Pabrik Gula Cot Girek Sebuah Riwayat
Aceh pernah memiliki pabrik gula dan perkebunan tebu yang luas di Cot Girek, Aceh Utara. Pabrik yang dibangun pada masa kolonial Belanda itu sempat dioperasikan kembali pasca kemerdekaan. Tapi kini, pabrik gula Cot Girek hanya tinggal riwayat.
Riwayat pabrik gula Cot Girek saya temukan dalam buku Pendjelasan Ringkas Pabrik Gula Tjot Girek. Buku ini diterbitkan oleh Badan Khusus Perusahaan Negara Perkebunan, tahun 1970.
Dalam buku itu dijelaskan, pabrik gula Cot Girek merupakan sebuah perusahaan peninggalan Belanda. Consesmionnaris pertamanya bernama Schwaamhuyzer. Ia diangkat dengan Surat Keputusan Gueverneur van Atjeh en Onderherigheden tanggal 30 Desember 1919.
Kemudian hak konsensi pabrik gula Cot Girek pindah ke NV Cultuur My Lhoksukon. Perpindahan ini dilakukan melalui surat keputusan Gueverneur van Atjeh en Onderherigheden tanggal 22 Februari 1930 dan tanggal 14 Desember 1932.
Pada masa itu, untuk menopang produksi gula di pabrik ini, dibuka lahan untuk perkebunan tebu di kawasan Cot Girek seluar 7.890,7 hektar. Dari luas lahan itu 2.000 hektar merupakan tanah datar dan 5.890 hektar tanah berbukit.
Foto Pabrik Gula Cot Girek tahun 1970
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Nasionalisasi ini dilakukan atas usulan Ketua Komisi Perdagangan dan Industri, MR Teuku Muhammad Hasan. Pria asal Aceh ini merupakan orang kepercayaan Presiden Soekarno yang kemudian menjabat sebagai Komisaris Negara Republik Indonesia. Ia juga pernah memegang tiga jabatan menteri sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
MR Muhammad Hasan menilai pendapatan negara dari pajak perusahaan asing di Indonesia sangat jauh dari yang seharusnya. Ia mengubah undang-undang dan melakukan nasionalisasi. Di Aceh salah satu perusahaan yang dinasionalisasi adalah pabrik Gula Cot Girek.
Nasionalisasi dan pelepasan hak erfpach dan hak konsesnsi perusahaan pabrik gula Cot Girek dari NV Cultuur My Lhoksukon kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1952.
Pada saat itu oleh PPN merencanakan penambahan lahan seluas 1200 hektar lagi. 750 hektar diantaranya untuk sawah yang dapat diari secara tetap dan 450 hektar sawah tadah hujan.
Tapi karena terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Perang Cumbok di Aceh, membuat usaha menanam padi di lahan baru itu gagal. Kemudian pada tahun 1960 diputuskan untuk menanam karet di lahan tersebut, sebagian lagi dilakukan percobaan menanam tebu. Sampai akhir tahun 1963 telah berhasil ditanam 460,79 hektar karet.
Pada tanggal 30 November 1963 diputuskan untuk membangun kembali pabrik gula Cot Girek. Pabrik dengan kapasitas giling maksimal 2.500 ton tebu perhari dengan luas tanam tebu gilingan 4.000 hektar
Pada tanggal 30 November 1962 ditandatangani kontrak pembelian pabrik gula Cot Girek antara pemerintah Indonesia dengan CEKOP Polandia. Pada akhihr tahun 1964 mesin mesin dan equipment pertama dari Polandia mulai didatangkan ke Cot Girek
Alat berat dan mesin didatangkan melalui Pelabuhan Belawan dan Pelabuhan Krueng Geukueh. Baru pada tahun 1967 seluruh mesin dan equipmen yang beratnya 17.000 ton berhasil didatangkan ke Cot Girek untuk pembangunan pabrik gula.
Setelah 3 tahun dibangun, pabrik gula Cot Girek diresmikan pada 19 September 1970. Konflik yang kemudian kembali melanda Aceh membuat pabrik gula Cot Girek berhenti beroperasi. Kisah tentang pabrik gula itu kini hanya tinggal sejarah. Warga Cot Girek pasti paham tetang sejarah ini. Seandainya pabrik itu masih ada, tentu Aceh tak perlu mengimpor gula, sebaliknya malah mengexspornya.
Sumber foto bang jangan lupa.
Foto dalam dokumen lama, tak tahu sumber awalnya dari mana, maka tidak saya cantumkan.
Sayang... Sekarang pabrik megah itu tinggal bangunan tua. Tunggu lapuk dimakan usia...
Ya, konflik Aceh menjadi salah satu penyebabnya.