Pesawat Terbang Menjadi Kebutuhan Sekalipun Mahal

Satu hari seorang teman berbincang tentang trip yang akan dilakukannya berdua teman kerja. Saya ikut menyambung Pembicaraan itu karena tujuan kami sama dengan ketibaan yang sama juga. Kami pun berseloroh, "Wah jangan-jangan kita satu pesawat dong?" dan kami tertawa senang. Terutama saya yang biasa solo traveling mendadak ada teman seperjalanan.

Saya mendadak ingat kalau pesawat saya bukan dari Indonesia tapi Bangkok. Perjalanan saya memang sudah tersusun untuk ke dua negara sementara mereka hanya menggunakan enam hari liburnya di Hanoi dan Ho Chi Minh. Mendengar saya memiliki rencana ke Da Nang buat mereka tertarik. Kami berbincang tentang transportasi ke tiap kota yang akan dikunjungi.

"Kakak, pakai Vietjet dari Hanoi ke Da Nang? Wah harganya mahal. Kenapa Vietnam penerbangan domestiknya justru lebih mahal dibanding kalau kita beli tiket Jakarta-Hanoi ya?"

Saya pun berkelakarlah dengan Mereka, bahwa Indonesia punya teman tiket domestik yang mahal. Padahal tiket domestik Thailand dan Kuala Lumpur murah loh... Jepang sekalipun saya belum pernah mencoba tiket domestiknya tapi banyak review kalau tiket domestik mereka juga kadang-kadang murah. Ya, jika dibandingkan kereta cepatnya sinkansen.

"Ya kalau beli tiketnya jauh-jauh hari pasti murah. Mendadak beli pas mau berangkat seminggu lagi jelas mahal dong..." saya hanya tersenyum melihat respon yang tidak terbantahkan. Bagi saya dan bagi sebagian orang yang memang suka traveling, orang yang bekerja dengan perjalanannya harus memakai pesawat, tiket mahal memang mengesalkan sekaligus dibutuhkan.

Ketika marak berita tiket mahal domestik lalu ramai-ramai menyarankan untuk holiday ke luar negeri bagi saya ini bukan berita baru. Saya yakin dari dulu pun sudah seperti itu. Hanya saja, jika terbiasa mencari tiket dengan online, saya membiasakan diri masuk ke web maskapai lalu daftarlah sebagai anggota. Kegunaannya, setiap promo murah akan masuk ke email. Kadang promo anggota lebih diutamakan dan ada banyak lagi keuntungan yang bisa kita dapatkan.

Contoh saja maskapai Air Asia yang tiketnya murah meriah dan banyak digunakan. Saya kerap masuk ke webnya, www.airasia.com untuk cek harga di tanggal yang saya inginkan. Bagusnya Air Asia sudah memiliki harga untuk satu tahun ke depan. Rata-rata harga murah akan ada di tanggal tertentu bahkan sekitar enam sampai setahun akan datang. Tapi, ada juga diskon tiket di tanggal yang dekat. Semisal penerbangan itu masih memiliki banyak kursi kosong, Air Asia kerap mengeluarkan diskon.

Saya sering berbincang dengan teman seperjalanan. Jika ditanya soal harga tiket, Misal saya beli enam bulan sebelum berangkat hanya tiga juta dua ratus ribu rupiah pulang pergi cengkareng - kansai. Berbeda dengan teman di sebelah saya yang beli sebulan mau berangkat hampir empat juta rupiah. Sangat jauh perbedaannya bukan? Padahal, saya membeli tiket jauh-jauh hari untuk memberi waktu menabung dan menyusun jadwal perjalanan. Saya akan membutuhkan banyak menonton YouTube perjalanan orang lain selama traveling. Saya harus rajin membaca review dan kisah orang-orang selama melakukan perjalanan ke negara itu. Mulai dari karakter manusia dan kebiasaan lingkungan. Contoh, antri di kiri atau di kanan saat naik tangga berjalan jika hanya diam karena sebelahnya untuk mereka yang terburu-buru lalu jalan cepat. Jadi tidak hanya akan mendapatkan tiket murah jika beli jauh-jauh hari, tapi juga persiapan yang cukup sehingga saya akan percaya diri jika sekalipun harus jalan sendiri.

Jika kemarin heboh dengan harga tiket, sekarang justru tentang tidak boleh mendokumentasikan apapun di dalam pesawat. Bukan tanpa sebab, awalnya dari youtuber yang memasang instastory. Menu makan Garuda Airlines dengan tulisan tangan. Heboh setuju dan kontra dengan kritik betapa menurunnya pelayanan sejenis maskapai terbaik itu. Sempat bertengger di sepuluh besar maskapai dengan pelayanan terbaik jika saya tidak salah baca.

Fenomena apa ini? Ketika maskapai Indonesia menjadi bulan-bulanan kritik? Jika harus jujur, bukankah bagus untuk pelayanan lebih baik lagi. Walaupun sebagian komentar para traveler mengatakan, tidak apa ditulis tangan selama menunya enak. Tidak apa ditulis tangan selama tiket jadi murah. Seloroh yang pada intinya soal teknis seperti itu sepertinya akan bisa digantikan jika garuda airlines memberi bonus penumpang.

Bagi saya terkadang tiket mahal tidak lagi memusingkan sehingga harus ikut berkomentar. Jika saya butuh dan ada alokasi dananya, beli tiket mahal pun pasti dibeli. Tapi jika saya memang diberi akal yang banyak, saya akan mencari tiket maskapai yang murah atau mencari tanggal dengan harga yang murah. Sulit dan memusingkan bagi saya justru waktu dan uang yang harus direncanakan dengan baik jika ingin traveling dengan aman dan nyaman.

Ada begitu banyak tips untuk traveling hemat dengan kehebohan tiket pesawat yang mahal ini. Satu-satunya cara hanya dengan banyak membaca dan mencari. Dunia sekarang ini yang sangat mudah dicari hanya di online, jadi bijaklah dalam menggunakan hari-hari berselancar di dunia maya.

Jadi, mengatasi pengguna, pemberi tiket, atau netizen yang kritis bukan dengan melaporkan ke polisi dengan kartu sakti undang-undang ITE dan Surat edaran pelarangan mendokumentasikan apapun di pesawat. Penumpang itu pembeli yang adalah raja. Dan, netizen itu maha benar perkataannya di dalam dunia mayanya. Sikapi dengan cara yang tidak dibenci dan mengundang komentar negatif yang lainnya.

Jika saya selalu menyempatkan diri untuk selfi sebelum terbang, apa nanti pasti seluruh maskapai akan melarang selfi seperti ini?

Posted using Partiko Android