Menjenguk Kembali Era Militerium di Aceh
Berita Komnas HAM tentang pelanggaran HAM di Rumoh Geudong, (6/9) Aceh menghiasi media massa khususnya media online, dan makin massif ketika di share melalui media sosial.
Besoknya, 7/9 Jokowi mengumumkan Erick Tohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional. Terpilihnya Erick dipercaya dapat menandingi sosok Sandiaga Uno dalam perebutan pemilih milenial.
Jauh hari, April 2018 Media Indonesia Poltracking menurunkan ulasan Hanta Yuda AR Direktur Eksekutif Poltracking tentang pemilih milenial yang belum punya ketetapan pilihan politik.
Diingatkan juga sifat dari pemilih milenial yang akan berlaku mandiri untuk mencari tahu dan meverifikasi kandidat, jadi tidak bergantung pada sosialisasi politik di dalam keluarga.
Itu artinya, membanjiri informasi di media internet menjadi kunci untuk merebut 40 perden suara pemilih milenial yang umumnya bergantung pada informasi yang ada di internet dalam menentukan pilihan dan sikap, termasuk pilihan politik.
Patut diduga, laporan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM di Rumoh Geudong yang oleh beberapa media menitikberatkan warta pada keterlibatan Kopassus sebagai pelaku pelanggaran HAM berat, lebih ditujukan untuk mengisi "gelas informasi" bagi pemilih milenial, ketimbang untuk mendorong secara serius pengungkapan pelanggaran HAM di semua operasi militer yang terjadi di Aceh, termasuk kasus-kasus yang terjadi pada masa DOM diberlakukan di Aceh (1989-1998).
Jika memang Pemerintah RI serius mengungkap pelanggaran HAM di Aceh ada kasus yang jauh lebih dekat secara waktu, kebijakannya masih tersimpan, dan para penanggungjawabnya masih ada, yaitu pelanggaran HAM di masa Darurat Militer yang diberlakukan pada 19 Mei 2003 - 13 Mei 2004.
Atau, jika ingin lagi, yaitu pada masa Wiranto sebagai Menhamkam/Pangab mengirim Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) yang disebut untuk mengamankan Pemilu tahun 1999. Faktanya, pasukan yang melakukan Operasi Wibawa inilah yang menyeret kembali Aceh masuk ke era militerium ke-2.
Pada era militerium ke-2 inilah publik di Aceh dan nasional sudah akrab dengan istilah pelanggaran HAM berat. Koalisi NGO HAM di Aceh saban waktu mengingatkan ragam pelanggaran HAM berat disepanjang tahun 1999.
Sebutan Involuntary Dissapearance (penghilangan secara paksa), Extrajudicial, summary or arbitrarry executions (pembantaian termasuk petrus), Torture (penyiksaan), arbitrarry detention (penahanan semena-mena), violence againts women (kekerasan terhadap perempuan), termasuk pelanggaran HAM terhadap Human Rights Defender (para pekerja HAM, seperti aktivis LSM dan mahasiswa), arbitrary arrest (penangkapan sewenang-wenang) juga kekerasan terhadap wartawan dan anak-anak sudah akrab ditelinga rakyat di Aceh, juga di daerah lain di Indonesia berkat advokasi dan kampanye HAM.
Pelanggaran HAM berupa pembantaian (masacree/extra judiciary killing) adalah kasus yang paling menonjol di Aceh, dan juga ikut dilaporkan oleh LSM. Pada 30 Desember 1999, Koalisi NGO HAM Aceh melaporkan 9 kasus pelanggaran HAM paling menyedot perhatian publik, sebagai berikut: peristiwa Pusong, 3 Januari 1999, peristiwa Kandang 9 Januari 1999, peristiwa di Gedung KNPI, 9 Januari 1999, peristiwa Idi Cut, 3 Pebruari 1999, peristiwa Simpang KKA, 3 Mei 1999, peristiwa Beutong Ateuh, 23 Juli 1999, peristiwa Krueng Tuan, 7 Agustus 1999, peristiwa Aceh Selatan, 11 September 1999 dan peristiwa Samadua, Aceh Selatan 10 November 1999.
