KERAJAAN ISLAM SAMUDRA PASAI
- Meurah Mulia dan Hubungan Kekerabatan dengan Samudra Pasai
Meurah Mulia sebenarnya layak ditulis menjadi sebuah kisah sejarah yang terabaikan dari catatan para penulis. Meurah Mulia kini menjadi sebuah kecamatan yang terletak di kawasan agak pedalaman, ke arah selatan Aceh Utara. Jika melihat kilas balik sejarah, sebenarnya Meurah Mulia merupakan bagian dari wilayah kerajaan Samudra Pasai yang sering luput dari perhatian peneliti sejarah. Padahal di bekas anak kerajaan ini banyak menyimpan sejarah yang mengharukan. Seperti namanya yang unik ; meurah dalam bahasa Aceh berarti: gajah dan mulia berarti: ramah, baik, dan luhur. Konon di kawasan Jungka Gajah yang menjadi ibukota kecamatan ini dulukala ditemukan seekor gajah mati. Lalu cerita itu menjadi sejarah cikal bakal nama ibukota kecamatan sampai sekarang, yang pada dasarnya; jungka (bahasa Aceh) berarti: kepala atau muka, dan gajah berarti: meurah. Dengan demikian Jungka Gajah mengandung pengertian : kepala atau muka gajah. Maka serasilah antara nama Meurah Mulia dengan ibukotanya Jungka Gajah. (Sumber: Cerita turun-temurun yang berkembang dalam masyarakat Aceh).
Dalam masyarakat Aceh, gajah (meurah) merupakan simbol keperkasaan. Dalam dunia kemiliteran Aceh, gajah menjadi lambang patriotisme dan ketangkasan. Maka tak pelak, jika masa kesultanan Aceh dan Samudra Pasai juga dibentuk barisan pasukan tentara bergajah. Dari logika semacam ini dapat diprediksikan bahwa Meurah Mulia sangat intim dan merupakan bagian yang sangat terkenal dalam mempertahankan dan memajukan kerajaan Samudra Pasai. Dengan demikian kata meurah: gajah, sangat populer di kalangan istana raja Pasai.
Bukti lain bahwa Meurah Mulia adalah bagian dari kekerabatan samudra Pasai jika dilihat dari segi geografis, adat istiadat, dan kebudayaan. Antara Meurah Mulia dengan Samudra merupakan suatu kesatuan wilayah utuh yang sama sekali tidak dapat dipisahkan. Selain itu, di Meurah Mulia di Gampong Paya Bili juga terdapat kuburan keturunan bangsawan yang layak disebut pahlawan Aceh, bernama Pang Husen. Meurah Mulia juga menjadi pusatnya perguruan tinggi agama Islam, karena dikawasan Gampong Paya Kambuek merupakan pusatnya persatuan majelis ulama. Salah seorang keturunan ulama termasyhur dari Meurah Mulia adalah almarhum Tgk. Abdul Jalil bin Hamzah atau Tgk. Samakurok (Tgk. Kurok), seorang ulama kharismatik yang memiliki karamah.
Bila sejarawan mengkaji histori sejarah Pasai dengan metode kekinian. Pada perbatasan antara kecamatan Samudera Geudong dengan Meurah Mulia di situ terdapat sebuah areal kuburan tepatnya di desa Bluek dan di situlah Putri Betung (Putroe Beutong) ibunda Sultan Malikussaleh dikebumikan. Seperti yang tertulis dalam buku Kronika Pasai karya Teuku Ibrahim Alfian yang juga penulis kutip dari Wikipedia Bahasa Melayu dalam tulisan kategori Kesusasteraan Melayu.
Kronika Pasai yang dimaksud adalah manuskrip Hikayat Raja-Raja Pasai. Salinan manuskrip asli Kronika Hikayat Raja-Raja Pasai tersebut hanya ada di museum sejarah bernama lembaga Royal Asiatic Society (Pusat Kemegahan Masyarakat Asia) di London, Inggris, satu-satunya saat ini yang disimpan untuk kepentingan penelitian ilmiah (Mohammad Said, 1979:66-70). Sedangkan manuskrip foto kopi Hikayat Raja-Raja Pasai yang ditulis beraksara Arab-Melayu saat ini (tahun 2013) di Aceh Utara terdapat pada salah seorang pembaca hikayat Aceh bernama Tgk. Ibrahim Pmtoh sebagai koleksi pribadinya yang didapatkan dari gurunya almarhum Tgk. Adnan Pmtoh.
