[Novel Indonesia] Pahlawan Dari Negri Antah-Berantah: #2 Hujan
Prolog: https://steemit.com/indonesia/@castrix/novel-indonesia-pahlawan-dari-negri-antah-berantah-prolog
Chapter 1: https://steemit.com/indonesia/@castrix/novel-indonesia-pahlawan-dari-negri-antah-berantah-rudolf
===================
"Oh ya, biar kuperkenalkan. Dia adalah Rudolf, tunanganku saat ini ...."
Aku menunduk tersenyum kepadanya.
"Perkenalkan, namaku Rudolf."
Mereka berdua saling berjabat tangan.
"Heeh, benarkah??? Kalau begitu selamat untuk kalian berdua." Ucap Andreas dengan nada senang.
"Terima kasih ...."
"Ngomong-ngomong, sejak kapan kalian bertunangan? Aku baru mendengarnya saat ini."
"Yah, sebenarnya kami baru saling mengenal belum lama ini. Tapi karena perintah raja, jadi kami harus melakukannya. Situasinya sedikit rumit."
Sudah menjadi aturan bahwa orang yang tinggal di istana adalah seorang bangsawan, karena itu Rudolf juga harus memiliki nama kebangsawanan. Sebenarnya banyak keluarga bangsawan yang menginginkan Rudolf, tapi entah mengapa raja memerintahkan keluargaku untuk mengadopsinya.
Entah karena alasan apa perintah itu datang, namun sepertinya hal terdekat yang dapat kusangka adalah mungkin karena aku yang telah memanggilnya. Secara tidak langsung mungkin raja ingin aku bertanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan. Karena bisa jadi, kehilangan ingatan dan tangan sang pahlawan adalah karena kelalaianku. Dalam hati aku pun masih merasa bersalah.
Karena alasan itu, ayah berniat menikahkanku dengan sang pahlawan. Secara pribadi aku tidak keberatan, karena aku juga merasa bertanggung jawab. Terlebih lagi, aku tahu bahwa saat ini akan tiba cepat atau lambat. Tapi aku merasa lega, mengetahui bahwa orang yang akan menjadi pasanganku adalah sang pahlawan.
"Hoo, begitu ya .... berarti orang ini bukan orang sembarangan ya ...?"
"Tentang itu ..."
Aku memberinya sinyal pada Andreas untuk mendekatkan telinganya.
"Dia adalah sang pahlawan ...," bisikku.
"Hoo ..., suatu kehormatan bagiku. Tak kusangka akan bertemu dengannya di tempat ini."
"Hehe ..."
"Kalau begitu aku pergi dulu ya, maaf mengganggu waktu kalian berdua." ucap Andreas lalu pergi sambil melambaikan tangan.
"Ya, sampai jumpa lagi ...."
Kami pun pulang ke istana kerajaan.
Adela telah pulang ke kediamannya. Aku kembali ke kamar pribadiku dari ruang pemeriksaan. Kududuki kursi sofa yang lapang itu, lalu merenung di tengah kesunyian.
Hari ini benar-benar menyenangkan, kupikir dalam hatiku. Kami bermain, berjalan-jalan di kota, melihat-lihat pemandangan. Pikiranku pun menjadi segar, seakan kepenatan dalam kepalaku bukanlah apa-apa.
Tapi aku tidak boleh terlena dengan semua ini. Bagaimanapun aku adalah seorang pahlawan. Walaupun aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, namun aku harus tetap ingat dengan posisiku. Maka dari itu, sekali-kali aku membutuhkan waktu untuk merenung.
Pada awal ketika aku dipanggil ke tempat ini, sebenarnya aku sedikit khawatir. Saat itu aku tidak memiliki ingatan apapun, aku juga kehilangan salah satu lengan kiriku. Namun terima kasih pada Adela, berkatnya aku tidak mengalami masa-masa yang sulit sejak saat itu.
Aku melirik ke arah pedang dan artifak keris yang berada di atas meja di pojok ruangan. Hanya kedua benda itulah yang kubawa pada saat pemanggilan.
Entah karena alasan apa kedua benda itu ikut bersamaku. Tapi pasti, keduanya memiliki kaitan erat dengan kehidupanku sebelumnya.
