SECANGKIR KOPI UNTUK AYAH / 1

in #indonesia6 years ago

Hasni menatap dapur di rumahnya dengan perasaan campur aduk. Baru beberapa hari yang lalu ia sibuk berkutat di dapur itu, ruangan di mana ia menghabiskan setengah harinya setiap pagi hingga menjelang siang. Sekarang dapur itu sangat bersih, tidak seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.

Hasni menghela nafas panjang sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia melongok sebentar melihat jam dinding yang sudah miring ke kiri, letaknya tepat berada di atas televisi hitam putih miliknya. “Masih jam 11. Masih ada 2 jam lagi sebelum mereka pulang,” ujar Hasni setelah tepat berada di kamar. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur yang hanya terdapat sedikit kapas di dalamnya. Entah masih layak disebut kasur atau malah lebih pantas menjadi alas kaki.


Rumah itu sepi. Hanya ada suara cicak yang berdecih malas. Sarang laba-laba sudah menjadi hiasan yang tidak pernah absen di setiap inchi rumah kediaman gadis bertubuh jangkung itu. Lantai yang hanya dilapisi karpet berwarna coklat tua sudah terkelupas di sana sini. Sedang dua kursi plastik bekas yang diperoleh dari tetangga menjadi satu-satu barang yang masih memiliki warna utuh di rumah itu. Yang lain tak ada. Semua sudah tua, usang dimakan usia.

“Mereka kenapa belum pulang? Padahal ini kan sudah siang,” gumaman Hasni hanya disahut cicak-cicak yang tak berpindah di dinding kayu dekat pintu depan rumahnya. Perasaan khawatirnya tidaklah berlebihan. Wajar seorang anak, kakak untuk adik-adiknya, merasa cemas Ayah dan Adik-adiknya belum sampai ke rumah. Sudah beberapa hari ini mereka selalu saja pulang telat. Saat Hasni tertidur menunggu mereka pulang, barulah mereka tiba di rumah. Selalu begitu. Itu yang ada dipikiran Hasni.

“Apa mereka tidak sayang padaku? Mereka pikir aku tidak rindu sarapan pagi bersama mereka? Membuatkan kopi untuk Ayah, melihatnya menyeruput kopi yang kubuat. Memelototi Rizal yang merebut ubi rebus milik Fitri. Anak itu. Padahal semuanya sudah mendapat jatah satu seorang, tapi masih saja tidak cukup. Belum lagi Jamilah yang merengek meminta jajan pada Ayah. Aku rindu pagi-pagi yang ku habiskan bersama mereka. Dapur yang selalu ramai. Bohong. Aku bohong mengatakan hari-hariku melelahkan karena merawat kalian. Mengurus segala keperluan kalian menggantikan Ibu yang sudah lebih dulu meninggalkan kita. Aku bohong,” Hasni meracau sembari menatap langit-langit di kamarnya. Pemandangan indah. Sarang laba-laba dengan bekas-bekas air hujan yang sudah menggelap menjadi warna penghias di atap kamarnya. Ia kembali tertidur.


Keesokan harinya Hasni kembali bangun. Iya menatap sekeliling rumahnya. Masih seperti kemarin, kemarin lagi, dan kemarinnya lagi. Ayah dan ketiga adiknya sudah lebih dulu berangkat sebelum ia bangun. Rumah ini kembali sepi, pikir Hasni.

Tidak ada yang bisa Hasni lakukan setelah ia selesai mandi. Stok ubi di rumahnya sudah tidak ada lagi. Beberapa hari Ayah pulang tanpa membawa bekal makanan untuk mereka. Tak ada ubi, apalagi daunnya, tak ada jagung yang sekali-sekali bisa mereka santap jika ayah mendapat rejeki lebih. Nasi? Jika memakan jagung saja sudah harus menunggu ayahnya mendapat rejeki lebih, tentu untuk membeli nasi mereka harus lebih berdoa lagi supaya ayahnya mendapat rejeki yang lebih, lebih dan lebih.

Hasni melirik celengan ayam milik Fitri. Adik ketiga nya setelah Rizal dan Jamilah. Hanya Fitri yang memiliki celengan di keluarga mereka. Anak itu selalu menyisakan uang yang di dapatnya dari hasil membantu Wak Boiti menjual kue kering di sekolahnya. Mempromosikan kue kering Wak Boiti ke setiap kelas saat jam istirahat menjadi rutinitasnya. Hasni memegang celengan itu ragu. Haruskah ia mengambil uang Fitri tanpa sepengetahuan adiknya. Jika iya, Hasni takut nanti Fitri akan marah dan kecewa. Walaupun nantinya Fitri akan mengerti, karena toh ini juga untuk membeli kebutuhan makanan untuk mereka.

Setelah berperang dengan keraguannya. Ia memutuskan untuk mengambil uang dari celengan Fitri. Celeng yang dibawahnya sudah memiliki bekas potongan memanjang karena ulah Rizal itu memudahkan Hasni. Berbekal uang delapan ribu rupiah di tangannya Hasni melangkah keluar rumah. Menutup pintu dan mengaitkan besi yang berada di pintu depan rumahnya.