Pada perbatasan kecamatan Samudera-Meurah Mulia juga terdapat sebuah desa bernama Blang Peuria. Sejarawan memprediksikan, jika Blang Peuria itu merupakan warisan kepunyaan Mahdum Peuria, cucu Sultan Malikussaleh. Blang (bahasa Aceh): sawah, dan peuria berasal dari nama Mahdum Peuria. Dengan demikian dapat diartikan bahwa Blang Peuria berarti sawah milik Mahdum Peuria.
- Kerajaan Islam Pertama di Indonesia Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama dan tertua di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai atau Samudra Pasee. Masuknya Islam pertama ke Indonesia adalah ditandai dengan berdirinya sebuah kerajaan Islam yang termasyhur namanya sampai saat ini dan terukir dalam buku sejarah peradaban dunia yaitu kerajaan Samudra Pasai.
Menurut ahli sejarah H. Zainuddin dalam suatu ekspedisi yang terdiri dari beberapa saudagar Arab Muslim yang juga sekaligus sebagai mubalig Islam melakukan misi dakwah menyebarkan Islam ke Indonesia yaitu ke ujung Sumatera bagian barat bernama Aceh. Masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh sebuah angkatan dakwah khusuh bernama Angkatan Dakwah Islamiyah. Hal mengenai sejarah Islam tersebut dikatakan oleh Ali Hasjmy (1977:11-12) dalam bukunya yang berjudul Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesusastraan Indonesia. Maka suatu yang tidak dapat diragukan lagi mengenai hal tersebut mengingat Ali Hasjmy sebagai seorang ulama besar dan piawai dalam menulis buku-buku sejarah Islam.
Bukti lain juga penulis dapatkan dari hasil petualangan si penjelajah, Marco Polo mencatat bahwa ada sebuah kerajaan yang sangat megah dan disegani dikawasan Asia Tenggara waktu itu bernama Samudra Pasai. Marco Polo yang pernah singgah di Pasai tahun 1292 M menyebut dengan nama Pasal untuk Pasai dan menyebut Samara untuk nama Samudra seperti yang tertulis dalam buku Aceh Sepanjang Abad (1979:80) karya Mohammad Said.
Dalam buku Aceh Sepanjang Abad karya Mohammad Said (1979:61) lebih jelas dipaparkan bahwa dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang dilangsungkan di Medan pada 17-20 Maret 1963, telah diambil kesimpulan antara lain (a) bahwa Islam masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad 1 Hijriah dan langsung dari Arab, dan (b) bahwa daerah pertama didatangi Islam ialah pesisir Sumatera dan setelah terbentuknya masyarakat Islam maka raja (Muslim) yang pertama berada di Aceh.
Pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh telah berlangsung pula suatu seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Aceh yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Provinsi/Daerah Tingkat I Aceh. Dalam bab kedua kesimpulan dari seminar tersebut yang terpenting di antaranya adalah: Pada abad 1 Hijriah, Islam sudah masuk ke Aceh dan Kerajaan Islam pertama di Aceh adalah Peureula` (Peureulak), Lamuri, dan Pasai (Mohammad Said, 1979:63).
Para sejarawan memprediksikan menurut ilmu bahasa bahwa kata samudra itu berasal dari nama lautan atau selat. Jika kita tinjau dari segi bahasa Melayu lama maupun bahasa Indonesia, samudra itu berarti lautan. Sedangkan Pasai (pasee) berasal dari kata pasie yang berarti: pinggir laut, pantai atau pesisir. Sudah jelas fakta membuktikan bahwa memang benar kerajaan Samudra Pasai berada di kawasan utara Sumatera atau tepatnya di pinggiran selat Malaka. Pasai (Bahasa Aceh) juga dapat diartikan sebagai Pasar, karena banyaknya para pedagang dan saudagar yang singgah di kerajaan Samudra Pasai untuk berniaga kala itu.
Para sejarawan hebat dalam buku-buku menuliskan bahwa masuknya Islam pertama ke Indonesia adalah ke Aceh yaitu di kerajaan Samudra Pasai yang dibawa oleh Syeikh Ismail seorang ulama dari Arab. Kemudian Islam tersebar sampai ke pulau Jawa yang dibawa dan diteruskan oleh ulama dari Aceh bernama Maulana Malik Ibrahim. Lalu Islam pun berkembang dengan pesat di pulau Jawa yang ditandai dengan lahirnya para walisongo (wali sembilan). Nab Bahany As dalam tulisannya “Fatahillah, Putra Aceh Pendiri Kota Jakarta” (Serambi Indonesia: 27 Juni 2010) memaparkan bahwa Fatahillah Pendiri kota Jakarta juga adalah seorang putra Aceh. Ulama dari kerajaan Samudra Pasai yang menyebarkan Islam ke Pulau Jawa. Fatahillah salah seorang pahlawan yang telah berjasa berjuang bersama rakyat untuk merebut kembali Sunda Kelapa dari tangan Portugis.
