Memburu Babi Membangun Silaturahmi dan Membasmi Hama: Indonesiachallenge#4
Oleh @ayijufridar
BAGI anggota Leumbeng Puteh (Lembing Putih), akhir pekan adalah hari yang sibuk. Sehari sebelumnya—bahkan bisa jadi seminggu sebelumnya—mereka sudah mempersiapkan berbagai kebutuhan. Bukan untuk berlibur menikmati akhir pekan bersama keluarga, melainkan untuk berburu babi atau disebut let buy dalam bahasa Aceh.
Mereka sudah saling mengabari sesama anggota melalui telepon selular. Bagi yang tidak memiliki ponsel, mendapat kabar langsung ketika bertemu. Biasanya, tempat mangkal mereka adalah sebuah kios milik Ibrahim Puteh yang akrab disapa Cek Him. Kios itu terletak di pinggir jalan yang tembus ke bukit yang menjadi jalur anggota Leumbeng Puteh menuju belantara di sisi selatan Desa Uteunkot.
Gagasan berburu bisa muncul dari siapa saja, tergantung situasinya. Kalau cuaca mendung, perburuan ditiadakan. Demikian juga bisa ada kegiatan sosial lain di kampung. Sesuai namanya, sebagian besar anggota Leumbeng Puteh bersenjatakan lembing (tombak pandak) yang ujungnya terbuat dari besi putih. Namun, karena harga besi putih mahal, tidak semua anggota membuat lembing dari besi putih. Ada juga yang dari besi biasa bahkan ada yang tidak memiliki lembing sama sekali karena harganya bisa mencapai Rp500 ribu. Mereka hanya bersenjatakan parang atau pedang. Peralatan lain yang terlihat adalah tali baja yang digunakan untuk menjerat binatang buruan. Mereka tidak mau bersentuhan langsung karena dinilai najis. Seorang pemburu, terlihat membawa terompet dari tanduk kerbau. Terompet itu antara lain digunakan saat mengajak para pemburu berkumpul.
Leumbeng Puteh beranggotakan sekitar 40 orang yang semuanya berasal dari Desa Uteunkot Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe, Aceh. Tak semua anggota hadir dalam pemburuan, kadang hanya belasan saja. Tak ada pendaftaran bagi calon anggota. “Kalau mau bergabung, ya, bergabung saja. Tidak ada yang melarang,” ungkap Muhammad Jafar, seorang jurnalis yang terkadang ikut berburu bersama warga. Baginya, berburu babi menjadi semacam kesenangan. Pemandangan indah di sepanjang perjalanan dan kegiatan berburu juga seru, selain bermanfaat.
Jafar memang benar. Lokasi menuju arena berburu terletak sekitar 6 kilometer dari Desa Uteunkot. Meski medannya lumayan sulit karena mendaki melalui jalan setapak, tetapi udara sekitar cukup segar karena bebas polusi. Di kiri kanan penuh dengan pepohonan menghijau. Dan di bawah sana, Kota Lhokseumawe terlihat bercahaya ditimpa sinar matahari. Kubah-kubah masjid Islamic Center yang menjadi ikon Kota Lhokseumawe terlihat menonjol.
Biasanya, anggota Leumbeng Puteh tidak harus menunggu semuanya baru berangkat. Mereka yang tertinggal di belakang, bisa langsung menyusul. Makanya, para pemburu bisa bergerombol sampai tiga rombongan. Koordinasi sesama kawan dalam perburuan dilakukan dengan teriakan. Tak heran bila sepanjang perburuan terdengar teriakan khas dan sahutan yang juga khas, ditingkahi suara anjing menyalak. “Itu tandanya sudah ada buruan,” ujar Jafar memberi tahu.
Teriakan-teriakan itu penting untuk mengabarkan posisi kepada kawan, selain untuk memberi tanda binatang buruan sudah terlihat. Sebab pernah kejadian di Nisam, Aceh Utara, seorang pemburu keliru menombak rekannya di balik semak-semak yang dikira babi. Makanya, para pemburu sangat berhati-hati sebelum melempar tombak pandak. Pernah melihat film berlatar tahun 1820, Heart of the Sea, yang berkisah tentang pemburu ikan hiu untuk dijadikan minyak? Kira-kira begitulah gaya pemburuh babi saat menombak. Seru dan keren!
Berburu babi dengan anjing semacam keharusan yang tak bisa ditawar, seperti Leumbeng Puteh yang memiliki sekitar 13 ekor anjing. Sayangnya, tidak ada seekor pun anjing pemburu. Hanya sekitar lima ekor anjing yang sudah terlatih, tapi belum menyandang predikat sebagai anjing pemburu. “Anjing yang lain lebih parah lagi. Bukannya memburu babi, malah takut dengan babi,” ungkap Ismail, seorang pemburu senior sambill tertawa.
Padahal, mereka membutuhkan anjing pemburu untuk membantu melokalisir babi agar lebih mudah disergap. Namun, anjing pemburu tidak murah. Harganya bisa mencapai Rp8 juta atau setara dengan anak lembu. “Di Takengon (Aceh Tengah), sudah banyak anjing pemburu. Organisasi buru babi di sana juga sudah sangat berpengalaman dan terlatih,” tambah Ismail.