Satu-satunya ingatan yang kubawa ke tempat ini hanyalah nama dari artifak pisau berliku itu. Tak ada seorang pun yang mengenal namanya di tempat ini, namun entah mengapa kata 'Keris' tiba-tiba melayang di kepalaku.
Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Mengapa aku harus kehilangan ingatanku?
Aku merenung sambil melihat pemandangan langit malam dari balik jendela.
Kubuka sebuah buku cerita kepahlawanan, dalam buku itu dikatakan bahwa akan datang seorang pahlawan beserta pedang suci menyelamatkan dunia.
Dalam diri aku sadar, bahwa ada beban yang begitu besar ditanggungkan di atas gelar ini.
Aku adalah harapan dari semua orang, aku yang ditugaskan menyelamatkan dunia dari serangan raja iblis.
Cepat atau lambat, aku pasti akan berhadapan degannya. Musuh yang harus kulawan, demi menyelamatkan orang-orang.
Kusadari bahwa waktu telah menunjukkan larut malam. Kurasa aku harus tidur demi menyiapkan stamina untuk esok hari.
Pagi pun telah tiba, dapat kurasakan sinar matahari menyorot kedua mataku. Ku sadari ada sebuah sosok perempuan yang sedang berdiri di samping jendela. Ia memutar tirainya, lalu mengikatnya dengan sebuah tali.
"Selamat pagi Rudolf," ucapnya dengan suara yang tidak asing.
"Selamat pagi Adela,"
"Apa kamu menikmati tidurmu?"
"Ya, benar-benar nyenyak."
"Kalau begitu basuh wajahmu terlebih dahulu, lalu kita sarapan bersama di sini."
"Baiklah ..."
Aku pun bergegas ku kamar mandi lalu membasuh wajahku. Kurasakan air dingin menyentuh permukaan kulitku, lalu mengalir berlalu begitu saja. Segar .... membuatku merasa tersadar. Kucuci juga tanganku yang kotor, ku gosok-gosok, berharap semua kotoran hanyut bersama air.
Kemudian aku kembali ke ruang kamarku, di atas meja itu di tengah ruangan dapat kulihat masakan-masakan hangat menggugah seleraku. Perutku yang kelaparan berbunyi pelan, aku sudah tidak sabar untuk menghabiskan semuanya.
Di sana Adela duduk di hadapanku. Mengenakan gaun berwarna biru polos yang kemarin kami beli. Sinar matahari menyorot wajahnya, dapat kulihat dengan jelas rambut panjangnya dipilin dan terurai panjang ke bawah. Ia tersenyum kepadaku, ia potong-potong roti lalu menuangkan sup ke dalam mangkuk.
Kududuk di hadapannya, di hadapan hidangan sarapan pagi. Entah kenapa ... aku merasa damai.
"Gaun itu sangat cocok untukmu Adela," ucapku memulai pembicaraan.
Kemudian ia tersipu, memalingkan pandang sambil tersenyum lembut.
"Terima kasih Rudolf," balasnya dengan senyuman.
"Tidak, aku yang seharusnya berterima kasih ...."
Ia pun menyajikan mangkuk sup itu ke hadapanku.
"Terima kasih karena telah menemaniku di sini."
Kemudian ia tersenyum lagi.
"Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi ..., aku akan selalu berada di sisimu Rudolf."
"Kau benar-benar baik,"
"Kau juga ..."
Aku pun mengambil sendok, lalu menyuapkan air sup itu ke dalam mulutku.
"Ngomong-ngomong Adela, aku ingin mendengar cerita lebih banyak tentangmu."
"Walaupun kita sedang makan?"
"Mungkin bagimu itu tidak sopan, tapi sangat disayangkan bukan bila kita ... mmm ..., hanya makan dalam sunyi."
"m, ..m. Kurasa juga begitu ..."
"Kalau begitu, ceritakanlah .."
"Baiklah ... mmm, aku akan bercerita ketika aku kecil. Kau tahu kan, aku adalah putri dari keluarga bangsawan?"
"Ya, tentu."
