Biopiracy - Pembajakan Keanekaragaman Hayati Indonesia
“Cawu ke dua tahun 2012 lalu masih jelas teringat, tatkala dunia penelitian Indonesia merasa kecolongan atas publikasi Megalara garuda, tawon raksasa asal Sulawesi ini merupakan spesies baru yang berhasil ditemukan atas kerja sama peneliti asal University of California Davis-USA dan LIPI lewat ekspedisi Mekongga.”
Kisruh mencuat tatkala nama peneliti Indonesia asal LIPI yang terlibat dalam proyek tersebut (Rosichon Ubaidillah) tidak ikut tercantum dalam publikasi jurnal internasional Zookeys. Padahal asal mula nama Garuda, yang melekat sebagai nama petunjuk spesies baru itu, diberikan oleh Beliau. Isu pembajakan atas kekayaan hayati Indonesia (Biopiracy) menjadi berita gempar yang dimuat di kolom sains banyak harian Indonesia saat itu. Bahkan LIPI sebagai pemegang science authority, berencana mengevaluasi setiap publikasi ilmiah yang menyangkut biodiversitas Indonesia, yang dilakukan tanpa melibatkan peneliti lokal.
Setelah kejadian itu, pemerintah tampaknya serius menangani masalah pengelolaan sumber daya genetik di Indonesia. Ini terbukti dengan telah diselesaikannya Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Genetika (RUU PSDG), sebagai kelanjutan protokol Nagoya. Seperti diketahui, protokol Nagoya berisikan aturan pembagian keuntungan yang adil dan pemberian akses terhadap pemanfaatan sumber daya hayati, serta perlindungan terhadap kearifan lokal. RUU PSDG akhirnya disahkan pada sidang paripurna DPR RI tanggal 11 April 2013 lalu, selain itu sidang juga mengesahkan RUU konvensi Rotterdam mengenai informasi bahan kimia dan pestisida berbahaya.
Kembali terjadi
Permasalahan biopiracy menjadi sangat penting tatkala Indonesia, sebagai sebuah negara yang terkenal memiliki kekayaan biodiversitas nomor dua di dunia setelah Brazil, atau peringkat pertama di Asia, tidak memiliki instrument untuk melindungi kekayaan tersebut. Oleh karena itu, tindakan biopiracy akan terus terjadi, dan untuk seterusnya akan dianggap sebagai kejadian lumrah.
Beberapa waktu lalu, penulis sempat membaca sebuah publikasi spesies burung hantu baru (Otus jolandae) asal Rinjani-Lombok di jurnal internasional plosone.org yang diterbitkan 13 Februari 2013 (artikel lalu dimuat di rubrik sains sebuah media online). Penelitian tersebut ternyata dilakukan oleh peneliti-peneliti asing, ironisnya penelitian ini tidak melibatkan peneliti Indonesia sama sekali. Para peneliti asing itu dengan mudahnya menerobos masuk kawasan hutan Rinjani, mengambil serta membawa sampel penelitian, seperti rekaman suara, foto, atau bahkan sampel hewan yang diambil hidup-hidup.
Yang lebih mencengangkan adalah ketika kita membaca pernyataan etika (ethics statement) di bagian metodologi riset artikel tersebut, di sana jelas-jelas tertulis, “Tidak ada izin khusus yang diperlukan untuk aktivitas lapangan atau untuk mengunjungi lokasi penelitian ini karena bukan milik privat dan bukan kawasan lindung, izin untuk mengunjungi taman nasional Gunung Rinjani diperoleh dari polisi hutan lokal.”
Hal ini menunjukkan betapa lemahnya instrument perlindungan kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia berikut prosedur perizinan peneliti asing. Pernyataan tersebut seolah-seolah sebagai isyarat bahwa meneliti di Indonesia bebas dilakukan peneliti asing tanpa perlu memberitahu pemerintah Indonesia. Apalagi pernyataan seperti itu tertulis di sebuah jurnal internasional yang bisa diakses oleh ribuan peneliti mancanegara. Oleh karena itu saya menilai, adalah wajar jika praktik biopiracy ini akan terus terjadi hingga pemerintah benar-benar dapat menelurkan UU PSDG dan punya kontrol yang kuat terhadap arus peneliti asing. Tetapi, kita masih beruntung karena sebagian besar anggota parlemen mendukung ditetapkannya RUU PSDG menjadi UU, sesuai hasil sidang paripurna DPR RI.
Sebagai pembelajaran
Publikasi spesies baru yang dilakukan kali ini tidak begitu menghebohkan dibandingkan kejadian Megalara garuda, hal ini disebabkan beberapa faktor :
Pertama, peneliti asing itu tidak bekerja sama dengan peneliti Indonesia, tidak ada campur tangan atas penemuan spesies baru sehingga tidak ada peneliti Indonesia yang merasa terlibat layaknya kasus tawon garuda. Para peneliti itu menggunakan dana riset pribadi untuk melakukan penelitian. Sehingga tidak ada konflik kepentingan terkait dana penelitian. Sepertinya penelitian dilakukan atas dasar kesenangan semata atau penulis menyebutnya sebagai research by hobby, tipe riset seperti ini lazim dijumpai di negara-negara maju. Para peneliti sering menggunakan dana pribadi untuk meneliti agar tercapai kepuasan semata atau untuk maksud-maksud tertentu. Jika mengacu pada Protokol Nagoya, celah besar terjadi pelanggaran di ranah ini adalah berkaitan kearifan lokal, karena sebenarnya spesies burung hantu itu telah dikenal masyarakat dengan sebutan Pok-Pok.
Kedua, isue biopiracy yang mencuat sejak tahun lalu semata-mata hanyalah basa-basi ilmuwan Indonesia agar terkesan elit dalam pergaulan riset internasional. Upaya menyisir publikasi yang berkaitan biodiversitas Indonesia tanpa melibatkan peneliti lokal rupanya tidak efektif, atau urung dilakukan.
Sebagai seseorang yang bergelut di bidang konservasi dan biodiversitas, penulis sebenarnya beranggapan sah-sah saja jika ada penelitian asing yang melakukan eksplorasi terhadap keanekaragaman hayati indonesia. Dengan label negara mega biodiversitas, bukanlah perkara mudah untuk menginventarisasi kekayaan hayati yang cukup tinggi di Indonesia. Setidaknya apa yang dilakukan oleh peneliti-peneliti luar dapat membantu menemukan hal-hal baru yang belum ditemukan oleh peneliti Indonesia saat ini. Selanjutnya hasil kajian tersebut dapat dipelajari oleh ilmuwan di seluruh dunia dan menjadi khazanah ilmu pengetahuan baru. Tetapi dengan catatan, karena Undang-Undang tentang sumber daya genetik telah berlaku, pemerintah perlu mengontrol secara ketat masuk-keluarnya peneliti asing di wilayah Indonesia, berikut publikasi penelitiannya. Setidaknya peneliti Indonesia harus terlibat jika ada penemuan spesies baru asal Indonesia. Sehingga protokol Nagoya benar-benar membawa dampak baik bagi masyarakat lokal ataupun masyarakat ilmuwan Indonesia. Akhirnya isue biopiracy ini tidak menjadi isapan jempol semata, dan tidak ada lagi peneliti Indonesia yang gigit jari.
Salam biodiversitas.