Bagaimana Seorang Penyair Dinyatakan Gila
Tandas sudah pengembaraan pikirannya. Usai pula pertapaan benaknya. Penyair pulang ke rumah tanpa membawa pulang apa-apa, kecuali sebundel koran minggu. Namanya berserak banyak di sana, tapi apa lagi? Honor yang diterimanya telah habis dalam gelas-gelas kopi. Itu disadarinya ketika setiba di ambang pintu, si istri bilang, "Kang, token listrik sudah tiga hari tak terisi. Lilin juga sudah habis."
Satu-satunya cara ia menafkahi keluarganya adalah menulis puisi lagi, lalu mengirimkannya ke meja redaksi beberapa koran minggu. Tapi, sampai sepekan sudah ia berada di rumah, ia belum berhasil menulis sebait pun puisi sementara rumahnya tetap gulita di malam hari. Listrik dan lilin bersepakat menuntut honorarium yang pantas untuk didatangkan ke rumahnya. Begitu pun istrinya sudah duluan pamit balik ke rumah orangtuanya sehari setelah si penyair pulang. Istrinya juga memboyong dua anaknya yang masih bocah, yang ketika pamit dengan riang gembira ia kata ke sang suami, "Selamat senggama dengan puisi-puisi. Tapi jangan lekas mati. Gila sajalah!"
Dalam usahanya untuk bisa kembali menulis puisi, si penyair telah melakukan banyak ritual. Mulai dari melakukan ibadah-ibadah kecil, merapal mantra-mantra mistis, sampai merancap kala dilanda birahi, tetap tak membuatnya bisa menulis satu diksi pun. Kecuali satu kata dengan dua huruf itulah yang berhasil di tulisnya. Dan kian ia berusaha menyambung kata lain setelah kata itu, makin bertambahlah kata serupa yang tertulis di kertasnya.
Ah. Ah. Ah. Ah. Ah. Begitu seterusnya.
Setelah berhari-hari ia berusaha dan kata 'ah' makin bertambah memenuhi belasan halaman buku tulisnya, si penyair sadar dan berhenti. Ia tertidur pada satu pagi yang murung lalu bangun di sore harinya dengan pikiran sesegar embun. Ia lekas mandi sore itu, lalu memakai setelan terbaik yang ada di lemarinya. Setelah beberapa kali mematut diri di depan cermin, ia keluar rumah sambil menenteng buku tulisnya yang hampir penuh dengan kata 'ah'.
Ia mengembara lagi. Dan sore inilah pengembaraannya selanjutnya dimulai lagi setelah dua pekan lebih mendekam di rumah tanpa listrik, tanpa anak, lilin dan istri. Tapi satu-satunya alasan paling tepat kenapa ia keluar rumah lagi tak lain karena stok logistik yang ditinggalkan istrinya telah tandas di kakus belakang rumahnya yang sebelumnya pernah transit di lambungnya.
Pengembaraannya kali ini tertuju pada sebuah taman di tengah kota, tempat yang telah bertahun-tahun digunakan sebagai titik kumpul para penyair yang agak kurang punya nama. Seperti pada sore-sore yang lain, panggung bebas deklamasi puisi selalu ada di taman itu. Si penyair tiba di taman ini ketika seorang penyair tanggung, perempuan, muda dengan penampilan agak menor, tengah membaca sepotong bait puisi yang sangat familiar di telinganya.
Sekali simak ia tahu. Itu puisinya, berjudul Senggama-ti. Puisi yang mengetengahkan percintaan dan kematian, telah dimuat di satu koran minggu dan pernah masuk dalam satu buku antologi puisi nasional. Mendengar perempuan itu menghabiskan bait terakhirnya, ia terkesima sendiri. Sembari pula perasaannya untuk ikut tampil di panggung bebas itu membuncah dan memenuhi lingkup pikirannya saat itu juga.
Itulah waktu di mana ia merayakan kembali kepenyairannya atau lebih tepatnya membunuh karir perpuisiannya. Sejurus saja ia telah berada di panggung. Di sana ia terlebih dahulu memelorotkan pantalon sekalian kancutnya. Lantas, sementara tangan kanan memegang buku tulis yang halamannya telah dibuka dan dilipat sedemikian rupa, tangan kirinya menggenggam batang yang tumbuh di selangkangannya. Maka ia bacalah karya puisi yang terakhir ditulisnya.
Sekali ia baca kata 'ah', sekali itu pula tangan kirinya merancap. Ah. Merancap. Ah. Merancap. Dan seterusnya. Hingga sekawanan Satpol PP datang dengan membawa mobil ambulan bertulis RSJ di kap belakangnya.
Kang, token listrik sudah tiga hari tak terisi. Lilin juga sudah habis.
gedubrak.....sakeeeet..haha.
Mohon jadi perhatian bersama, sekalipun menulis tentang penyair, foto jangan lupa tiga biji atau lebih. Ah!
haha... bereh bereh...
ah" ah" ah"... good post..👍👍
Andai si penyair itu kenal dengan steemit ya, hahaa
Controller hang on tree....
salam perkenalan,semoga menjadi seseorang yang sucses,dan kita bisa jadi teman yang lebih akrab, tambahkan saya menjadi teman juga ya