"Ketika aku berumur delapan tahun, aku benar-benar berperilaku seperi anak laki-laki. Aku senang bermain yang menguras tenaga dibandingkan dengan anak perempuan umumnya. Sejak dahulu, aku berteman dengan Andreas. Saat itu ..., ia adalah anak yang lugu dan aku sangat senang menjahilinya." Ucapnya lalu tertawa pelan.
"Dan sekarang ia menjadi pemuda gagah seperti itu ...?"
"Ya, aku juga terkejut. Pria memang berubah dengan cepat, waktu pun berlalu dan aku tidak bisa menjahilinya lagi."
"Tapi ..., aku tak bisa membayangkanmu sebagai anak yang nakal. Lihat dirimu yang sekarang."
"Kau bisa saja Rudolf ..." wajahnya tersipu lagi.
"Hahaha, maaf. Sepertinya aku menggodamu terlalu berlebihan."
"Tak apa, kita berdua akrab."
"Ngomong-ngomong, siapa yang akan aku lawan nanti siang?"
Adela mengisi cawan dengan air untuk kami berdua.
"Hmm ... baiklah. Dia dikenal sebagai seorang kesatria yang hebat, dia adalah murid dari Sang Pembasmi Para Iblis, berada di sisinya pada saat Kekacauan Pertama sepuluh tahun lalu. Kala itu langit menghitam, awan-awan menghilang. Matahari tertidur, siang menjadi malam. Dunia dipenuhi oleh kegelapan, pintu surga tertutup rapat, dan mulut neraka hendak menerka segala. Hingga pada akhirnya ... dengan segala pengorbanan, mereka berhasil menutup pintu itu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang selamat dari bencana itu. Ia adalah lawanmu nanti siang."
"Apakah jika aku kalah .... ia akan membunuhku?"
"Bisa jadi ..."
Aku menghela nafas dalam-dalam.
"Kau harus membuktikan dirimu, Rudolf ... pahlawanku ..."
"...." aku terdiam. "Sejujurnya aku gugup."
"Siapa pun, pasti. Tapi itulah artinya sebagai seorang pahlawan," ucap Adela selagi ia memandang bayangnya di atas permukaan air. "Pahlawan .... itu adalah gelar yang umumnya diberikan pada orang-orang mati."
"Ya ... aku tahu."
"Kau dipanggil ke tempat ini ..., untuk mempertaruhkan nyawamu pahlawanku .... Dan, akulah yang telah memanggilmu kemari."
"Itukah mengapa kau bersedia menikahiku, Adela?"
"Sebagian besar ya, Rudolf .... Tapi aku akan mengikutimu ke mana pun kau berada. Aku akan terus berada di sisimu, aku akan selalu mendukungmu."
Ia mengelap bibirku dengan sapu tangan.
"Karena itu Rudolf .... kau harus menang. Karena aku akan ikut bersamamu jika engkau mati."
"Doakan aku, sayangku. Aku pasti akan kembali."
Untuk sesaat, entah mengapa ... aku merasa pernah mengalami hal yang serupa.
Aku pergi meninggalkan seorang wanita, aku berjanji untuk kembali padanya.
Namun aku tak pernah kembali.
Aku tak bisa memenuhi janji.
Akankah semua itu terulang kembali ....??
Tidak.
Aku takkan khianati janjiku lagi.
Aku adalah Sang Pahlawan.
Di sebuah halaman yang cukup luas, memutar berbentuk lingkaran lonjong, disaksikan orang-orang, mereka menyebut tempat ini Kolosseum. Panjangnya adalah 615 kaki, sedangkan lebarnya 510 kaki. Jika aku berlari mengelilinginya dengan kekuatan penuh, mungkin aku akan memerlukan waktu kurang lebih 10 detik.
Kulihat ke arah penonton, mereka bersorak gembira. Senyuman menghiasi wajah mereka, walaupun pakaiannya berbeda-beda namun mereka dapat bersatu di satu tempat. Di sana kulihat ada orang-orang yang berbaju kusam, ada pula yang berbaju bersih. Menurut Adela, mereka-mereka yang berbaju kusam adalah dari golongan budak. Sedangkan mereka-mereka yang berbaju bersih memiliki kedudukan sosial yang lebih baik.
Terik matahari tepat berada di atas kepala. Dapat kurasakan hawa panas berkumpul di sekitarku, namun terima kasih pada Adela yang mengipas-ngipas kepala ku.