Para ulama dari Aceh juga yang menyebarkan Islam ke Padang (Minangkabau), Sumatera Barat, dan kebanyakan ulama Padang merupakan alumni pesantren (dayah) Aceh. Setelah sekian lama para ulama Padang menuntut ilmu di Aceh, mereka kembali ke Padang untuk menyebarkan syiar Islam. Untuk selanjutnya para ulama dari Padang ini mengajak beberapa ulama Aceh untuk menyebarkan Islam sampai ke Gorontalo, Sulawesi.
Jika anda sekarang ingin melihat jejak kerajaan dan makam raja-raja Samudra Pasai. Anda dapat menempuh perjalanan kira-kira berjarak 3 km ke arah utara kota Samudera Geudong, sebuah kota kecil di Aceh Utara. Pada bulan Maret 2009 peneliti sejarah kerajaan Samudra Pasai Tgk. Taqiyuddin telah menemukan reruntuhan (fondasi) pusat istana kerajaan Samudra Pasai di kawasan desa Beuringen yang sudah ratusan tahun tertimbun tanah. Tgk. Taqiyuddin sebelumnya juga menemukan satu stempel (cap) yang diperkirakan merupakan peninggalan kerajaan Samudra Pasai. Pada bulan April 2009 Tgk. Taqiyuddin juga telah melakukan survei di kawasan desa Mesjid Bluek, Kec. Meurah Mulia (bekas wilayah sagoe Samudra Pasai), dan hasilnya membuktikan bahwa makam Sultan Johor berada di Aceh. Berita tersebut disiarkan oleh harian terbitan Aceh, Serambi Indonesia, dan penemuan saksi sejarah tersebut telah menolak pendapat Marco Polo dalam buku Aceh Sepanjang Abad karya Mohammad Said, yang memaparkan bahwa Sultan Johor tewas ditangan Belanda dalam peperangan bersama masyarakat Aceh dan tidak diketahui di mana kuburannya.
Dengan demikian berarti antara wilayah sagoe Meurah Mulia dengan Samudra Pasai memiliki hubungan yang sangat erat. Meurah Mulia merupakan suatu kesatuan integrasi dari kerajaan Samudra Pasai yang menjadi ujung tombak pertahanan wilayah kekuasaan raja Pasai dengan Pasukan berkenderaan gajah: meurah mulia. Selain Meurah Mulia beberapa wilayah lain yang sangat berperan dalam memajukan kerajaan Pasai. Antara lain Blang Jruen dan Matang Kuli (desa Masjid Pirak), di desa tersebut tercatat nama seorang pahlawan nasional Cut Nyak Meutia yang merupakan keturunan darah bangsawan, yang diperkirakan masih satu keturunan dengan sultan Samudra Pasai.
- Asal Mula Nama Sultan Malikussaleh
Nama asli dari Sultan Malikussaleh, seorang raja termasyhur yang pernah memimpin kerajaan Samudra Pasai adalah Meurah Silue. Sedangkan Malikussaleh merupakan nama kehormatan, pangkat atau nama gelar dalam jabatan kerajaan. Malikussaleh berasal dari kata bahasa Arab, yaitu; Malik: raja dan saleh: saleh, taat, atau baik budi. Jadi, Sultan Malikussaleh berarti raja yang taat dan saleh serta sangat mencintai rakyat dan disenangi oleh rakyatnya. Menurut Ali Hasjmy (1977:21) secara lebih lengkap nama Meurah Silue ditulis bergelar Alaidin Malikusshalih (Memerintah tahun: 659-688 H/ 1261-1289 M) gelar tersebut diberikan oleh utusan Syarif Mekkah di bawah pimpinan Syeikh Ismail Az-Zarfy.
Memang demikian alkisah sejarah membuktikan bahwa Sultan Malikussaleh seorang raja yang adil. Di bawah pemerintahannya Samudra Pasai bahkan menguasai sampai ke semenanjung Malaka. Pahang (Malaysia) pernah ditaklukan dan berada dibawah kekuasaan Samudra Pasai. Antara Pahang dan Pasai pernah menjadi sebuah kerajaan yang padu dalam bidang kerjasama bilateral kedua negara. Dari itulah sejarawan memprediksikan bahwa kenyataannya Sultan Johor meninggal dan kuburannya berada di Meurah Mulia, Aceh Utara.
