Lidah Petualang
Untuk apa jauh jauh
kauseberangi gurun
untuk mencari harta karun
padahal harta itu
ada di bawah akar pohon arun
di sisi rumah Pak Harun
tetanggamu itu, Gun!
Sekarang bukalah mata seraya berdiri di atas bukit tertinggi negeri. Layangkan mata ke utara. Perhartikan baik-baik. Nah, di situlah gas alam cair dari kedalaman tanah negeri disedot ke permukaan. Dari situ berwadahkan kapal-kapal bertangki besar ia dilayari entah ke beberapa benua. Bahkan sekian persen dari penduduk nun jauh di belahan matahari terbit sana mematangkan isi lambungnya dengan cairan alam tanah ini.
Sudah seperempat abad uap kedapan tanah indatu membahagiakan berjuta-¬juta orang di seantero bumi, namun kita sendiri tidak berbahagia di sini. Coba tanya lagi, "Sudah benarkah cara kita memahami semua anugerah yang Allah beri?"
Perbudakan di tanah serumpun nun jauh di balik ufuk membuat khayal melambung, sementara kemuliaan alam tanah warisan dalam pelukan orang.
Oo, ini adalah kedosaan yang tak terampunkan. Jangan pergi dulu. Pastikan bahwa kita masih berdiri di bukit ini dan layangan pandangan mengarah ke tenggara. Permadani hijau yang terbentang dalam wujud belantara Tuhan, aduhai, itu adalah paru-paru dunia. ¬Sungguh besar andil rimba ini dalam proses daur ulang udara bumi. Maka cobalah resapi persoalan berikut ini. Sesungguhnya ada ketimpangan besar dalam konteks bilateral antara negeri kita yang masih azali dengan negeri-negeri maju yang sudah tak suci lagi.
Kesenjangan Bilateral
Arahkan teropong ke sana. Lihatlah, tanah persada mereka diseraki pabrik industri dengan cerobong-cerobong asapnya yang membikin udara menjadi kotor dan bertuba. Tetapi dari bawah atap pabrik-pabrik itu mereka menuai serbaneka produk canggih yang sekian persen di antaranya dieksport dan dijual ke negeri ini dengan harga yang mahal.
Namun di tengah gezah gemerlapan semua itu, di situ berlakulah kutukan alam. Yakni, mereka sesungguhnya tidak memiliki udara bersih yang memadai untuk bernafas. Kalau sampai hari ini mereka masih sehat dengan nafas lancar tak tersengal-sengal, itu karena mereka masih menerima suplai oksigen murni yang sekian persen di antara¬nya adalah hasil produksi hutan negeri ini.
Nah, kalau kita dapat memaksa diri membeli barang-barang industri mereka dengan harga yang mahal kenapa kita tidak dapat memaksa mereka membayar nafas rimba ini dengan harga empat kali lebih mahal? Bahkan sampai¬-sampai, demi mempertahankan agar tetap lestarinya sang paru-paru dunia, kita menjadi terlarang kendati hanya untuk sekedar menebang kayu bakar di sana. Konon lagi untuk sejumlah kayu buat membangun rumah kita. Wahai, tidak bernilaikah pengor¬banan kita? Masih murahkah alam kita? Kenapa kita justru mau pergi?
Kita tentu tahu apa itu emas dan platina beserta uranium. Itulah tiga wujud mineral yang membuat dunia sering keblinger lantaran saking mahal harganya. Dan semua potensi tambangan itu sesungguhnya tindih¬-menindih bergumpal-gumpal dalam buaian bumi di bawah pijakan telapak kaki ini. Hendaknya semua itu jangan biarkan terpendam dalam pelukan sikap apriori anak negeri seumpama kristal gula yang kita terlantarkan berserak di atas meja sehingga jangan salahkan bila semut-semut datang mengerubunginya.
Untuk apa jauh jauh
kauseberangi gurun
untuk mencari harta karun
padahal harta itu
ada di bawah akar pohon arun
di sisi rumah Pak Harun
tetanggamu itu, Gun!