Aku melihat tubuhku, tubuh yang terlatih dan ideal. Sebenarnya aku percaya pada diriku sendiri, walaupun kepalaku tidak mengingatnya, kuharap tubuhku memiliki refleks yang bagus.
Juru panggil berdiri di antara kami berdua, kemudian ia pun mulai berbicara.
"Dari gerbang timur, murid dari Sang Pembasmi Para Iblis, Ares Tigar. Dan dari gerbang barat, Rudolf Sang Pahlawan."
Aku pun berpamitan pada Adela lalu berjalan ke tengah-tengah arena.
Di hadapanku berdiri seorang pria, tingginya sekitar 10 kaki, tubuhnya terlatih dengan otot-otot. Ia mengenakan baju baja lengkap kecuali bagian kepala. Tak kusangka, ternyata parasnya cukup tampan. Dengan sepasang mata berwarna biru, kulit yang putih, serta rambut yang pirang. Dapat kudengar sorak-sorak dari sisi penonton, para wanita memuja-muja namanya.
Jika yang menjadi lawannya bukanlah aku, maka mungkin mental mereka akan sudah turun. Tapi untukku tak masalah siapa yang mendukung, yang jelas aku memiliki Adela di belakangku.
"Baiklah, aku akan menjelaskan aturannya. Setiap pemain dapat menggunakan senjatanya masing-masing, diizinkan melukai, diizinkan untuk membunuh. Pertandingan dianggap selesai bila salah satu pihak menyerah, ataupun terbunuh. Dimengerti?"
""Dimengerti.""
"Baiklah, bersumpah jujurlah di hadapan raja kalian."
Kami pun menghadap raja lalu menunduk.
""Yang Mulia, aku akan bertanding dengan kejujuran, dengan penuh kehormatan. Aku bersumpah dengan nama Dewa Bumi dan Dewa Langit, dengan dunia menyaksikan, bahwa aku akan bermain adil."" Ucap kami secara bersamaan.
Seketika itu pun raja mengangguk. Ia melirik ke arah penonton, lalu menepuk tangannya.
Prok
Suara tepukan itu dapat terdengar dengan jelas. Tanda bahwa pertarungan dimulai.
Kedua petarung itu saling mundur menjaga jarak. Mata mereka saling tertuju, mengamati musuh mereka masing-masing. Sang pahlawan dengan satu tangannya ia memegang pedang suci, sedangkan Ares membentuk kuda-kuda sikap menyerang.
Setahu Ares, sang pahlawan mengalami hilang ingatan. Tapi ia tak menyangka, ternyata kuda-kuda Rudolf cukup baik dan sulit ditemukan celah.
Di sisi lain Rudolf ia memasrahkan dirinya. Kepalanya tak ingat apa-apa tapi ia yakin tubuhnya memiliki ingatan sendiri. Ia bergerak sesuai nalurinya, digerakkan oleh otot dan perasaan.
Kemudian Ares menyerang terlebih dahulu. Ia menerjang ke arah Rudolf dengan tenaga yang cukup kuat. Tapi tak disangka-sangka, gerakan Rudolf lebih cepat darinya. Serangannya pun dihindari dengan mudah, lalu jarak kembali tercipta di antara mereka.
Para penonton terkagum-kagum. Melihat kedua petarung itu dapat bersikap dengan tenangnya membuat mereka tak bisa mengedipkan mata. Tak ada yang tahu kejutan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sekali lagi Ares menyerang, namun Rudolf dapat menangkisnya lalu mundur lagi.
Keduanya memiliki cara masing-masing untuk mengukur kemampuan lawan. Di satu sisi Ares lebih condong ke cara agresif, sedangkan di sisi lain Rudolf lebih condong ke cara defensif.
Setelah keduanya merasa yakin. Pertarungan yang sebenarnya pun terjadi.
Rudolf mulai maju menyerang, pedang mereka saling berbenturan.
Mereka saling mengayunkan pedang, percikan-percikan bunga api sekali-kali dapat terlihat.
Satu, dua, tiga benturan. Ares mengayunkan pedang dari atas kepala ke bawah, lalu Rudolf menghindar ke samping. Tak selesai sampai di situ, Ares meneruskan serangannya ke samping, namun tak disangka Rudolf melakukan atraksi jungkir balik lalu mundur membuat jarak.