Ketua Koalisi NGO HAM pada masa itu, Maimul Fidar, yang sudah berpulang di masa tsunami (alfatihah) menyatakan bahwa kondisi pelanggaran HAM pasca DOM memiliki eskalasi yang jauh lebih tinggi dilihat dari kuantitas maupun kualitas pelanggarannya.
Kita tinggalkan sejenak laporan Komnas HAM yang diserahkan di musim Pilpres 2019 ini, sebuah laporan yang tidak menyertakan nama baik nama pelaku dan juga nama korban. "Soal nama kami tidak boleh menyebut, tidak hanya pelaku tapi juga korban," kata Choirul Anam, Ketua Tim Adhoc Penyelidikan Kasus Pelanggaran HAM Aceh, kepada awak media.
Sekarang, kita kembali sejenak menjenguk ke era militerium ke-2 di Aceh, 19 tahun lalu, satu tahun usai Soeharto menyataken mundur sebagai Presiden RI.
Pada masa Gus Dur, November 1999 DPR membentuk Pansus Aceh yang dipimpin
T Syaiful Achmad (PAN) dan Tgk H Nashiruddin Daud (PPP).
Setelah melakukan pertemuan dengan berdialog dengan Ketua Komisi Independen H Amran Zamzami, Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman, Mendagri Surjadi Soedirdja, dan Menneg Otonomi Daerah Ryaas Rasyid pihak Pansus Aceh berkeyakinan bahwa data pelanggaran HAM di Aceh pada masa DOM, sudah memadai.
"Kami kira, data-data tentang tindakan kejahatan di Aceh yang ada pada kami saat ini sudah memadai, sehingga Pansus DPR berkesimpulan tidak perlu lagi menurunkan tim ke Aceh," kata Nashiruddin Daud kepada media, 30/11/1999.
Pansus Aceh pun mendata nama-nama yang dipandang bertanggungjawab dengan DOM untuk dimintai keterangan, antara lain:
Empat mantan Pangab yaitu Benny Moerdani, Try Sutrisno, Edi Sudrajat dan Feisal Tanjung. Mereka akan dimintai keterangan berkaitan dengan perintah pemberlakuan DOM di Aceh, sejak tahun 1988.
Dari empat mantan Pangab tersebut, Edi Sudrajat pernah menjabat sebagai Pangdam I/Bukit Barisan (16 Mei 1981 sampai 19 April 1983).
Selain nama-nama tersebut, juga ada nama mantan Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Pramono, Letjen TNI Purn Syarwan Hamid (selaku mantan Danrem 011/Lilawangsa), Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim (selaku mantan Komandan Satgas Kopassus di Aceh), serta mantan Gubernur Aceh Prof Dr Ibrahim Hasan.
Sebenarnya, bukan hanya nama-nama di atas yang masuk dalam list panggilan, juga nama Soeharto yang dijadwal akan dipanggil Sabtu (27/11/1999). Namun, menurut Ketua DPR Akbar Tanjung, pada 25 November 1999, kondisi Soeharto sudah sepuh dan kesehatannya memprihatinkan, mantan presiden Soeharto juga disebut secara politis sudah mempertanggungjawabkan segala kebijakannya di MPR.
Atas dasar itu Akbar sendiri lebih setuju, kalau DPR lebih memfokuskan diri pada pemanggilan para mantan bawahan Soeharto. Misalnya Jenderal (Purn) Benny Moerdani, Jenderal (Purn) Try Soetrisno, dan Jenderal TNI Wiranto.
Keputusan "mengundang" mantan Presiden RI dan nama lainnya itu disepakati dalam rapat Pansus Aceh di DPR, Selasa (23/11) siang.
Dari sekian banyak "Jenderal terpanggil" nama Benny adalah yang paling menarik perhatian pada masa itu. Saat menjadi Pangab, kekuasaannya luar biasa besar, ia bisa menentukan hitam-putihnya ABRI sesuai kemauannya.
