Sistem Kebudayaan Aceh
Dalam Bahasa Aceh dikenal sebagai Kenal (turi) dari kata itu dapat disimpulkan bahwa masyrakat telah mamhami bagaiman konsep kosmos yang mmamng telah dibangun dalam masyarakat dari sejak zaman dahulu, pemikiran ini masih banyak yang memakainya dari beberapak kelompok, walaupun pemikiran sudah tidak lagi oleh studi mayoritas, namun dipakai bagi kelompok yang minoritas, yang telah dibawa kepada pemikiran mistik, Sebagai budaya banyak orang yang mendapatkan jati diri nya karena mereka telah berbuat banyak bagi masyarakat.
Oleh karena itu syarat orang Aceh yang ingin Budaya di kalangan nya haruslah Turi droe (tau diri) Bisa dikatakan merekalah yang menjadi penghasilnya adalah masyarakat mengenali pencetus budaya tersebut, mereka menjadi seolah-olah mencari nama pada masyrakat bahwa iya telah berbuat banyak dari segi budaya di dalam masyrakat, dalam segala perbuatannya tersebut iya selalu menggunakan falsafah yaitu : ingat, seimbang, Bersyukur. Maksud dari falsafah tersebut maksudnya, apapun yang dilakukan haruslah ingat bahwa ada kekuatan lain yang mengendalikan nya di luar kemampuan nalar manusia, ialah sang Pencipta dan menguasa seluruh jagat alam raya ini. Dalam bahsa Aceh dikenal dengan istilah lain yakni Haba Peuingat (kabar untuk mengingatkan). Ingat ini kemudian disimpulkan bagaimana asal-muasal manusia itu sendiri, hingga bagaimana Manusia akan kembali lagi ke sang pencipta. Dikarenakan fakror ini, Orang-orang Aceh ketika bertemunya satu sama lainya, iya selalu menanyakan dimana tinggal, keterunan apa, dimana tempat ia belajar dan lain sebagainya, dari beberapa pertanyaan tersebut bisa jadi dapat mengikat persadaraan antara keduanya.
Disamping itu ada falsafah seimbang (balance) yang menjadi sebab kedua dalam mengasilkan budaya, dalam istilah aceh dikenal dengan kata timang (sejajar). Disini dapat lah kita pahami bahwa budaya kita aceh selalu berussah menyeimbangkan Hubungan Manusia dengan Allah Swt. Dengan tidak seorangpun yang melanggar aturan atau batasan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Tak seorangpun yang dapat merusak Alam, menghancurkan Hubungan antara manusia, dari sinilah manusi mulai berpikir bahwa ketiga istilah itu tidak dapat dilanggar, dan apabila seseorang itu melanggarnya bahwa iya telah merusak keseimbangan, oleh karena para nenek moyang kita telah mengeluarkan argument Haba peuingat, bahwa akan muncul suatu kehancuran jika aturan tuhan tidaklah dilaksanakan.
Dikarenakan tidak ada lagi kekuasaan ataupun suatu peradaban (hadharah), oeleh karena itu yang masih muncul pada pesisir aceh adalah reusam,adapun mengenali istilah ini dari bahasa arab rasm (gambar). Didalam bahasa inggris dapat dikatakan tradition (tradisi). Adapun kedua istilah ini dikenal dengan gambar dan tradisi yang berada di daerah pesisir, yang di wariskan dari very abstract abstract system of ideas, walaupun tidaklah memiliki power untuk dapat dikenal diluar, hanya saja didalam masyarakat, dikarenakan tidaklah memiliki dampak diluar, oleh karena itu wibawa reusam tidaklah begitu diperhitungkan. Orang Aceh tidaklah mempunyai akses kekuasaan dan kekuatan keluar, maka mereka belumlah mampu melihat bagaiman keadaan pesisir Aceh untuk keluar. Dari itu semua dimaksudkan apakah orang yang berada di pesisir, terkhususnya bagi nelayan atau pawang yang selalu mengabil kebijakann, yang kemudian mampu memahami pesisir aceh dalam konsep geo-politik ? atau sanggupkah orang aceh dalam memahami nilai kepentingan laut mereka dalam perpekstif ASEAN community 2015 pada saat itu ?
Kita pada saat ini yang masih saja memikirkan tepi laut dan Reusam atau tradisi namun orang aceh yang lainnya telah memikirkan bagaiman masa depan aceh kedepan, mulia dari pesisir hingga bukit barisan, dalam catatan sejarah laut memiliki arti yang cukup penting bagi kita, karena dari laut dapatlah membangkitkan ekonomi orang-orang yang berada disekitarnya, banyak yang dapat dihasilkan dari laut.