Gampong Keeh || An Anthropological Field Note Chapter One
Ini adalah kali ketigaku menginjakkan kaki di Desa Keeh atau dalam istilah lokalnya Gampong Keeh. Salah satu dari lima puluh desa yang terhimpun di bawah Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh yang merupakan lokasi penelitian tugas akhirku.
Pertama kali tiba di tempat ini. Honestly tak ada hal khusus atau spesial yang membuatku tergugah. Selain hamparan areal persawahan dan kehidupan pedesaan khas Aceh. Di mana hampir seluruh warganya mengenakan bahasa lokal dalam berkehidupan sehari-hari dan syariat islam yang menjadi landasan bermasyarakat. Namun kemudian setelah beberapa kali kemari. Satu hal yang membuatku betah adalah sikap masyarakatnya yang cenderung terbuka dan menerima kehadiran orang baru. Apalagi dengan kondisiku yang belum sepenuhnya mampu berbahasa Aceh.
Belum sepenuhnya bisa bukan berarti tak sama sekali mengerti. Aku sudah lahir dan tumbuh di negeri seramoe mekkah ini. Namun karena lingkungan tempatku tumbuh dan berkembang kurang menerapkan bahasa lokal dalam berkomunikasi. Maka maafkanlah jika Bahasa Acehku masih terbilang cilet-cilet.😂 Setidaknya lewat KKN yang sudah kulakukan cukup membantu kemampuan berbahasaku di penelitian kali ini. (*Thanks a lot KKN squad😂).
Oke back to the point that I want to tell you guys! Jadi, di kunjungan ketiga ini aku dan seorang rekanku bermaksud untuk langsung melakukan observasi sekaligus wawancara awal dengan beberapa warga yang menjadi informan dari penelitian kami. Especially para petani, buruh tani dan agen mesin pertanian. Jangan heran atau bertanya mengapa yang kusebutkan berbau pertanian sedangkan jurusanku bukan itu. Fyi guys di keilmuan antropologi itu ada banyak sub kajian atau studinya. Ada antropologi ekonomi, ekologi alias lingkungan, kesehatan, hukum, politik, agama, dll. Nah sedangkan aku lebih berfokus pada studi pertanian. Gak heran sih kalau ada yang nyebutin antropologi itu ilmu rakus atau "induknya ilmu segala ilmu". Asal jangan disebut ilmu ghaib!😂 Noh catet!
So, di kesempatan ini kebetulan kami hadir di waktu yang bertepatan dengan akan dilaksanakannya khauri umrah. Yakni serupa dengan hajatan atau syukuran bagi orang atau warga yang akan berangkat umrah. Maka, beruntung pula kami karena diberi kesempatan untuk mencicipi beberapa kudapan khas Aceh lewat jamuan. Diantaranya beberapa kue tradisional yang hanya akan ada di acara-acara tertentu seperti khauri umrah ini. Antara lain meusekat (berupa pulut putih yang disantap dengan inti kelapa), dodoi (sama dengan dodol), rasyidah (kue bewarna putih yang ada bawang-bawangnya itu. Mirip dengan rasyidahnya langkat menurutku), dan haluwa (kue sejenis rasyidah cuma tidak ada bawangnya, kalau di langkat haluwa itu manisan buah). Nah, keempat penganan itu sudah sering terdengar di telinga masyarakat Aceh, akan tetapi terasa baru dan luar biasa di telinga maupun di lidahku. That was so fantastic! Really!😆
(meusekat yang dihidangkan kala kami hadir di salah satu rumah warga yang tengah mempersiapkan khauri umrah)
(Kudapan tradisional Aceh dari "mamak", ibunda Pak Geuchik Gampong Keeh)
Ya, mungkin baru segini dulu yang dapat kubagikan ke kalian terkait pengalamanku turun lapangan di Gampong Keeh. Masih ada cerita menarik lainnya. Karena perjalananku di gampong ini masih akan berlanjut. So stay tune yak! And see you on next post guys thanks!
😉💋
Gampong Keeh, 10 Mei 2018
Salam hangat❤
@putrianandass