Ketika Pasai berjaya kerjasama yang dijalin dengan negara-negara luar bukan hanya dengan kerajaan jiran saja, tetapi juga dengan negara Turki dan negara timur tengah lainnya. Buktinya, kerja sama bidang kemiliteran Samudra Pasai pernah dipimpin oleh seorang panglima perang yang berasal dari Gujarat. Selain itu, untuk bidang hukum, Pasai banyak mengangkat pakar hukum (qadhi) yang berasal dari Arab.
- Aceh Dijuluki Serambi Mekkah
Banyak orang bertanya kenapa Aceh disebut Serambi Mekkah ? Kenapa bukan negara lain yang diberi julukan sebagai Serambi Mekkah ?
Menurut sumber tulisan yang penulis kutip dari Wikipedia Bahasa Melayu menyebutkan bahwa Aceh dijuluki dengan gelar Serambi Mekkah karena orang yang ingin menunaikan ibadah haji terlebih dahulu singgah di Aceh untuk belajar memperdalam ilmu di madrasah atau di masjid sebelum para jamaah haji yang berasal dari berbagai daerah di nusantara berangkat ke tanah suci Mekkah.
Aceh juga disebut Serambi Mekkah, karena di Aceh Islam berkembang sangat cepat dan pesat. Jika Mekkah menjadi ruang utama tempatnya syariat Islam ditegakkan, maka Aceh menjadi ruang serambi (seuramoe) bagi perkembangan Islam. Sedangkan indatu (nenek moyang) orang Aceh mengatakan Aceh dijuluki Serambi Mekkah, karena kuatnya Islam di Aceh sama seperti Islam di Arab. Hal itu terbukti dengan terkenalnya para ulama dari Aceh tempo dulu. Banyak ulama Aceh yang berguru dan menuntut ilmu agama Islam ke Mekkah, seperti ulama sekaliber Tgk. Chik Awe Geutah dan Tgk. Abuya Muda Waly dari Labuhan Haji.
Bahkan pada masa kerajaan Aceh Darussalam banyak ulama dari Arab yang bolak-balik dari Arab ke Aceh, dan sebaliknya. Setelah menimba ilmu agama Islam di Arab menuju Aceh untuk menyebarkan Islam. Beberapa nama ulama terkemuka hebat antara lain Syeikh Abdur Rauf (Syiah Kuala) dan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Aceh juga terkenal dengan ulama dan sastrawan besar seperti Teungku Chiek Pantee Kulu yang bernama lengkap Teungku H. Muhammad Pantee Kulu. Dalam konteks ke-Indonesia-an, Aceh merupakan daerah yang bercorak kebudayaan Islam dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan. Aceh juga menjadi gudang para ulama.
Cut Nyak Dhien pahlawan nasional dari Aceh ketika dibuang dan diasingkan oleh Belanda ke Sumedang, Jawa Barat, pernah menjadi guru agama di balai pengajian di sebuah desa kecil di sumedang kala itu. Wanita-wanita Sumedang waktu itu belajar ilmu agama Islam kepada cut Nyak Dhien, yang konon saat itu orang-orang Jawa dan Sunda tidak mengetahui bahwa guru agama tersebut adalah Cut nyak Dhien, pahlawan nasional dari Aceh. Orang Sumedang kala itu memanggilnya Nyi Guru Aceh (Bu Guru Aceh) dan sebagian orang memanggilnya Ibu Perbu (Ibu Ratu). Setelah 2 tahun Cut Nyak Dhien menjadi guru agama bagi orang Sumedang, Cut Nyak Dhien syahid dan dikebumikan di Sumedang. Itulah keterharuan penulis ketika mengenang Cut Nyak Dhien yang sangat berjasa dalam mengusir penjajah dari negeri tercinta.
Cut Nyak Dhien lahir di Aceh Besar, dibesarkan dilingkungan para pahlawan, dewasa dalam peperangan melawan Belanda, kerja bergerilya masuk-keluar hutan dan akhirnya syahid di Sumedang, Jawa Barat. Sosok seorang Ibu yang patut ditiru oleh siapapun. Cut Nyak Dhien seorang Ibu yang berhati lembut, namun berjiwa baja. Penulis tuliskan sebuah puisi sebagai hadiah dan rasa cinta kepada “Ibuku Yang Anggun Cut Nyak Dhien” :