3 Penyebab Dolar AS Anjlok Meski Inflasi Meninggi
Dolar AS kembali menorehkan rekor merah pada perdagangan hari Rabu kemarin, dan masih terus tertekan terhadap sebagian besar mata uang mayor pada awal perdagangan sesi Asia hari Kamis ini (15/Februari). Indeks Dolar AS (DXY) tercatat -0.08% ke 88.93 saat berita ditulis; kembali ke kisaran level terendah sejak November 2014. Pasalnya, meskipun data Inflasi yang dilaporkan tadi malam sangat positif, tetapi Penjualan Ritel justru negatif. Selain itu, sejumlah faktor lain juga masih membebani Greenback.
1.CPI Dan Ritel Tak Kompak, Stagflasi?
US Bureau of Labor Statistics melaporkan bahwa Inflasi di negeri Paman Sam mengalami kenaikan sebesar 0.5% pada bulan Januari 2018, lebih tinggi dari ekspektasi 0.3% maupun pencapaian periode sebelumnya yang sebesar 0.2%. Kabar ini awalnya ditanggapi positif oleh investor karena dianggap akan mendorong bank sentral AS menaikkan suku bunga lebih cepat. Namun, pada waktu hampir bersamaan, US Census Bureau mengumumkan bahwa Penjualan Ritel dalam periode yang sama justru mencatat -0.3%, padahal diekspektasikan naik 0.2%.
Kombinasi pembacaan kedua data membuat investor merasa ragu kalau bank sentral AS akan mampu menaikkan suku bunga (Fed Rate) dalam waktu dekat. Tanpa kenaikan suku bunga, maka investor perlu memperhitungkan ulang "beban inflasi" bagi nilai investasi masing-masing. Kekhawatiran akan dampak inflasi ini pada akhirnya mendepresiasi Dolar AS, dan sebaliknya, mendorong Bullion mencatat kenaikan harga harian terbesar sejak Mei 2017.
Kekhawatiran mengenai ketidakseimbangan ekonomi juga menyeruak karena tidak kompaknya data ekonomi AS. "Dengan lemahnya laporan Penjualan Ritel di samping (data Inflasi), pasar kemungkinan akan berbicara mengenai stagflasi, dimana Anda mendapati inflasi lebih tinggi, tetapi tak benar-benar mendapatkan (masyarakat) konsumen yang lebih kuat," kata Gennadiy Goldberg, pakar strategi suku bunga di TD Securities New York, pada Reuters.
2.Yang Akan Naikkan Suku Bunga Bukan Hanya AS
Penyebab lain mengapa Dolar AS mengabaikan data Inflasi yang lebih baik dari ekspektasi adalah karena kenaikan Fed Rate boleh jadi sudah lama diperhitungkan oleh pasar. Di sisi lain, baru-baru ini terkuak bahwa sejumlah bank sentral dunia lainnya juga akan menaikkan suku bunga.
"Pasar memberitahu kita bahwa Dolar belum mencapai level terendahnya," kata Rawad Razaqzada, analis pasar di Forex.com, pada MarketWatch, "Ini bisa jadi karena bank-bank sentral lainnya juga berbalik hawkish. Sebelumnya (tahun lalu) ini pacuan satu kuda, dengan Fed satu-satunya yang hawkish."
Sedikitnya dua bank sentral lain telah mengindikasikan niat mereka untuk mengetatkan kebijakan moneter dalam sebulan terakhir, yaitu Bank of England (BoE) dan Bank of Canada (BoC). Bank of Japan (BoJ) dan European Central Bank (ECB) juga disinyalir banyak pihak akan mulai memangkas stimulus, meskipun mereka bersikukuh menyatakan akan mempertahankan arah kebijakan saat ini.
3.Pembengkakan Anggaran Yang Digalang Trump
Rencana Anggaran Belanja Negara yang digalang Presiden Donald Trump dan kini masih jadi tarik ulur di Parlemen AS, turut menambah kompleks situasi. Di hari Senin, Trump menghadirkan rencana anggaran sebesar $4.4 Triliun Dolar AS yang diproyeksikan akan terus membengkakkan defisit negara hingga satu dekade ke depan, serta memaksa pemerintah AS mencari pinjaman lebih besar dibanding yang telah dipatok dalam rencana yang baru saja disetujui beberapa hari sebelumnya.
Apabila proposal terbaru disepakati, maka defisit anggaran AS diperkirakan melampaui 1.2 Triliun per tahun 2019 saja. Selanjutnya, angka bisa jauh melampaui level defisit di masa non-resesi kapan pun dalam linimasa sejarah AS.
Secara historis, AS sudah sering meningkatkan defisit anggaran dan menambah jumlah utang, tetapi biasanya dilakukan saat negara dalam kondisi resesi atau perang. Sedangkan saat ini, perekonomian dapat dikatakan sudah cukup sehat dan damai, sehingga kenaikan defisit anggaran sebenarnya tidak perlu dilakukan, dan justru dapat mengancam keseimbangan ekonomi.
"Saat ini, saya kira Dolar jangka pendek dibayangi oleh kekhawatiran investor mengenai ekspansi (defisit anggaran) fiskal dan (seberapa kuat) ketangguhan pemulihan ekonomi," kata Steven Englander, pimpinan riset dan strategi di Rafiki Capital Management, "Tetapi jika aktivitas (ekonomi) berkelanjutan dan (kenaikan suku bunga) Fed tak berdampak terlalu buruk, maka sentimen negatif atas Dolar yang sekarang berlaku universal, bisa berbalik."
Namun, optimisme Englander ditepis oleh opini sejumlah analis lain. Athanasios Vamvakidis dan Myria Kyriacou dari Bank of America Merrill Lynch mengungkapkan, "Dalam jangka panjang, inflasi tinggi, dinamika utang lebih buruk, dan defisit neraca berjalan lebih besar; konsisten dengan equilibrium nilai tukar yang lebih lemah."