Sahur Terakhir - (OASE RAMADAN #19)
Baru dua tahun terakhir saya sahur di rumah sendiri dengan keluarga kecil saya. Sedangkan lima tahun sebelumnya, saya sempat sahur sendiri di musala tempat aku tinggal dan rumah kos.
Setiap Ramadan itu punya pengalaman-pengalaman berbeda tentang sahur. Saat masih tinggal di musala Malikussaleh, Lampineung, Banda Aceh, setiap sahur aku selalu diajak makan sahur di rumah Pak Usop. Orang dermawan itu kini sudah dipanggil Allah Swt. Semoga Allah lapangkan kuburnya.
Almarhum selalu menelepon saya untuk datang ke rumahnya. Jika saya tak mengangkatnya, ia datang ke kamar saya untuk mengetuk pintu. Intinya, tak boleh saya lewatkan sahur tanpa ke rumahnya.
Saat pindah dari musala itu, saya sempat tinggal di kos selama setahun. Sempat pula menikmati sahur yang benar-benar mandiri. Artinya ketika sahur tiba, saya harus keluar membeli nasi dalam suasana yang begitu dingin. Terkadang saya beli ikan dan lauk saja, saya menanak nasi pakai rice cooker.
Nah, ketika saya sudah tinggal di rumah sendiri, sahurnya sudah lebih mudah, saya bersama umi Hayfa bisa bekerja sama saat sahur. Dia yang masak aku yang makan. Hehe. Bukan begitu maksudnya, tapi terkadang saya ikut membantu potong-potong sayur atau dia yang masak, saya yang jaga Hayfa jika ia cepat bangun.
Memiliki keluarga saat Ramadan itu sungguh menyenangkan. Jika dulu buka puasa sendiri, setelah memiliki keluarga bisa buka puasa dan sahur bisa bareng, walaupun ketika buka puasa terkadang sering juga di luar. Seperti ada budaya baru, banyak komunitas atau lembaga membuat buka puasa bersama.
Tapi saya melihat belum ada atau belum banyak gebrakan sahur bareng. Misalnya dinas pulan buat acara sahur bareng atau alumni sekolah A buat sahur bareng. Ada sih, tapi belum banyak yang buat sahur bareng anak yatim atau anak gelandangan.
Beberapa masjid pada sepuluh malam terakhir juga ada mengagendakan sahur bareng seperti masjid Almakmur Banda Aceh. Usai itikaf dan qiyamullail, jamaah makan sahur bareng yang disediakan panitia. Lagi saya katakan, kegiatan itu masih dapat dihitung jari.
Masih kalah dengan buka puasa bareng yang kadang warung nasi atau restoran membludak. Jika telat dibooking, bisa penuh jadwalnya. Umumnya, tak semuanya ya, ketika buka puasa bareng itu, salat Magrib itu pasti terlambat. Ada satu atau dua warung nasih yang musalanya agak besar bisa tertampung banyak jamaah.
Saya pernah mendapatkan undangan dari sebuah lembaga untuk buka puasa di sebuah restoran di Banda Aceh. Waktu itu yang diundang cuma tiga orang dari kalangan media, di antaranya; @yarmen-dinamika, mewakili Harian Serambi Indonesia, saya dari Media Online The Globe Journal (sudah gulung tikar) dan Juli Amin dari Harian Aceh (gulung tikar juga).
Usai buka puasa, begitu kami mau salat Magrib, astagfirullah, ruangan musalanya cuma sekitar 1x2 meter. Kemudian arah kiblatnya lurus pula. @yarmen-dinamika katakan kepada saya bahwa dia ragu arah kiblatnya lurus mengikuti bentuk ruangan sempit itu.
Kok saya jadi bahas soal buka puasa dan musala sempit? Oke kembali ke soal sahur tadi. Ramadan 1439 Hijriah tinggal satu hari lagi. Sahur terakhir saya tidak saya laksanakan di rumah sendiri, melainkan di rumah PMI. Maaf itu bukan Palang Merah Indonesia, tapi PMI yang saya maksudkan adalah, Pondok Mertua Indah alias rumah mertua. Sekian tulisan yang unfaedah ini. Semoga tak menyesal telah membacanya. Hehe
Taqabbalallahuminna waminkum taqabballlah. Mohon maaf lahir dan batin.
perjalanan hidup itu dinamis dan senantiasa melukiskan gambaran inspiratif sarat makna
Dinamis itu terkadang membuat kita memahami arti dari kehidupan.
selamat idulfitri ustad, maaf lahir dan bathin
Saban2 ketua... Peumeuah desya lahe baten