Kerajaan Demak Bintara Bukanlah Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa
Dalam pelajaran sejarah di sekolah kita di doktrin untuk meyakini bahwa kerajaan Islam tertua di pulau Jawa adalah Demak, dengan Raden Fatah sebagai rajanya. Pula, beriringan dengan hal itu, muncul narasi jika Raden Fatah adalah anak durhaka karena menyerang kerajaan ayah kandungnya yang berbeda agama.
Narasi sejarah berlatar belakang konflik seperti itulah yang diwariskan kolonial Belanda kepada anak-anak lewat sekolah.
Berangkat dari sisa sisa artefak dan ideofak yang bisa dilacak, kita temukan fakta bahwa kerajaan Islam pertama di Jawa bukanlah Demak, tetapi Lumajang yang menunjuk kurun waktu awal abad 12 yaitu masa Singosari di bawah pimpinan Sri Kertanegara.
Hal itu tersiar lewat prasasti Malurung bahwa kerajaan Lumajang adalah bagian dari kerajaan Singosari dengan rajanya Nararya Kirana, puteri Prabu Seminingrat Wisnyuwardhana. Saudaranya yang lain, Cakrawardhana yang menjadi raja Madura dan putra mahkotanya adalah Kertanegara.
Arya Wiraraja diasumsikan mendapatkan tindakan kurang adil dari Sri Kertanegara karena di muslim. Arya Wiraraja ditempatkan sebagai Demung (kepala rumah tangga raja). Hubungan harmonis Kertanegara dengan Arya Wiraraja mulai tersulut sewaktu Sri Kertanegara ingin meluaskan wilayah kekuasaan dan menyebarkan ajaran agama Tantrayana sekte Tantra - Bhirawa dengan mengerahkan kekuatan militer yang sangat besar. Arya Wiraraja tidak setuju dengan hal itu, sebagai muslim dia punya tanggung jawab moral untuk mencegah karena dia tahu bahwa sekte itu sangat memusuhi Islam sejak awal.
Historigrafi Jawa mencatat, Sultan Al-Gabah dari Persia mengirim 20.000 keluarga muslim untuk tinggal di Jawa, tetapi hampir semuanya tewas dimangsa siluman, banaspati, brekasan ( sebutan pengikut Tantrayana yang dalam upacara ritualnya minum darah dan makan daging manusia)
Situs kerajaan Lumajang sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa itu berada di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono. Di sana terdapat makam Raja Lumajang Arya Wangbang dan Menak Koncar yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Sebagai objek penelitian, situs ini baru dibicarakan J. Magemen pada tahun 1861.
Pada tahun 1920, A Muhlenfeld, seorang peneliti Belanda dikenal sebagai peneliti dengan penggalian dan pendokumentasian Situs Biting AMG agak komperhensif. Tidak ada yang mengetahui, kenapa hasil penelitian N. Magemen dan A. Muhlenfeld tidak dipublikasikan secara besar-besaran seperti hasil penemuan dalam situs-situs lain seperti candi Hindu, Budha, pintu gerbang, candi Patirtan, prasasti dll.
Sejak A. Muhlenfeld, tidak ada lagi peneliti asing yang meneliti situs Biting, hingga tahun 1982, Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Lumajang melakukan proses rekonstruksi dan penggalian kembali. Proses tersebut dilakukan berdasarkan laporan Balai Arkeologi Yogyakarta. Penggalian itu berlangsung selama 1982-1991 dengan 11 tahap.
Meski keberadaan Situs Biting secara arkeologis sudah menyuguhkan banyak dafa artefak dan sudah diakui walaupun tingkat refrensi validitasnya belum tinggi, tetapi pada prasasti Mula-Malurung sudah disebutkan bahwa salah seorang putri Nararya Seminingrat bergelar Abhiseka Sri Prabhu Wisynuwarddhaana yang bernama Nararya Kirana menjadi raja Lumajang. Begitu juga dengan sumber kronik Negarakertagama yang menyebut Lumajang
dengan sebutan Arnon-Renon (bahasa jawa maupun: pasir) sebutan Lamajang Tigang Juru. Itu sebabnya Situs Biting disebutkan sebagai sebuah situs arkeologis peninggalan kerajaan Lumajang dengan kawasan 135 hektar. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas tembok benteng dengan panjang 10 km, lebar 6 meter dan tinggi 19 meter.
Kopi hitam.
Mantap om pistingan yang bagus jangan lupa mampir ke blog saya juga ya om
@wahyudiarigayo terima kasih, ok sap.
Mana om kok gk di vote punya saya. Kata nta mau mampir
Artikel bagus. Banyak menambah pengetahuan tentang sejarah.