pemuda pantai dan kematian
Gambar: Janu aldaka
Ini bukan tentang tidurisme, atau tentang Syaikh Abiet, Tetapi ini adalah kisah tentang keresahan seorang pemuda, yang ketakutan menunggu kematian. "mati" siapa yang tidak tau tentang kematian itu, namun siapa yang tau kapan akan tibanya kematian?.
Hari itu ditepi pantai, seorang pemuda itu membaca sebuah buku, yang di dalamnya terdapat kata yang membuat ia berpikir keras, ya, Socrates yang berkata demikian, yang berbunyi "hidup yang tidak dimaknai tidak layak hidup", pemuda itu mengartikan kata tersebut dengan spontan dalam pikirannya, dia mengartikan kata dari Socrates itu dengan kata mati, dikarenakan pemuda itu belum pernah berfikir tentang makna dari kehidupannya sendiri, seperti yang di katakan oleh Socrates, "hidup harus bermakna".
Hal ini memberikan pukulan berat baginya, pemuda itu sempat berkata "*kenapa aku bisa merasakan kekuatan, dari perkataan seorang filsuf,ya itu adalah Socrates, bahkan aku tak mengenalinya dengan baik, sedangkan aku adalah lulusan dari madrasah yang banyak mempelajari tentang ilmu agama, aku berjalan bersama tuan guru, aku selalu mendengar tentang kematian, hampir setiap hari, lantas perkataan tuan guru, ustadz itu lewat begitu saja dan sangat cepat dari kuping ku, aku tak menghiraukan perkataan mereka.
bangst, kini aku marah pada diriku sendiri anji*, kenapa aku lebih memuliakan orang yang tak aku kenali, daripada guru ku sendiri"
Pemuda itu adalah aku, ya, aku yang menulis tulisan ini.
Aku tidak mengerti dengan sikap ku saat ini, apakah sudah benar atau tidak. Kenapa aku lebih memilih menghabiskan waktu ku, untuk membaca buku-buku itu, ketimbang membaca kajian dari kitab suci, apakah aku salah, dengan pemikiran ku saat ini, namun hal itu terus berjalan menulusuri lorong lorong otak dan membuat onar di benakku, di samping itu bahkan aku hampir tidak mengambil tindakan apapun, dengan perasaan terbebani, aku terus melahap semua isi dari buku-buku yang ada di hadapanku.
Apakah aku harus berdiri di bibir pantai seorang diri, sambil berteriak keras dengan ucapan Bangs**, atau dengan cacian cacian untukku sendiri, mungkin aku harus mencobanya, tapi aku tak sanggup hati melakukan aksi gila tersebut.
Mungkin aku harus kembali ke tempat asalku, dan ku rebahkan tubuh di pangkuan sang Bunda tercinta, aku akan mengeluh kepada, aku akan bercerita semua tentang permasalahan yang sedang ku hadapi.
Aku malu, karena sang bunda ku tercinta, tidak pernah mengeluh, tidak pernah kulihat air mata itu terjun ke pipinya, aku tak pernah mendengar ia menangis dalam mengahadapi permasalahannya, apalagi saat aku masih di rahimnya hingga sembilan bulan.
Sikireng bulen poma mengandong, demi boh jantong lahe u donya, ie mata Tan roe ouh wate takalen (sembilan bulan ibu mengandung ku, demi aku lahir melihat keindahan dunia, dan ia tak pernah mengeluarkan air mata suci itu).
Sekarang aku bimbang apa yang harus aku lakukan,
Semua itu adalah kebodohan ku saja, atau apa lah itu.
Mungkin sekarang aku memerlukan segelas kopi hitam, dan sebatang rokok, untuk berpikir sejenak tentang diriku sendiri, tentang apa yang harus aku lakukan. Karena aku sudah berjanji untuk membuat bunda ku tersenyum bahagia, saat aku pulang nanti dari kejauhan.
Dengan perlahan aku nikmati kopi itu, dan ku hembuskan asap asap dari rokok yang telah aku nyalakan. Ahhrg...
Beautiful picture
Thanks
Berontaklah syehhh
Siap bos ku
sang kupi kureng saka nyan
Teujalek kuh Nye sang
bravo abiet