REVIEW BAB 16 TENTANG (FILSAFAT ACEH)
(sumber foto google)
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kosmologi yang terjadi di Aceh, sedangkan pada bab ini akan dibahas tentang bagaimana filsafat yang berkembang di Aceh. Dalam filsafat Aceh ada empat hambatan yang menggambarkan apa yang dimaksud dengan hal tersebut, yaitu: pertama, upaya untuk merekontruksi gagasan atau ide masyarakat Aceh yang selama ini masih belum sampai pada tahapan untuk membangun suatu bidang keilmuan yang kokoh, misalnya kajian-kajian filsafat yang sudah mapan, seperti filsafat barat, dimana cenderung melihat Yunani dan Romawi sebagai rujukan utama. Kedua, ketika dijadikan suatu kajian yang mendalam untuk membangun fondasi metafisika bagi filsafat Aceh, tampaknya tidak ada tokoh atau intelektual dari Aceh yang begitu dikenal di kalangan peminat kajian filsafat. Ketiga, hambatan secara konseptual. Keempat, hambatan terhadap ilmu-ilmu di Aceh.
Filsafat Aceh adalah kesadaran untuk menemukan jati diri di kalangan orang aceh itu sendiri yang tujuannya untuk meluapkan rasa ingin tahu dan hal-hal yang paling hakiki untuk diketahui oleh manusia. Untuk mengetahui filsafat Aceh kita perlu melakukan beberapa hal, yaitu: Pertama, kita perlu melihat kembali cara berpikir orang Aceh sejak dahulu kala hingga saat ini. Dalam studi Acehnologi telah dijelaskan bagaimana tradisi dan corak berpikir model Aceh, sehingga saat ini tidak satu karya pun yang merekm tradisi berpikir Aceh secara utuh. Untuk itu, pola pengkajian filsafat Aceh melalui tradisi berpikir dapat dilakukan dengan cara mencari aspek-aspek spirit yang ada dibalik tradisi kebudayaan yang telah dihasilkan oleh orang Aceh sendiri.
Kedua, tidak boleh menolak dengan adanya pertemuan ilmu dan ideologi masyarakat Aceh dengan sumber-sumber pengetahuan yang ada di luar Aceh. Dalam berbagai bab studi Acehnologi lebih banyak dikaji tentang tradisi ilmu yang muncul di Aceh, namun sangat sedikit dikaji bagaimana konsep ideologi membentuk standar tingkah laku orang Aceh. Untuk itu, Acehnologi di dalam membangun fondasi filsafat Aceh perlu merujuk pada konsep-konsep inti yang membantu cara berpikir yang pada gilirannya membina suatu ideologi tertentu.
Ketiga, tidak boleh diabaikan pula pola pendidikan orang Aceh yang sudah meluaskan diri mereka, dari proses mengenali diri sendiri hingga mendapatkan sebanyak mungkin materi. Keempat, tidak dapat diabaikan pula kemampuan untuk mendeskripsikan identitas keAcehan di tengah perkumpulan identitas yang ada di Nusantara.
Filsafat Aceh bukanlah ilmu baru yang memiliki kerangka teori atau sistem metafisika tersendiri, tetapi konsep-konsep ilmu tersebut sudah menyatu di dalam sejarah yang berkembang di Aceh. Memang sangat diakui bahwa media pembelajaran di Aceh, cenderung tidak menggunakan lagi bahasa Aceh. Sehingga makna yang terkandung di dalam bahasa Aceh, juga semakin hari semakin terabaikan. Oleh karena itu, perlu dimulai dengan mengenalkan studi Aceh kepada peserta didik, bukan sebagai upaya untuk muatan lokal, akan tetapi sebagai muatan inti di pembelajaran. Dalam hal ini, Acehnologi harus dipandang sebagai muatan inti, walaupun belum ada sekolah khusus yang menawarkan Acehnologi sebagai muatan inti, persoalan filsafat Aceh sebenarnya telah menyatu di dalam sejarah intelektual di Aceh.
Filsafat Aceh juga harus dibarengi dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, yang tidak hanya dari bumi Aceh melainkan dari luar Aceh juga.
Jadi akar keilmuan Acehnologi memiliki dasar yang kuat, yang dilandaskan pada tradisi berpikir Aceh sendiri. Walaupun dalam dataran tertentu, dialog keilmuan tetap diperlukan supaya Acehnologi menjadi ilmu yang terbuka dengan berbagai lintas disiplin keilmuan.