Oleh-oleh dari Maroko+++Bag.1
Djemaa el Fna.
Itu pasar sentral Marrakesh. Tempat pertama kali kita bertemu. Pedagang menjajakan barang, pemilik delman menyapa turis, calon pembeli menawar harga, anak-anak kecil berlarian, ratusan manusia lalu lalang. Kau, dengan baju putih dan kerudung abu-abumu mengantri tepat di belakangku, di depan kita dua orang Eropa sedang menghitung uang euro nya. Seorang petugas di dalam kios menunggu dengan sabar. Itu satu Sabtu pagi yang sibuk.
Kau tersenyum dan menyapaku setengah berbisik: “Do you know which money changer offers the best price for euro?” tanyamu dengan bahasa Inggris. “Di sini hampir semua memiliki rate yang sama” jawabku dalam bahasa Arab. Kau menatapku heran. “Aku kuliah di sini” jawabku pelan. Tentu aku tahu arti tatapan matamu. Bagaimana mungkin seorang lelaki kecil, berhidung pesek bisa lancar berbahasa Arab? Kau bukan yang pertama terkejut, Aisha. Jadi, dalam hal ini kau tidak istimewa.
Setelah aku menukar dolar, aku membantumu menukar uang, mencarikan rumah, melihat Taman Majorelle, Istana Bahia dan Mesjid Ben Youssef. Kita berteman. Kau bukan teman wanita pertamaku, Aisha. Jadi sekali lagi, bukan ini yang membuatmu istimewa. “Apa di Indonesia wanita juga didiskriminasi?” tanyamu ketus setelah kita shalat Ashar di mesjid Koutoubia. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti arah pembicaraanmu. “Di mesjid sebesar ini, dengan taman seluas ini, bangunan semegah ini, tapi tidak ada tempat berwudhu bagi wanita. Aku harus bertayammum di mesjid!” katamu setengah marah. Ah, Aisha aku baru ingat kau hanya menumpang lahir di tanah Marokko.
Kau dibesarkan di Perancis sana, tempat lahirnya demokrasi. Reformasi liberté, égalité, fraternité. Buatmu keadilan adalah persamaan untuk semua. Kau ukur segalanya dari selera lidah dan pikiran eropamu. Tak mengerti kau dengan keberagaman definisi keadilan yang lahir lewat perantaraan budaya. Habis amunisiku menerangkan bahwa wanita Marokko lebih suka shalat di rumah. “Lalu mereka tidak boleh jalan-jalan? Hanya di rumah saja?” kejarmu lagi. Ah, Aisha memang kau wanita pertama yang mempertanyakan ini kepadaku. Karenamu aku membuka buku sejarah Marokko, bertanya ke sana kemari tentang seribu lagi pertanyaanmu. “Kau orang Marokko, seharusnya aku yang bertanya padamu” ledekku suatu kali.
“Aku hanya lahir di sini, kau kan kuliah di sini. Hampir lulus” jawabmu santai. “Asal kau tahu, di mesjid-mesjid Indonesia selalu ada tempat wudhu untuk wanita” kataku. Matamu berbinar. “Apa wanita juga boleh bekerja, bepergian dan terlibat aktif dalam politik?” tanyamu lagi.
“Tentu. Mereka juga tak harus berhijab karena kami percaya bahwa hijab datangnya harus dari dalam hati, bukan paksaan negara” “Ah aku kira seharusnya Arab mencontoh Indonesia dalam hal penerapan Islam dalam kehidupan bernegara” “Aku tidak yakin, Aisha” jawabku ragu. “Di Indonesia suasana politik juga tak terbaca. Beberapa waktu lalu dalam Pilkada Ibukota, seorang Kristen hampir menjadi Gubernur. Beliau dipenjarakan karena kasus menghina agama. Sebagian orang resah, penduduk asli akan tersingkir oleh kaum pendatang yang terlihat makmur dalam ekonomi. Sebagian masyarakat menuntut pemberlakuan syariah sebagai Undang-undang, memperlihatkan bahwa mayoritas penduduk adalah pemuja Muhammad, bukan pengikut Kristus, apalagi Wishnu atau Syiwa”
Kau terdiam beberapa waktu, lalu menatapku tajam. “Dalam Al-Quran, Islam dan Nabi Muhammad adalah rahmatan lil alamin, Ahmad. Bukan rahmatan lil mukminin atau lil muslimin” katamu pelan. Ah, Aisha. Sekali lagi, kau lah yang pertama mengatakan kalimat itu kepadaku. Dalam diammu, aku dengar jeritanmu berapi-api: “Islam itu lembut, Islam itu penyayang, Islam itu damai, Islam itu adil!” ....
Bersambung
tulisanmu sudah menarik tinggal jaga konsistensi saja...