Penonton kembali bersorak, suasana menjadi semakin panas.
Dari kejauhan, dapat terlihat bahwa pihak yang tersudutkan adalah Rudolf. Karena ia hanya memiliki satu lengan, setiap ayunannya tak begitu kuat. Tapi untungnya, ia memiliki kecepatan. Karena itu ia dapat menghindari semua serangan Ares.
Tapi jika begini terus, maka ia akan kehabisan tenaga, pikir Rudolf. Hanya ada satu cara untuk menang, yaitu langsung memberikan serangan mematikan ke bagian vital.
Tapi ... ia ragu-ragu.
"Kenapa kau ragu-ragu! Jangan main-main denganku!" sahut Ares dengan marah.
Ia pun menggunakan serangan-serangan keras, yang takkan mampu ditangkis oleh Rudolf.
Sekali lagi, Rudolf menjaga jarak.
"Hei kau! Apa kau menganggap remehku?"
"Tidak,"
"Kau tahu, kau bisa membunuhku kapan pun. Mengapa kau tak melakukannya?!" sahut Ares dengan wajah yang merah marah.
"Aku tak mau membunuhmu."
"Hoo, benarkah ... kalau begitu matilah!"
Ares pun membentuk kuda-kuda yang kokoh. Udara panas berkumpul di sekelilingnya. Suasana pun berubah mencekam.
"Wahai Dewa penguasa api, selimutilah diriku, lalu hanguskanlah musuhku."
Seketika itu terjadi ledakan dari arahnya, sangat panas membakar, sampai-sampai membuat pijakan tanahnya meleleh.
Adela pun langsung panik menyaksikan kejadian itu. Asap dan debu menutupi pandangan penonton, tak ada satu pun yang tahu apa yang sedang terjadi di sana.
"Rudolf! Rudolf!!!" Adela memanggil-manggil histeris. Ia hendak berlari menuju arena namun dirangkul oleh ibunya.
"Rudolf!!! Jawab aku, Rudolf!!!"
Kabut masih menutupi pandangan mereka, tak ada sedikit pun suara jawaban terdengar dari arah sana.
Semua penonton hening, Adela mulai menangis.
Rudolf tolong jawablah!, ucap Adela dalam hati.
Kemudian Adela membaca mantra pemanggil angin, disapunya debu dari seluruh arena hingga terlihat sosok Ares berdiri di tengah-tengah Arena.
"Huh, di mana Rudolf??!"
Semua penonton tercengang, mereka tak menemukan sosok Rudolf di mana pun.
Ares tersenyum, lalu ia pun berbalik. Di pikirannya, Rudolf sudah terpanggang habis dengan serangan itu.
"Tidaaak!!!!!" Adela berteriak histeris, tangisannya dapat terdengar jelas ke seluruh arena.
Namun tiba-tiba—
Jarum-jarum cahaya melesat dari segala arah menghujani Ares, bukan hanya dari pinggir namun juga dari atas dan bawah.
Jarum-jarum cahaya itu datang dan pergi secara bertubi-tubi. Suara petir menggelegar dari arah sana. Tak ada seorang pun yang memahami fenomena yang sedang ada di hadapan mereka.
Ares hanya terdiam, ekspresi wajahnya memperlihatkan bahwa ia tak mengalami rasa sakit sedikit pun.
Lalu—
Tubuh Ares meledak berkeping-keping. Hujan darah pun membasahi seluruh arena. Seluruh tubuh mereka dipenuhi oleh warna merah.
Di tengah-tengah arena sana, terlihat sebuah sosok bermandikan darah. Kepalanya tertunduk, seakan hilang kesadaran. Namun tiba-tiba .... ia berteriak kesakitan dengan keras.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Rudolf memegang bahu kirinya dengan keras, teriakannya menggambarkan derita yang amat pedih.
Tak kuasa mendengarnya, Adela pun langsung terjun ke arena dengan nalurinya. Ia pun berlari ke arah Rudolf, lalu menopang tubuhnya agar tidak jatuh.
"Siapa pun, tolong dia!!!"