Meugang
Masyarakat Aceh mempunyai tradisi khusus menyambut bulan suci Ramandan maupun hari Lebaran. Dua hari sebulum puasa dan lebaran, warga tanah rencong membeli daging lembu atau kerbau untuk dimasak, lalu disantap bersama keluarga. Tradisi ini sudah berlangsung 400 tahun yang lalu. Harga daging yang dijual pada hari meugang atau madmeugang meningkat dratis. Jika pada hari biasa Rp. 110.000 sampai Rp. 120.000 maka pad ahari meugang menjadi Rp. 140.000 sampai Rp. 150.000. meski tergolong mahal, tetapi tidak jadi masalah bagi masyarakat Tanah Rencong. Pasalanya, jauh hari sebelum meugang warga sudah mempersiapkan diri untuk membeli daging sesuai kemampuan.
Tradisi meugang ini sudah dilakukan sejak masa sultan iskandar muda memimpin Aceh. Kala itu, sebulan sebelum meugang kepala desa sudah menerima surat untuk mendata warga miskin di desanya. Setelah sultan melihat semua data yang dikumpulkan, menjelang meugang baru dikirim uang kepada warga untuk membeli hewan ternak. Dalam literatur buku “Singa Aceh”, imbuh Tarmizi, disebutkan bahwa Sultan sangat mencintai rakyatnya baik kafir miskin atau un kaum dhuafa. Orang yang tidak mampu kala itu menjadi tangung jawab Sultan.
Dia kemudian mengeluarkan satu qanun yang mengatur tentang pelaksanaan meugang. Setelah disahkan, qanun itu diberi nama “Qanun Meukuta Alam”. Pada Bab II pasal 47 tersebut disebutkan : Sultan Aceh secara tutun temurun memerintahkan Qadi Mua’zzam Khzanah Balai Silatur Rahmi yaitu mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong dihari Mad Meugang. Maka dibaigi-bagikan kepada fakir miskin, dhuafa, orang lasa, buta. Pada tiap-tiap satu orang yaitu; daging, uang lima mas dan dapat kain enam hasta. Maka pada sekalian yang tersebut diserahkan kepada keuchieknya masing-masing gampong daerahnya. Sebab sekalian semua mereka tersebut itu hidup melarat lagi tiada mampu membelikannya, maka itulah sebab Sultan Aceh memberi pertolongan kepada rakyatnya yang selalu dicintai.
Lambat laun, meugang menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh yang mayoritas Islam. Meski modelnya berbeda dengan masa kesultanan, makna terkandung dibaliknya sama. Perayaan ini juga bagian dari kegembiraan menyambut Ramadan. Bulan suci bagi warga Aceh punya arti tersendiri. Tak heran, jauh hari sebelumnya, warga sudah menyiapkan persiapan dari perlengkapan ibadah sampai kebersihan.
Dalam tradisi masyarakat Aceh, menyambut Ramadan harus dalam pesta besar dan berkumpul semua anggota keluarga sehingga diadakan hari meugang. