Acehnologi Vol 3 Bagian kelima : Fondasi Peradaban Acehnologi Bab 24 (Jejak Budaya Aceh)
Saya akan kembali melanjutkan review buku acehnologi volume 3 karangan bapak Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, PH, D. Bagian kelima tepatnya pada bab 24 tentang Jejak Budaya Aceh.
Bab ini mengetengahkan konstruksi pemahaman mengenai agama dan budaya. Setelah itu, akan dicoba pantulkan pada situasi proses konstruksi kebudayaan Aceh yang sedikit banyak telah mengalami proses Arabisasi. Oleh karena itu, studi tidak ingin hanya melihat bagaimana budaya Aceh berjalan, tetapi juga ingin melacak apa saja yang mempengaruhi budaya Aceh dan apa saja pengaruh tersebut yang sudah menghilang didalam tatanan budaya Aceh. Dengan demikian, akan didapatkan sebuah diskusi baru tentang reproduksi kebudayaan Aceh, mulai dari aspek 'irfani (intuitif) hingga burhani (empiris).
Budaya merupakan hasil pemikiran manusia yang dipraktikkan didalam kehidupan mereka. Agaknya debat diantara kalangan sosiolog dan antropolog adalah bagaimana budaya muncul dalam pemikiran manusia. Karena itulah, maka budaya boleh disamakan dengan teks, atau lazimnya disebut dengan teks sosial.
Karena budaya merupakan pemikiran dan teks, maka budaya ini lebih dikesankan sebagai hasil produk, dan bukan berdiri sendiri dalam masyarakat. Jadi, dapat dipastikan bahwa untuk memahami konteks kebudayaan Aceh yang telah mengalami proses Arabisasi sangatlah rumit. Sebab, proses pengalaman beragama untuk mencapai ultimate reality telah berhenti kajiannya pada pengalaman Hamzah Fansuri pada abad ke-17.
Jadi, dalam bab ini ada beberapa hal yang harus digarisbawahi. Pertama, untuk memahami budaya Aceh, maka yang perlu dilakukan upaya dari perspektif 'irfani yaitu apa yang dipikirkan oleh orang Aceh mengenai cara hidup mereka. Kedua, untuk melihat bagaimana proses pengaruh islam terhadap Aceh, maka kita perlu melihat apa titik terakhir dari aspek islam yang berhenti di Aceh.
Ketiga, untuk melihat dunia Aceh, maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana orang Aceh mempersepsikan diri mereka dari bagian kosmologi. Keempat, bab ini telah memperlihatkan bagaimana proses pergeseran makna dan perilaku budaya dikalangan orang Aceh. Harus dilihat bahwa proses yang terjadi saat ini, masih perlu dikaji apakah ingin menjauhkan kedirian orang Aceh dari budaya atau malah ingin mendekatkan diri mereka pada budaya.
Dengan begitu, kita akan sampai pada satu pemahaman bahwa budaya tidak hanya harus dicari keasliannya, tetapi juga perlu dicari bentuk dari sistem berpikir, sehingga jika budaya Aceh terkikis, maka tentu saja itu juga bermula dari sistem berpikir yang telah menegasikan budaya didalam kehidupan kita. Dimana yang selalu dikedepankan adalah hanya hal-hal yang bersifat simbolik.