Bandung, 1997
Silhuet feminin Tangkuban Parahu di kaki langit, yang dilihatnya saat naik angkutan ke tempat janji mereka, hari itu
Sebetulnya tanda bahwa suatu saat gunung itu akan meletus. Lalu kotanya akan ditimbun abu vulkanik,
seperti Pompeii dan Herculaneum
hanya menyisakan cetakan tubuh menjelang ajal.
Dia, yang menyentuh tepian jendela angkutan umum dengan ujung jemarinya seperti membelai kelopak bunga
Pelabuhan di tubir senja membayang dalam sepasang matanya: kawat baja dan kran kantilever, menggarisi langit jingga dengan torehan hitam. Lelaki pejal meneriakkan perintah: rantai, lelehan oli dan bau masam sampah di galangan
Dia tahu pelabuhan itu tidak akan pernah dicapainya. Dia tahu,
Namun dinaikinya juga angkutan biru itu, ke tempat di mana bunga rumput tumbuh, dan ayam kate menjaga betinanya menyusuri titian melengkung. Dia mengira bahwa
Manusia hanya bisa mati satu kali. Dan laut, dalam surut, tak menghempas gelombang memecah karang
Tetapi dia lupa, bahwa lahar yang menuruni lereng dan membakar hutan,
Berasal dari kedalaman perut gunung, yang ribuan tahun dipendam
Tak erupsi.
Rumah Panjang, 8 Oktober 2017
Picture credit: en.indonesian-stuff.barlians.com