Benny seolah-olah seperti "anak emas" mantan Presiden Soeharto. Segala tindakan Benny selalui disetujui Soeharto, termasuk tindakan yang kontroversial, seperti Kasus Priok (1984), Penembakan Misterius (1983), perintah DOM di Aceh dan Timtim.
Publik tentu saja sangat menaruh harapan. Tap, publik langsung kecewa ketika melihat melalui televisi kemampuan LB Moerdani berkelit, dan malah balik menyalahkan pihak Pansus Aceh saat di DPR (29/11/1999). "Lain kali yang diundang Panglimanya saja," jawab Benny kalem.
Lolosnya LB Moerdani dari Pansus Aceh menimbulkan kecaman publik. Bagi publik, LB Moerdani terlibat, soalnya kebijakan operasi militer di Aceh sudah diberlakukan sejak Jenderal M Yusuf (1978-1983). "Otomatis Benny terlibat, karena Benny adalah pengganti M Yusuf. Sayang nalar seperti ini, tidak singgah di kepala anggota Pansus," tulis Henry Boen, yang menyebut diri mantan aktivis LSM di artikel berjudul "Meratapi Kinerja DPR. "
Selain melihat kelemahan di pihak Pansus Aceh, ada juga publik yang melihat bahwa Rapat Dengar Pendapat dengan bekas petinggi ABRI itu bagai "pengadilan liar". Para bekas jenderal yang disebut dengan ksatria memenuhi undangan Pansus DPR, ternyata dijadikan "pesakitan". Mereka seakan sudah divonis bersalah. Demikian pandangan pengamat sosial politik, alumnus Fisipol UGM, Supama P Dikromo, dalam artikel berjudul "Adegan Sinetron. "
Selain LB Moerdani, mantan Pangab Try Soetrisno, mantan Kassospol ABRI/Danrem Lilawangsa Syarwan Hamid juga datang memberikan klarifikasi dalam acara dengar pendapat dengan Pansus DPR.
Upaya Habibie, Gus Dur dan Megawati untuk mencoba menanggani masalah Aceh justru kembali terperangkap dalam lingkaran kekerasan karena masih dominannya pengatuh militer. Baru pada masa Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla rakyat Aceh terbebas dari lingkaran kekerasan militer lebih lanjut bersebab terselesainya konflik Aceh secara permanen berkat MoU Helsinki yang disepakati 15 Agustus 2005.
Meski begitu, usaha pengungkapan pelaku dan penanggungjawab pelanggaran HAM baik semasa DOM dan paska DOM juga belum terjadi. Padahal, dalam MoU Helsinki terdapat perintah kepada Pemerintah untuk membentuk pengadilan hak asasi manusia di Aceh.
Di satu sisi, dengan diserahkan laporan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM di Rumoh Gedong, maka salah satu tugas Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan proyudistisia terkait Aceh sangat bagus sebab sudah memakan waktu 5 tahun sejak 2013. Namun, karena laporan ini diserahkan ada musim Pilpres 2019 maka tidak tertutup kemungkinan laporan ini lebih bermotif politik ketimbang serius untuk menjalankan perintah MoU Helsinki terkait pembentukan pengadilan HAM di Aceh guna mengadili beberapa kasus pelanggaran HAM.
Sebagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dijanjikan oleh Jokowi untuk diselesaikan, termasuk kasus kematian Munir namun ternyata hanya untuk kepentingan politik elektoral maka publik perlu berhati-hati dalam mengkonsumsi informasi yang berkembang di masyarakat khususnya di musim Pilpres 2019 ini sehingga para polisi pengumpul suara tidak menjual janji muluk namun abai memenuhi janji politiknya. Buktinya, sudah empat tahun, semua janji penegakan HAM tidak ada yang berhasil diwujudkan. Jika laporan pelanggaran HAM di Aceh kembali dijadikan sebatas alat politik elektoral untuk meraup pemilih milineal yang umumnya minim informasi tentang kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, maka amanah HAM dalam konstitusi hanya jadi permainan politik belaka dan ini pengingkaran pada perjuangan reformasi rakyat. []
Foto by google
Kuat di data memang lebihnya tulisan abng. Menjaga akal tak mudah lupa.
Melawan lupa