Keude Njong, Kota yang Hilang
Njong dahulu kala merupakan sebuah kerajaan kecil di Pidie Jaya. Di Njonglah Laksamana Polem Negeri Njong bertahta, ia kakeknya Laksamana Umar, yang rumahnya di Lueng Putu pada tanggal 10 Desember 1945 menjadi tempat diadakannya rapat konsolidasi para Ulee Balang jelang Perang Cumbok (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 121). Menurut Hasan Saleh dalam buku Mengapa Aceh Bergolak, rapat akbar itu mengurbankan belasan sapi, dan dihadiri oleh puluhan Ulee Balang, termasuk T. Daud Cumbok sendiri.
Keude Njong merupakan sebuah pelabuhan yang pesat. Kejayaan Keude Njong masih sering diceritakan orang-orang tua, dan kemakmuran Keude Njong kerap digambarkan dengan; di Keude Njong Oen Keureusong lagot ta publoe. Tak jelas, sejak kapan dan tahun berapa Keude Njong eksis, dan hilang dari peta. Informasi dari sejarawan H.M. Zainuddin dalam biografi singkatnya mengaku bahwa ia lahir di Keude Njong, 10 Mei 1893. Dari informasi itu setidaknya dapat diperoleh keterangan, bahwa Keude Njong pada tahun 1893 masih ada.
Sebagai pelabuhan yang sibuk, tentu saja Keude Njong banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa. Mereka ada yang sekadar singgah, berdagang, istirahat atau bahkan menetap di Njong. Kecuali yang sudah diulas oleh @akukamaruzzaman, bahwa ada serombongan orang-orang Madras yang menetap, dan kemudian mereka membuka sebuah kampung sendiri, sampai hari ini kampung itu masih ada dengan nama Gampong Sawang, tentu saja dengan wajah-wajah Indianya. Aku dapat merekam wajah kawan-kawan dari gampong Sawang itu dengan ingatan yang mengabadi tiap kali kenangan masa Sekolah Dasar (SD) terngiang, seperti Jufrizal kawan yang semenjak SD sudah mulai berkumis halus, bulu-bulu mulai menyeringai di permukaan pipi kanan-kirinya seperti berebutan ingin keluar. Badannya tegap dan kekar, aku sering menggunakannya sebagai tameng sekaligus senjata untuk menggertak orang. Dan tentu saja, wajahnya mirip Sanjay Dutt.
Suhaimi, kawanku yang sejak kelas 4 SD hingga sekarang tidak pernah lagi terdengar kabarnya, terutama semenjak orang tuanya pindah ke ibukota adalah kawan lainnya yang berwajah Tionghoa. Ia sering dipanggil Apek. Apek, E dibaca seperti bunyi E pada ketapel. Ia mendapat julukan demikian karena sejak kelas satu selalu memakai jenis sepatu yang sama seperti yang dikenakan Wong Fei Hung dalam Film Once Upon A Time ketika menendang wajah lawannya dengan jurus tendangan seribu bayangan.
Kini Keude Njong telah menjadi hamparan tambak. Waktu kecil, jika ingin menyeberang ke Pasi Jeumeurang via Kuala Tari, kami biasanya akan melewati pematang tambak-tambak ikan dengan bibir kuala yang dipenuhi banyak sekali pecahan-pecahan piring. Beberapa dari kami biasanya juga sering menemukan koin, atau jika air sedang surut dari salah satu tambak ikan, seonggok besar besi yang sudah didiami ratusan keluarga tiram akan muncul ke permukaan. Menurut cerita bongkahan besi tua itu adalah mesin kapal Belanda yang dibakar para pejuang, kabar lain menyebutkan besi tua itu adalah bagian dari mesin kapal milik seorang raja-Ulee Balang- yang ikut hangus bersama Keude Njong.
Sewaktu masih kecil kami selalu percaya bahwa besi tua itu memiliki kekuatan mistis, misalnya jika sore tiba jangan sekali-kali melewati tambak ikan itu karena di sana ada penunggunya, sehingga bisa-bisa kau akan diganggu dan berakibat fatal seperti; tidak bisa tidur malam, mimpi buruk, lalu yang paling sial adalah diserang demam lalu rambut rontok.
If You Like To Post Photography, Then Upload Photo On FotoBay And Some Upvotes