Dunia (FAO) nilai perekonomian dari laut Indonesia diperkirakan mencapai 3 triliun dollar AS sampai 5 triliun dollar AS, setara Rp 36.000 triliun sampai Rp 60.000 triliun pertahun.
Kekayaan sumber daya alam yang besar itu sayangnya banyak dijarah asing. Pencurian ikan yang dilakukan nelayan asing bernilai tak kurang dari US$ 23 milyar atau setara dengan Rp. 276 triliun setiap tahunnya. Angka yang cukup fantasitis tersebut tentu saja akan sangat bermanfaat jika digunakan untuk mendongkrak perekonomian nelayan kita yang sebahagian besar hidup dibawah garis kemiskinan.
Oleh sebab itu sudah sewajibnya kita mendorong pemerintah untuk mewujudkan tata kelola kelautan yang bertanggung jawab. Peningkatan teknologi penangkapan ikan serta pembangunan industri pengolahan ikan juga harus di barengi dengan peningkatan Sumber Daya Manusia agar potensi yang besar di bidang kelautan dapat menjadi tangga untuk menaikkan taraf hidup rakyat Indonesia.
Pemberatasan Illegal Fishing, pelarangan penggunaan pukat harimau, serta program konservasi sumber daya laut juga harus didukung oleh seluruh masyarakat. Sebab, pengelolaan sumber daya maritim tidak boleh hanya berpijak pada pemanfaatan sumber daya sebesar-besarnya, namun juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan. Hal tersebut penting mengingat apa yang kita lakukan sekarang akan berdampak pada kehidupan anak-cucu kita kedepan .
Kita pastinya ingin suatu hari nanti, anak cucu kita akan menyanyikan lagu “nenek moyangku, seorang pelaut....” dengan rasa bangga. Bangga menjadi warga negara Indonesia, Poros Maritim dunia.
Jales viva, Jaya Mahe!
Warm Regard