Dua Kali Dhuhur
Di antara sekian banyak lelaki di dunia, aku merupakan salah satu yang kerap melakukan penelitian pada teori-teori yang bersumber dari perempuan. Dan mungkin juga, aku adalah satu-satunya lelaki yang agak kurang percaya pada teori-teori mereka.
Kuakui, juga salut, teori-teori itu memang indah dan menawan, sampai-sampai aku merasa seperti berada di langit ke tujuh ketika mendengar atau membacanya. Namun pada hakikatnya, kebanyakan "sy'oe ujoeng," atau kalau mau disebut dalam istilah Aceh yang sudah ditranslate ke dalam Bahasa Indonesia, rata-rata "dua kali dhuhur."
Dulu, ketika aku sedang mencuci pakaian, rata-rata perempuan yang melihatnya mengatakan, "makajih, mita laju ureung inoeng, nak na so seumerhah."
Menurutku, saran itu merupakan sesuatu yang menarik. Maka setelah selesai mencuci, aku masuk ke dunia fesbuk. Melalui dunia itu, aku membuat sebuah status yang kuanggap sangat mirip dengan iklan. "Pat na ureung inoeng dile sidro? Han ek le ta seumeurhah nyoe." Begitu bunyi status mirip iklan itu.
Baru beberapa menit postingan itu mengudara, sebuah komentar dari seorang perempuan masuk. "Neupike le droneuh ureung inoeng nyan mesin cuci? Untuk seumeurhah-seumeurhah?"
Buno diyu mita ureung inoeng, untuk ureung seumeurhah, lheuh nyan ka dipeugah kon mesin cuci.
Saran dari perempuan yang dihantam sendiri oleh perempuan hanya dalam tempo beberapa saat. Kejadian ini merupakan teori "sy'oe ujoeng" yang pertama.
Akhir-akhir ini, aku juga kerap menemukan seuntai kalimat cantik dari perempuan di fesbuk. "Lelaki yang baik adalah dia yang mengajakmu menikah, bukan dia yang memberimu sejuta janji dan harapan." Begitu kira-kira bunyi kalimat itu.
Penasaran dengan keampuhan kata mutiara itu, aku mencoba meneliti. "Assalamu'alaikum, dek!" Sapaku via inbok.
"Wa'alaikum salam, bang!" Sejuk sekali jawabannya. Sungguh, aku merasa seperti sedang berada di awan malam itu.
"Oya...Adek sudah ada yang punya?" Tanyaku tanpa basa-basi lagi.
"Belum, abang. Aku masih single." Ada Bahasa Inggris di ujung kalimat jawaban itu.
Pas sekali, pikirku. Dan aku melanjutkan penelitian dadakan itu. "Kalau begitu, maukah adek menikah denganku?"
Sungguh, terus terang kukatakan, ini teori "sy'oe ujoeng" yang ke dua. Ternyata pertanyaan itu merupakan pertanyaan terakhir yang tidak pernah ada jawaban sampai berbuih-buih air liurku menunggu.
Setengah jam kemudian, aku menemukan sebuah status yang baru diupdatenya sekitar lima menit. Bunyinya : "Heuh...Hana meu taturi pih, meu tatuso tan. Aleh dari uteun pat troek geuh, ka jak pakat tanyoe menikah."
Buno yang ajak menikah adalah lelaki baik. Ban ta ajak, kajeut keu ureung uteun teuh. Benar-benar "dua kali dhuhur."
(Bek hana meupu tuleh nah? Tuleh gob tuleh drokuh, aleh pu hoem)