Menulis Puisi Itu Mudah, Menerbitkannya .....
“Menulis puisi itu gampang, menerbitkannya yang susah”. Ungkapan ini ada benarnya, walau pun kalau mau didalami, tidak seluruhnya tepat. Menulis puisi memang cenderung dianggap lebih mudah dibandingkan menulis cerita pendek (cerpen) atau novel, yang sama-sama karya fiksi. Hanya dengan beberapa kalimat saja, jadilah puisi. Sementara cerpen umumnya terdiri dari sekitar 500 kata atau lebih. Apalagi novel, cerita yang penulisannya memerlukan ketekunan untuk menghasilkan karya cukup panjang.
Tapi tidak semua setuju menulis puisi itu mudah, apalagi disepelekan, dianggap lebih muda daripada menulis cerpen dan novel. Menulis puisi memerlukan perenungan, terutama kalau memang ingin membuat puisi yang berkualitas baik dan bukan sekadar puisi asal tulis saja.
Perenungan batin sang penulis – atau sebut saja sang penyair – berupa endapan gejolak batin yang telah lama ada, bisa sampai bertahun-tahun, sebelum dituangkan dalam larik-larik puisi. Setelah puisi selesai pun, tidak langsung dipublikasikan. Banyak penyair yang mengendapkan kembali, memasukkan lembaran puisi itu ke dalam laci, bisa laci lemari dalam arti kata sebenarnya atau laci kiasan berupa hard disk atau flash disk.
(Sejumlah buku puisi yang diterbitkan secara indie, menggunakan penerbit independen. Foto: BDHS)
Kelak, dikeluarkan lagi, dibaca ulang. Ada dua kemungkinan. Puisi itu sudah dianggap baik atau masih memerlukan koreksi di sana-sini, namun yang lebih menyedihkan, setelah dibaca ulang oleh penyairnya sendiri, puisi itu dianggap jelek, lantas dibuang. Benar-benar dibuang, tak lagi dipakai. Begitulah banyak penyair memperlakukan proses penulisan puisinya.
Sekarang, setelah dianggap layak untuk dipublikasikan, maka sang penyair mulai mengunggahnya di media sosial atau mengirimkan ke berbagai media massa yang menyediakan rubrik atau kolom puisi. Bisa dimuat, bisa pula oleh redaktur media massa bersangkutan, dianggap tidak layak muat.
Maka satu persatu puisi karya penyair bersangkutan bermunculan. Setelah cukup banyak dan dianggap satu tema atau topik, oleh sang penyair kemudian dijadikan kumpulan puisi atau antologi puisi. Dibukukan, dan saatnya diterbitkan.
Nah, sekarang memang berlaku ungkapan “menulis puisi itu gampang, menerbitkannya yang susah”. Sudah lama memang sangat susah menerbitkan buku kumpulan puisi di penerbit-penerbit besar yang ada di Indonesia. Selalu saja ucapannnya, “jarang pembaca dan pembeli buku puisi, jadi kami tak menerbitkannya”.
Hal serupa juga yang terjadi dalam acara suatu penerbit buku besar di gedung Perpustakaan Nasional Indonesia, yang terletak di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, tak jauh dari Balaikota DKI Jakarta pada Sabtu dan Minggu, 7-8 April 2018. Salah satu kegiatannya adalah editor clinic yang memberikan kesempatan penulis genre apa pun – fiksi maupun nonfiksi – untuk mengajukan naskahnya dan dinilai apakah layak terbit oleh tim editor dari penerbit buku besar itu.
Meski tahu kemungkinannya kecil, saya pun mencoba. Terjadilah percakapan dengan dua perempuan muda, anggota tim *editor clinic^ di sana.
“Menerbitkan buku fiksi ini termasuk kumpulan puisi juga ya?” saya bertanya.
“Oh nggak, Pak,” jawab salah satu di antaranya.
“Kenapa *nggak”?”.
“Ya, kalau puisi itu khusus, Pak. Kami sekarang hanya memilih dan membantu penulis novel dan cerita fiksi lainnya saja,” ujar si petugas lagi.
Kemudian dia menerangkan, pihaknya sangat jarang dan sangat selektif menerbitkan buku kumpulan puisi. Dalam setahun, hanya ada beberapa kumpulan puisi yang diterbitkan. Hal tersebut mengingat pasar pembaca buku puisi tidak besar, jarang ada yang membeli buku-buku puisi.
(Cover atau sampul depan buku kumpulan puisi Ahok, Kebhinekaan, Belajar Pancasila yang diterbitkan secara indie. Foto: BDHS)
Ya, sudahlah. Kecuali Anda seorang penyair yang namanya dikenal luas – tapi ini pun bukan jaminan – maka cara terbaik untuk menerbitkan buku kumpulan puisi adalah dengan menerbitkannya sendiri. Saat ini banyak penerbit-penerbit indie yang menawarkan paket-paket penerbitan buku dengan harga cukup terjangkau. Kita tinggal menyerahkan naskah, maka mereka yang akan menata letak, membuat desain cover atau sampul buku, sampai mengurus nomor ISBN ke Perpustakaan Nasional.
Tak perlu repot, hanya dengan menyediakan dana secukupnya, kita dapat menerbitkan buku kumpulan puisi kita. Tidak perlu cetak banyak-banyak untuk tahap pertama, cetak 10 atau 20 buku saja sudah cukup. Nanti kalau ternyata animo cukup banyak, tinggal mencetak ulang. Tidak terbit di penerbit besar juga tak apa, yang penting buku kita tetap ada nomor ISBN-nya, jadi paling tidak diakui “sah” di dunia perpustakaan dan literasi umumnya.
Berhasil menjadi penulis adalah terus menerus selamanya MENULIS. hehehee
Terima kasih untuk apresiasinya
Sepakat dgn paragraf terakhir: Yang penting terbit dan ada ISBN-nya... PoD (Print on Demand) sepertinya yg paling cocok utk karya2 spt buku puisi....
Dan yg paling penting: terus berkarya bro @bertsinaulan....
Semangat, kawan...!😃😍👍
Betul. ISBN penting agar teregistrasi dengan perpustakaan sedunia. Ya, PoD sekarang yang paling mudah dan cocok untuk buku kumpulan/antologi puisi. Terima kasih untuk komentarnya.
Aku usul kau tulis “Cara Mudah Menerbitkan Buku Sastra”. Kayaknya keren tuh :)
Ide yang menarik. Sebenarnya sudah mulai mengumpulkan tulisan-tulisan tentang puisi di sana-sini, tapi ide yang Bung usulkan menarik juga. Terima kasih