SALAH SATU KESENIAN BUDAYA ACEH "TOP DABOH" (DEBUS)
HIKAYAT RAPAI DABOH
Rapai Daboh atau yang lebih dikenal dengan nama dabus merupakan sebuah pertunjukan seni anti mainstream yang terkenal di Aceh. Betapa tidak, pertunjukan yang ditontonkan berupa kolaborasi apik antara alunan musik rapai, yang merupakan salah satu alat perkusi khas Aceh, dengan atraksi para pedabus yang menikam, memukul kepala dan badannya dengan benda tajam. Anehnya, aksi ekstrim ini tidak meninggalkan sayatan apapun pada tubuh si pedabus. Seakan semua benda tajam dan pukulan benda keras menjadi lunak di badan mereka.
Menurut Abdul Rani Usman, dkk di dalam buku Budaya Aceh (2009), dikatakan bahwa sebenarnya kata rapai berasal dari suatu tarikat yang menggunakan sebuah alat perkusi (alat musik pukul) sebagai media penyampaian ajaran untuk mengumpulkan massa. Tarikat yang dimaksud adalah sebuah jalan mendekati Allah. Ada beberapa tarikat yang terkenal di Aceh kala itu, yaitu Tarikat Naqsabandiyah dan Qadariyah. Masing-masing tarikat ini memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan ajarannya, termasuk dengan media penyebaran ajaran yang berbeda.
Awalnya, rapai daboh berfungsi sebagai latihan untuk memperkuat fisik. Layaknya para jawara di daerah Pasundan yang terkenal dengan kesaktian dan kekuatannya, maka tak heran jika di Aceh pun kita sering mendengar cerita tentang para leluhur Aceh yang terkenal kuat dan kebal terhadap senjata. Latihan rapai daboh ini dipimpin oleh seorang syeikh yang disebut khalifah. Kemampuan syeikh inilah yang nantinya akan melindungi para pedabus dari cedera benda tajam.
Walaupun banyak atraksi ekstrim yang dilakukan oleh para pedabus, namun tidak sekalipun mengurungkan niat masyarakat Aceh untuk menonton pertunjukan ini. Karena semakin banyaknya penonton yang menyenanginya, maka rapai daboh berubah fungsi menjadi sebuah pertunjukan seni. Rapai daboh berkembang di daerah Aceh Barat dan Nagan Raya. Di kota-kota besar seperti Banda Aceh dan kota-kota lainnya, penampilan rapai daboh telah dilengkapi dengan pentas yang dilengkapi dengan sound system dan lighting yang apik, sehingga menambah kedramatisan pertujukan.
Tim rapai daboh akan dibagi ke dalam dua tim. Tim pertama adalah para pemukul rapai yang berjumlah 8 s.d. 12 orang. Mereka semua berbusana serba hitam, memakai tangkulok di atas kepala dan memegang satu per satu rapai sambil duduk dengan posisi melingkar di arena pentas. Kemudian masuklah para pedabus berjumlah 2 s.d. 4 orang ke dalam lingkaran para pemain rapai. Kemudian para pedabus mengikuti setiap alunan bunyi rapai sambil menikam dan memukul badannya dengan benda tajam.
Contoh benda tajam yang biasa digunakan adalah rencong, pedang, pisau, rantai dan kayu-kayu pemukul yang besar. Saat ini aksi dabus pun bermacam-macam, seperti dilengkapi dengan aksi pertunjukan kebal terhadap api, aksi membakar diri, bahkan aksi menyemburkan minyak dan menyulutkan api ke udara. Namun sekali lagi, di bawah pemantauan sang khalifah, semua aksi menyeramkan ini tidak membuat luka apapun bagi si pedabus. Sekilas, pertunjukan ini mirip dengan pertunjukan kuda lumping di Jawa, saat pemainnya memakan pecahan kaca tanpa takut terluka.
Di sinilah letak perbedaannya, walaupun atraksi yang dilakukan oleh para pedabus sangat ekstrim, mereka melakukannya semuanya secara sadar. Biasanya, busana yang dipakai para pedabus hanya celana panjang setinggi betis, memakai ikat kepala dan tidak memakai baju. Sedangkan khalifah memakai pakaian lengkap seperti celana, baju dan tangkulok.
Kenangan yang begitu membekas di ingatan saya adalah saat pertama sekali saya menonton pertunjukan rapai daboh secara langsung ketika saya masih kanak-kanak di Meulaboh. Biasanya rapai daboh sering dihadirkan di acara perkawinan atau hajatan sunatan orang-orang besar dan bernama. Namun saat ini, pertunjukan rapai daboh semakin sulit untuk dijumpai. Banyaknya pegiat seni di Aceh, tidak menjamin banyaknya pegiat seni yang melestarikan rapai daboh.
Padahal Aceh masih sangat memerlukan kaderisasi perangkat khalifah, pedabus dan penabuh rapai untuk dapat melestarikan pertunjukan unik itu. Hal ini sangat disayangkan, mengingat rapai daboh bukanlah seni yang bisa dilakukan oleh sembarang orang, yang harusnya bisa untuk terus dipertahankan kelestariannya untuk anak cucu kita.
Hello @khairil86, apa kabar? Telah kami upvote ya..
kabar baik @puncakbukit, terima kasih.