Dari kejauhan terlihat Bang Him serta kedua keranjang di sisi kiri dan kanan sepeda motornya hendak menjauh karena mengira sudah tidak ada lagi pembeli. “Bang!”, Hasni yang melihatnya berteriak keras.

“Bang Him! Sayurnya!”

“Eh Hasni. Sebentar,” Bang Him membelokkan sepeda motornya mendekati Hasni.

“Beli apa, Ni?”

“Sayur, Bang. Sama terasinya satu,” Hasni mengambil dua bungkus sayur dalam plastik putih.

“Kenapa banyak sekali? Bukannya kamu hanya makan sendiri, Ni?”

“Bang Him jangan berkata seperti itu. Jangan mentang-mentang sudah seminggu ini Ayah dan adikku selalu pulang saat aku tertidur, mereka hari ini juga akan begitu. Mereka akan pulang saat makan siang nanti kok, Bang. Makanya aku harus memasak yang banyak. Mereka pasti senang bisa makan terasi dan sayur rebus.”

“Berapa, Bang?” lanjut Hasni.

“Sama terasi 3 ribu aja, Ni.”

“Ini. Beras 5 ribu bisa kan, Bang? Biar pas 8 ribu. Hasni Cuma punya uang segini,” ujar Hasni tersenyum canggung.

“Iya boleh-boleh. Ini ambil saja,” kata Bang Him.

“Terima kasih ya, Bang,” ujar Hasni sembari perlahan berjalan menjauh. Ia bermaksud kembali ke rumahnya.

“Bang Him! Melamun aja,” Wak Boiti mengagetkan Bang Him yang menatap kepergian Hasni dengan mata berkaca-kaca.

“Eh Wak. Aku ngelamunin si Hasni, Wak. Kasian ya dia.”

“Sudahlah. Dia memang seperti itu. Beberapa hari yang lalu saja dia menemuiku. Menanyakan si Fitri, dia menanyakan apa Fitri masih menolongku berjualan kue kering. Anak itu masih belum bisa menerima kenyataan, Him. Andai ada yang bisa menyadarkan dia. Penyesalannya mungkin sudah terlambat.”


Bersambung


Sort:  

Congratulations, you were selected for a random upvote! Follow @resteemy and upvote this post to increase your chance of being upvoted again!
Read more about @resteemy here.

Keren Mut 👍

Terima kasih, NH 😂

keren kak. aku suka cerpennya. aku tercengang di bagian paling bawah.
di tunggu lanjutan ceritanya

Mantap kaka😄😁

Sehaiiii bg cuil lagoe 😂

Hahahaha mantap mantap
Terus berkarya adoe,biar makin cair😄😝😝

Nyan bang adun euk. Hana meurasa meusisen pih lom nyoe hahaha roneuh lah kan bereh hahaha

wah.. Mantap! Hehee teruslah menulis, ikuti sayembara cerpen atau novel. Pasti juara!

Terima kasih, bang. Masih terus belajar menulis hehehe wah jauh dari kata juara bg. Mutia sering menyimpan info sayembara tapi tidak pernah selesai menulisnya, niat diawal kalah dgn berbagai alasan hehehe

Harus tetap semangat. Jangan mudah menyerah.. Coba sharing dengan bang @arafatnur. Mungkin akan bermanfaat jika sharing dengan beliau tentang puisi, cerpen atau novel. Beliau orang baik dan ramah.

Terima kasih bang. Masalahnya jadi jarang-jarang buka steemit ini hehehe Sedikit segan dan banyak kagumnya bang sama beliau hehehe

@mutiaagustisa jangan menyerah! Ajak ngopi aja sekali-sekali dengan beliau. Pasti dia mau.. Hahaa salam!

keren kak
kayaknya harus sering-sering berkunjung ke blog kak mutia nih untuk belajar nulis :)

Terima kasih, dek. Sama-sama belajar kita dek hehe masih banyak kurangnya, kakak pahah belajar bak adek nyoe, produktif that dalam menulis hehehe

long hana careng tumuleh kak :(

Pu roh hana careng, tulisan that lee ka. Ka meu asah jujuuu berarti :)

tulesan hana le kak ek ta bileung nyan pih ka meu jampu ngen gamba

koment yang le sagai :D :D :D

Mantaf ceritanya...

Terima kasih banyak, Kang. Maaf baru buka lagi steemitnya hehehe @lukmanhakim1974
Terima kasih juga sudah sudi kiranya berkunjung hehe

Saya sangat menikmati ceritanya. Jadi bisa berimajinasi dengan suasana dan karakter tokohnya.
Ditunggu kelanjutannya ya @mutiaagustia

Terima kasih banyak kang @tusroni saya baru membuka steemit lagi. Siap kang, semakin semangat saya karena ada yang sudi membaca dan menikmatinya hehehe

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.14
JST 0.030
BTC 67364.26
ETH 3322.90
USDT 1.00
SBD 2.71