Acehnologi Vol 2:19 (Sastra Aceh)
Saya akan kembali melanjutkan review buku acehnologi volume 2 karangan bapak Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, PH, D. Tepatnya pada bab 19 tentang sastra Aceh.
Nah,sebelum membahas tentang sastra Aceh, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan sastra. Dalam buku ini disebutkan bahwa sastra merupakan ekspresi kebatinan seseorang yang kemudian ditampilkan dalam bahasa-bahasa simbolik yang sangat mendalam maknanya.
Upaya untuk memahami karya-karya sastra tentu saja melibatkan pemahaman pada ilmu-ilmu bantu lainnya. Karena dalam pendalaman sastrawan, disitu ada pengalaman ruhani atau batin. Tidak mudah bagi generasi muda untuk memahami karya-karya sastra.
Dahulu kala, seorang kakek didalam mendidik cucunya, cenderung menggunakan cerita atau hikayat yang sarat akan makna didalamnya. Cerita tersebut dibingkai dengan rasa ingin tahu tentang apa itu kebaikan dan keburukan. Ketika mereka keluar dari kampung, mereka akan disuguhkan model sastra "meurukon" dimana disitu segala masalah religi dikupas dalam bentuk sastra juga. Disamping itu, warga kampong juga akan menikmati "seudati" di pedesaan, dimana 8 pemuda akan menari sesuai dengan ca'e dari pelantunnya. Ketika ada lesta pernikahan, disitu juga dapat dijumpai seni berbalas pantun.
Tidak lupa pula, di malam hari, beberapa radio terkadang memperdengarkan syair-syair Aceh. Setahun sekali, semua seni sastra dipertontonkan di lapangan sepak bola. Bahkan seni sandiwara yang kerap ditampilkan di kampong, memperlihatkan bagaimana seni drama di kalangan masyarakat Aceh. Singkat kata, hampir semua kehidupan orang Aceh dilingkupi oleh seni sastra. Dan dapat di nyatakan bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat seni.
Lantas, ketika proses modernisasi dan ICT berkembang, perlahan tapi pasti, gerak seni sastra di Aceh mulai redup. Cerita dongeng diganti oleh sinetron. Seni gerak diganti oleh keyboard. Seudati hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Meurukon menjadi asing bagi masyarakat Aceh saat ini. Anak muda Aceh mulai asing dengan seni sastra. Bahkan karya-karya nadham Aceh diperjualbelikan dipinggir jalan, sepi dari peminat. Kondisi inilah yang kemudian berubah dari masyarakat seni menjadi masyarakat non-seni.
Akan tetapi walaupun ekspresi kesenkan orang Aceh mulai redup, Aceh tetap masih diperhitungkan di level nasional dan internasional. Festival seni atau pekan kebudayaan Aceh mulai digaungkan sejak berakhirnya perang antara GAM dengan pemerintah Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan bahwa masyarakat Aceh sebagai masyarakat seni yang memiliki jiwa sastra yang tinggi secara perlahan mulai bangkit lagi. Sehingga kemunculan ide-ide keacehan dalam karya sastra di Aceh akan mampu membangun kembali peradaban Aceh.
Sejauh ini, upaya untuk membangkitkan minat terhadap sastra Aceh sudah mulai bangkit. Hal ini, terlihat dengan munculnya karya-karya atau kajian sastra di perguruan tinggi, tidak terkecuali kemunculan salah satu institut budaya di Aceh Besar.