Acehnologi Vol 3 Bagian Keenam : Tradisi Intelektual Acehnologi Bab 32 (Dari Teungku Ke Ustadz)
Pada postingan kali ini, saya akan kembali melanjutkan review buku acehnologi volume 3 karangan bapak Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, PH, D. Bagian keenam tepatnya pada bab 32 tentang "Dari Teungku ke Ustadz".
Dalam bab ini dikupas mengenai keadaan sosio-kultural pendidikan islam di Aceh, khususnya mengenai perubahan otoritas religi dalam masyarakat Aceh dari Teungku ke Ustadz. Pada umumnya, otoritas pendidikan islam di Aceh lebih banyak dikontrol oleh para pemimpin atau ahli agama lokal yang lebih dikenal dengan istilah Teungku. Mereka memainkan peran yang cukup signifikan, tidak hanya didayah tempat reproduksi ulama, tetapi juga sebagai penjaga masyarakat.
Namun, dalam kehidupan Islam sehari-hari di Aceh, beberapa Teungku malah memainkan peran mereka dalam bidang sosial-politik ketimbang dalam bidang pendidikan islam. Pada hakikatnya tidak sedikit yang memandang bahwa teungku adalah kelompok ulama lokal dan guru dikampung atau dayah.
Adapun makna ustadz adalah guru. Mereka memainkan peran tidak hanya di pesantren, tetapi juga sebagai juru dakwah. Kedua konsep ini telah dikenal luas di Aceh. Namun, dalam dua dekade terakhir, setelah pengenalan terhadap pondok pesantren modern, yang di opsi dari Gontor pada tahun 1980-an, panggilan ustadz sudah diterima sebagai gelar dalam bidang keagamaan di Aceh.
Di Aceh,para ulama dikenal dengan panggilan Teungku, Abu, Abi, Waled, Abati dan Abon. Dalam hal ini terdapat hierarki. Ulama yang paling tinggi dikenal dengan Abu (bapak), yang terkadang dihubungkan dengan kampung kediaman mereka, seperti Abu Tanoh Mirah, Abu Awe Geutah, dan Abu Tanoh Abe. Nama-nama panggilan yang terhubung dengan kampung menyiratkan bahwa mereka yang mengontrol pola hidup keagamaan masyarakat.
Gelar Teungku sepertinya merupakan warisan dari pendidikan tradisional Islam di Aceh. Namun, terdapat hierarki dari gelar Teungku, khusus terkait kapasitas ilmu pengetahuan dan pengaruh dalam masyarakat. Posisi paling tinggi adalah Teungku Chik yang memiliki dan menjalankan sistem pembelajaran di dayah. Berikutnya adalah Teungku Bale, yang bekerja dibawah kendali Teungku Chik. Adapun Teungku Rangkang adalah santri senior yang bertindak terhadap asisten Teungku Bale. Namun demikian, terdapat juga Teungku Meunasah dikampung yang bekerjasama dengan geuchik. Tugas Teungku Menasah adalah mengajar ilmu-ilmu dasar keislaman kepada anak-anak sebelum mereka belajar di dayah atau sekolah umum.
Selanjutnya, gelar ustadz dapat dikatakan sebagai "embedded religious title" dalam pendidikan islam di Aceh. Hal ini dapat ditelisik sejak pendirian pondok pesantren modern di Aceh. Beberapa ustadz datang dari luar Aceh untuk bekerjasama tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga dalam bidang damwah islam. Dalam studi ini dapat dilihat bahwa ada konflik antara kelompok Teungku dan Ustadz di salah satu kawasan di Aceh. Ada yang mengatakan bahwa kedatangan ustadz telah menantang otoritas dan kharisme pada Teungku.