Bagi mereka, berburu memiliki berbagai manfaat. Selain untuk hobi dan olahraga, untuk untuk membasmi hama babi yang sering merusak tanaman warga seperti sawit, palawija, dan berbagai jenis taaman lainnya. Makanya, saat berangkat berburu, mereka tidak membawa perbekalan. Terkadang hanya air kemasan saja. Sedangkan makanan kadang mengambil dari kebun warga. Meski tanpa meminta, pemiliknya sudah mengizinkan karena para pemburu membantu membasmi hama babi.
Namun, buru babi terkadang dikemas dengan acara makan bersama, kalau ada dana. Terkadang mereka memanggang kambing atau membakar ikan. Tak jarang, Leumbeng Puteh mendapat undangan berburu dari daerah lain yang sedang banyak-banyaknya hama babi merusak kebun warna. Jadi, kegiatan buru babi juga menjadi ajang menjalin silaturahmi di antara warga.
Nah, kalau berhasil mendapatkan buruan, ke mana babi itu dibawa? Menurut Jafar, babi akan dibiarkan begitu saja menjadi makanan bagi binatang lain. Tidak dibawa pulang atau dijual.
Sayangnya, tidak ada buruan yang berhasil mereka dapatkan ketika saya mengikuti Leumbeng Puteh. Dua ekor babi hutan berwarna hitam yang bersembunyi di balik semak, berhasil lolos ketika para pemburu hendak menyergap mereka.
Pemburuan libur selama Ramdhan karena cukup melelahkan. Kawanan babi barangkali akan semakin banyak turun ke kebun warga. Namun setelah lebaran nanti, lembing-lembing putih akan melayang lagi dan menancap di tubuh babi sampai kemudian tubuh binatang itu rubuh ke bumi. []
Senjata lembing ditancapkan para pemburu di tanah. Sebagian ujung lembing dibuat dari besi putih yang harganya mencapai Rp500 ribu.
Pemburu babi anggota Leumbeng Puteh dari Desa Uteunkot Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe, berjalan menuju lokasi pemburuan di selatan kampung mereka.
Pemburu Leumbeng Puteh membahas strategi sebelum turun ke lokasi. Lokasi berburu biasanya mereka tentukan berdasarkan informasi warga yang kebunnya dirusak hama babi.
Inilah hutan belantara yang harus ditembus pemburu dari Leumbeng Puteh. Pemandangan di sekitar cukup memanjakan mata.
Ujung senjata milik seorang pemburu anggota Leumbeng Puteh. Tidak semuanya bisa memiliki lembing karena harganya yang relatif mahal.
Seorang pemburu muda berlari menerobos semak ketika mendengar teriakan kawannya dan salakan anjing yang menandakan adanya binatang buruan.
Para pemburu beristirahat setelah gagal mendapatkan buruan. Dua ekor babi hutan yang terlihat di balik semak, berhasil lolos ketika hendak mereka sergap.
Seorang pemburu senior menenggak air mineral untuk melepas dahaga setelah gagal menyergap dua ekor babi hutan.
Setelah gagal mendapatkan binatang buruan, para pemburu pulang ke rumah masing-masing.
Photo @ayijufridar
Sangat informatif dan menarik! saya senang membacanya :) saya tunggu karya-karya lainnya!
Terima kasih. Saleum
keren bang om, lihat gambarnya jadi kangen desa.
Terima kasih. Desa adalah tempat kita pulang...
Very fantastic, aku suka dengan postingan ini karena ini begitu inovatif bagiku dan mungkin akan berguna bagi orang-orang diluar sana ;) Tunjukkan karyamu selanjutnta teman @ayijufridar
Terima kasih, @alfarisi. Beberapa grup pemburu babi membangun jaringan dan saling mengundang bila hama babi menyerang kebun warga. Menarik melihat para pemburu yang terdiri dari berbagai kelas sosial. Mereka ada yang petani, mahasiswa, bahkan bankir.
Sama-sama mas :) postingan anda memang sangat menarik, dan saya juga ingin merasakan keseruan berburu hama babi jika ada kesempatan :D @ayijufridar
Woow mantap, Teruslah berkarya, semoga anda menjadi pemenang 😉
SALAM KOMUNITAS STEEMIT INDONESIA 🇲🇨
Terima kasih, @aiqabrago. Saleum...
sama-sama, Saleum aneuk nanggroe 😉
@ayijufrdar this little old interesting but it's all in Indonesian can you explain wats going on thx
This article I wrote in Indonesian because I participated in the Indonesian language competition organized by Steemit Indonesia Community. This paper revolves around the activities of hunting wild boar by villagers in Aceh. Wild boar is considered a pest for destroying crops such as peanuts, palm, and vegetables.
do not understand the language , but thanks for sharing the pics
I am so sorry, @lenatramper. This article I wrote in Bahasa because I participated in the Indonesian language competition organized by Steemit Indonesia Community. This article revolves around the activities of hunting wild boar by villagers in Aceh. Wild boar is considered a pest for destroying crops such as peanuts, palm, and vegetables.
sangat informatif artikel tentang berburu babi serta membangun silaturahmi :D
Terima kasih. Saleum...
Postingan yang bagus... sip ! :)
Terima kasih. Saleum
Hobi dan bermanfaat bgi org lain, salam knal semua
Terima kash.
Postingan yang sangat menarik, Bang. Han ek ta koh para senior. Bang Zainal neupakat sidroe.
Kaleuh lon pakat. Golom tertarik gobnyan. Thanks, Ampon...