Scientific Activities Not Popular in Aceh? (Bilingual)
Some of the committees that once held seminars, public discussions, and the like, said that they were always anxious about holding an event. The problem is, the event that was really very useful, even minimal participants. Many seats are empty. The people present were only filling the seats in the back row. In the front row left empty.
There are still other sad scenes. When it's time for discussion or question and answer, almost no one asks. The participants are quiet as if they have understood or the program is very unattractive. In fact, in other regions there is not enough time for discussion so that it continues after the event is over or when lunch is in progress.
On campus, the condition was tricked by requiring students to attend and attendance usually in the classroom, applied at the venue. Well, in the holiday period a solution like that can't be done. In many events, the committee was embarrassed because the number of participants present did not meet the target.
Of course that was not a general description, and could not be convicted that scientific activities were not popular in Aceh so there were minimal participants. That building intellectual culture such as discussions, book reviews, and seminars, indeed requires a long struggle, including on campus which is the center of intellectual development.
The public must also be aware that learning opportunities can be in the past, anytime, even for free. In other cities, in other countries, such activities sometimes have to pay, here sometimes even free are minimal participants.
*****
*INDONESIA*
Kegiatan Ilmiah tak Populer di Aceh?
Beberapa panitia yang pernah menggelar acara seminar, diskusi publik, dan sejenisnya, mengaku selalu was-was setiap mau menggelar acara. Masalahnya, acara yang sesungguhnya sangat berguna itu, malah minim peserta. Kursi banyak yang kosong. Orang yang hadir pun hanya mengisi kursi di barisan belakang. Di barisan depan dibiarkan kosong.
Masih ada pemandangan lain yang menyedihkan. Ketika tiba waktunya diskusi atau tanya jawab, hampir tidak ada yang bertanya. Peserta banyak diam seolah sudah mengerti atau acaranya sangat tidak menarik. Padahal, di daerah lain tidak cukup waktu untuk diskusi sehingga berlanjut setelah acara selesai atau ketika makan siang sedang berlangsung.
Di kampus, kondisi itu diakali dengan mewajibkan mahasiswa hadir dan absensi yang biasanya di ruang kelas, diberlakukan di tempat acara. Nah, di masa liburan solusi seperti itu tidak bisa dilakukan. Dalam banyak acara, panitia menjadi malu karena jumlah peserta yang hadir tidak sesuai target.
Tentu saja itu bukan gambaran umum, dan tidak bisa divonis bahwa kegiatan ilmiah tidak populer di Aceh sehingga minim peserta. Bahwa membangun budaya intelektual seperti diskusi, bedah buku, dan seminar, memang membutuhkan perjuangan panjang, termasuk di kampus yang menjadi pusat perkembangan intelektual.
Masyarakat juga harus sadar bahwa kesempatan belajar itu bisa di mana saja, kapan saja bahkan secara gratis. Di kota lain, di negara lain, kegiatan seperti itu terkadang harus membayar, di sini terkadang gratis pun minim peserta.
*****
Memang betul apa yang di tulis di atas, karena bangsa kita sedang mengalami kemunduran atau degrarasi moral, semoga segera berubah untuk bangkit kembali, mantap ulasan @aiqabrago
Welcome back Jenderal @aiqabrago
I waiting for your bos
Masyarakat kita perlu di gugah kesadarannya, banyak peserta seminar yang mengabaikan saat acara itu berlangsung, padahal di luar sana begitu banyak yang ingin seperti mereka. Ini kondisi yang sangat memprihatinkan.
Salam ksi bang @aiqabrago
Selamat datang kembali, bang. Semoga sudah sembuh dan sehat wal afiat.
Menarik memang jika dilihat bagaimana minat kita masyarakat Aceh dalam bidang keilmuan relatif rendah, kalau dulu setelah musibah Tsunami, BRR malah mengakalinya dengan memberikan uang saku bagi peserta seminar dan pelatihan, imbasnya ya kita ikut seminar kalau ada uang saku saja, bukan karena niat ingin menambah ilmu.
Asli, bang. Akan sangat terasa jika sudah tinggal di daerah yang sangat minim atau bahkan tidak pernah ada diskusi dan kegiatan seperti bedah buku dan seminar, kalau di kota besar, masih sering kita mendengar kajian ilmiah seperti di atas walaupun sepi peminat, tapi di daerah, nihil. Perlu waktu dan perjuangan yang panjang.
Idem.
Welcome back Jenderal @aiqabrago
kami di sekolah, ketika membuat seminar penelitian tindakan kelas harus mengundang peserta untuk datang, kami fasilitasi makan dan snack mereka.
padahal di daerah lain, guru harus bayar untuk ikut seminar.
miris sekali daerah kita mas aiqa
Assalamualaikum pak @aiqabrago. Saya senang senior telah ada waktu lagi untuk sharing di platform ini. Ke masalah yang pak @aiqabrago sharing diatas, saya pikir orang kita, baik di lhokseumawe atau dimana saja di aceh, seminar yang di adakan dengan undangan gratis, diberi uang transport, diberi sertifikat, dan tentu saja snack, tetap saja bnyak yang enggan ikut. Mungkin banyak orang kita yang belum memahami betapa pentingnya pendidikan. Neu saweu saweu kamo pak. 😊
@mukhtarilyas, fenomena ruang seminar seperti bang @aiqabrago uraikan di atas melanda ruang kuliah dan forum akademisi. Paling sering terjadi rapat mie (kucing), ngomong di luar rapat. Itulah mental bangsa kita yang krisis Literasi. Selamat malam. Salam
Saya setuju dengan apa yang abang katakan. semoga untuk kedepannya masyarakat Aceh bisa lebih mengerti bagaimana manfaat tentang ilmiah. sehingga masyarakat mau untuk belajar bersama.
Posted using Partiko Android