"Filsafat Aceh" Review Acehnologi (II : 16)
Dalam pembahasan sebelumnya, saya pernah sedikit menyinggung tentang kosmologi dan kaitannya dengan filsafat, walaupun belum dipaparkan secara rinci dan mendetail. Mengikut alur pembahasan Acehnologi volume 2, maka materi selanjutnya adalah tentang Filsafat Aceh.
Berbicara tentang filsafat, dari sekian banyak orang termasuk saya dan teman-teman, masih merasa bingung dan bahkan cenderung menarik diri dari pembelajaran tentang. Hal ini saya alami ketika pertama kali memasuki dunia perkuliahan, dimana kami dituntut untuk mengambil mata kuliah Filsafat Umum pada saat semester dua. Saya kemudian semakin dibuat bingung dengan banyaknya nama tokoh atau filosof serta angka-angka dalam bentuk tahun kelahiran hingga masa berakhirnya suatu pemikiran seorang tokoh. Bagi saya pembelajaran tentang filsafat awalnya sama halnya dengan mempelajari Sejarah yang saya rasa cukup membosankan. Semenjak itu, ketika mendengar kata-kata filsafat saya biasanya akan menutup diri dan enggan berpendapat atau memberikan pandangan kepada orang lain.
Sejauh yang saya ketahui, menyoal mengenai filsafat, akan terbagi kepada dua kubu besar, yaitu Filsafat Barat dan Filsafat Timur. Walaupun pada faktanya dunia cenderung lebih memandang dan mengakui Filsafat Barat ketimbang yang Filsafat Timur. Tak heran, karena memang saat ini dunia tengah dikuasai oleh orang-orang Barat. Bahkan suatu teori atau ideologi pun kerap dikutip atau diambil dari pemikiran mereka.
Kiranya hal ini juga yang membuat penulis awalnya merasa ragu untuk membahas tentang Filsafat, yang notabenenya baru dapat diakui ketika mampu bersinggungan atau menyentuh alam pikiran filsafat barat. Apalagi sampai saat ini belum ditemukannya tokoh atau intelektual Aceh di kalangan peminat kajian filsafat yang namanya cukup megah di telinga para penuntut ilmu. Namun demikian, bukan berarti tidak boleh diupayakan untuk menggali gagasan-gagasan mengenai Filsafat Aceh. Sebab, kemajuan dan bertahan dari pengaruh pemikiran dari luar terutama pada era modern, ditambah dengan kemunculan karya-karya intelektual di Aceh, membuktikan bahwa ada suatu sistem ide yang dikembangkan di Aceh.
Disinilah Acehnologi berupaya untuk bagaimana menempatkan kajian terhadap Filsafat Aceh dapat sejajar atau sekurang-kurangnya diakui oleh filsafat-filsafat yang sudah mapan, terutama Barat. Untuk itu perlu kiranya upaya untuk mencari arah dan gerak sistem berpikir secara filosofis di Aceh dengan cara mencari akar fundamental atau hal-hal dasar mengenai Filsafat Aceh. Inilah yang akan dibahas oleh penulis dalam bab ini.
Penulis selanjutnya mengutip pendapat Solomon yang menyatakan bahwa filsafat hanya terdiri dari dua komponen yaitu, critical thinking (berpikir kritis) dan passionate vision (visi kasih sayang). Hal ini sama halnya dengan definisi filsafat itu sendiri yang berarti 'cinta' atau 'kebijaksanaan'. Jika dikaitkan dengan konteks Aceh, maka studi untuk memahami dua hal tersebut harus kita pikirkan dan kita pahami terlebih dahulu makna kata cinta dan bijaksana.
Dalam bahasa Aceh, cinta dapat diartikan dalam istilah 'galak'. Jika dihubungkan dengan konsep makna filsafat di atas, maka hal ini ada kaitannya dengan konsep Kosmologi Aceh, dimana semuanya diserahkan pada Allah. Hakikat orang Aceh adalah merek mampu menghadirkan sikap dan karakter di dalam kehidupan mereka pada kecintaan yang berlebihan kepada Allah. Sehingga, mereka menghubungkan setiap gerak kehidupannya pada titik akhir yaitu Allah.
Adapun bijaksana sering diidentikkan dengan kata-kata hikmah. Orang aceh beranggapan bahwa segala tindak tanduk di dunia ini semuanya memiliki hikmah. Inilah yang kemudian mengantarkan orang Aceh memiliki kemampuan untuk bertahan dan tetap tersenyum walau badai menghadang menerpa. Maka berbicara tentang love of wisdom di kalangan orang Aceh, tentu akan mengantar kita pada pemahaman bagaimana falsafah kehidupan orang Aceh.
Mengkaji tentang falsafah Aceh bukanlah suatu yang mudah, bahkan disini penulis mengungkapkan bahwa beliau dalam rangka untuk memahami hakikat filsafat Aceh harus terlebih dahulu melakukan perbandingan filsafat terutama Filsafat Barat dan Filsafat Timur. Hal ini menurutnya, melalui perbandingan filsafat, akan diketahui bagaimana perkembangan ide-ide yang berkembang di dalam suatu masyarakat.
Setelah melakukan berbagai kajian terhadap beberapa literatur tentang filsafat dalam upaya untuk memperbandingkannya, penulis akhirnya sampai pada titik dapat menyajikan pemahaman awal tentang filsafat Aceh sebagai berikut; "Filsafat Aceh adalah bentuk pemikiran yang dihasilkan oleh orang Aceh yang memiliki rasa pada kesadaran diri orang Aceh, yang dibentuk oleh standar berpikir dan berperilaku menurut apa yang diyakini oleh orang Aceh dari sumber-sumber yang ada di dalam tradisi orang Aceh itu sendiri". Berdasarkan definisi tersebut ada lima unsur penting yag perlu diperhatikan yaitu, pemikiran, kesadaran, standar berpikir dan berperilaku, keyakinan, dan tradisi. Kelima unsur inilah yang akan dibahas dalam buku Acehnologi volume 3 nantinya. Dengan demikian, dalam hal ini, Acehnologi telah berupaya untuk menemukan konsep Filsafat Aceh melalui spirit ke-Acehan yang membentuk kesadaran orang Aceh itu sendiri dan menghasilkan sistem berpikir orang Aceh, seperti yang telah saya bahas dalam volume 3.