Bekerja Keras Membangun Kemalasan
“Aku paling kesal kalau ada jadwal kaya' 'gini!” rutuk Zulham dengan nada kesal. Omelannya masih berlanjut. “Padahal aku udah bekerja keras membangun kemalasan. Ini gara-gara ada agenda, aktivitas bermalas-malasanku jadi terganggu!” rutuknya.
Pagi ini memang bermula di luar jangkau harapannya. Ia mesti pergi memperbaiki sepeda bermesinnya ke bengkel, lalu harus pergi ke Bank Mandiri karena kartu ATM-nya yang diblokir. Ia memasukkan pin yang salah 3 kali berturut-turut. Belum lagi ia mesti ke rumah sakit memeriksakan matanya yang terserang virus. Matanya yang sebelah kanan tak lagi mampu melihat akibat berjangkitnya para virus. Jadwal harinya pungkas oleh kewajiban mengajar. Ini hari pertamanya mengajar. Semestinya ia senang dan bersemangat.
Manusia macam apa yang sedang kuhadapi ini sesungguhnya?! Aku terhenyak dengan ungkapan yang meluncur dengan mimik serius itu. Meski kemudian ia tertawa sendiri memikirkan paradoks dalam omelannya. Aku dan Fuadi ikut tertawa.
Fuadi terkekeh paling lama. Ia tampak enggan mengomentari. Cuma cengar-cengir sambil mengisap dalam rokoknya. Tapi tampak sepakat dengan pernyataan Zulham. Sejenak suasana hening. Beberapa ekor burung memamerkan suaranya dari tajuk rimbun Trembesi di tepi jalan, di depan warung kopi yang menjadi labuhan bokong kami pagi itu. Entah bersebab apa, tiba-tiba Fuadi berkata, “Indah kali pagi, ya…” ujarnya tanpa kata 'ini'.
Bagiku perkataannya beralamat pada setiap pagi. “Pagi itu selalu indah untuk dinikmati,” sambungnya. Sepertinya ia tak peduli dengan komentar apa yang bakal muncul dari aku dan Zulham. “Merugilah orang-orang yang bekerja di pagi hari. Sebab pagi itu untuk dinikmati, bukan untuk bekerja!” pungkasnya. Parasnya tampak puas usai mengungkapkan ekspresi jiwanya tentang pagi.
“Bagaimana dengan para petani. Kalau mereka tak bekerja pagi hari, nggak ada beras yang bakal kita bisa beli”
“Petani itu bukan bekerja, Bang. Itu olahraga dan olahjiwa. Nelayan juga. Mereka sudah menanamkan samudra ke dalam jiwa. Nggak pernah tenang nelayan kalau sedang di darat. Maunya ke laut aja!” cerocosnya. Berlanjut dengan para pedagang yang baginya juga tak boleh disebut bekerja.
“Jadi yang kau maksud dengan orang yang kerja pagi itu macam apa?”
“Ya orang yang kerja kantoranlah,” jawabnya gamblang.
Ia masih melanjutkan sabda paginya dengan membahas kehangatan mentari, kesiur angin, sruputan kopi hingga kelanjutan jadwal dengan tidur lagi pada jam 11 menjelang tengah hari. Orang yang punya kekayaan berlebih belum tentu punya waktu untuk ngopi pagi sesantai yang kami selenggarakan. Waktu mereka sibuk untuk mempertahankan dan menambah kekayaan. Semakin banyak yang mereka punya, semakin banyak pula kekhawatiran akan kehilangan.
“Kalau sudah kaya, terus mau apa lagi?!” sambung Zulham.
Kupikir-pikir betul juga. Banyak orang sibuk mengejar kekayaan, tapi tak mampu merasakan sensasi ngopi pagi, ngobrol santai dengan angan melingkup semesta, sambil menertawakan kebodohan sendiri dan mengejek kegemilangan orang lain. Belum lagi paket membolak-balik perspektif sesuka hati, senakal imaji. Bersama mereka kantuk yang belum penuh terbasuh ini menjelma pencerahan.
Pertanyaan yang diceletukkan Zulham membuat aku bertanya dalam hati, “Apa jadinya jika segala yang kita ingin terpenuhi?” Aku jadi ketakutan sendiri membayangkannya. Sebab, ternyata yang kutemukan justru hampa. Tak ada lagi yang mesti kuperjuangkan. Ketika segala yang kuingin terwujud, aku juga tak punya apa-apa lagi untuk kuinginkan. Itu sungguh bencana yang menakutkan.
Peningkatan jenjang kemakmuran tidak lebih dari peningkatan perolehan pemuas keinginan, peningkatan jenis kebutuhan dan otomatis melonjaknya kualitas masalah. Pagi ini, 2 lelaki ini membuat syukurku bertambah dengan pemahaman yang lebih mendalam; sungguh indah rasanya masih memiliki keinginan. Maka, aku menolak takluk dengan pertanyaan retoris yang telontar dari Zulham.
"Nanti kalau udah kaya, kita bakal tau sendiri apa yang kita mau, Ham. Mungkin sekarang kita belum bisa membayangkan kenikmatan orang kaya karena kita masih miskin dengan khayalan kenikmatan yang masih terbatas!" balasku. Balasan yang kulontarkan untuk memelihara obsesi atas kekayaan ketimbang membantah argumennya. Kami bertiga meledakkan tertawa lepas, mengundang tatap para penghuni meja lain.
Kiban byteball kita bang, ada pencerahan???
Belum. Sepertinya ada yang salah dengan proses instalasi awal. Aku masih cari cara.
Baiklah kalau bgtu....
Ak tgu kbar bhagia dri abg ya...
Insya Allah
Seru diskusi pagi sambil bertukar tegukan kopi di gelas masing masing
Iya. Orang itu ngomong, berdua, awak mencatat di fast notepad.
Keren tulisannya bang👏👏👏
Semangat membacanya 😄😄
Terimakasih sudah singgah, Bang. Semoga cerita pagi itu bisa menghibur.
Postingan ini telah dibagikan pada kanal #Bahasa-Indonesia di Curation Collective Discord community, sebuah komunitas untuk kurator, dan akan di-upvote dan di-resteem oleh akun komunitas @C-Squared setelah direview secara manual.
This post was shared in the #Bahasa-Indonesia channel in the Curation Collective Discord community for curators, and upvoted and resteemed by the @c-squared community account after manual review.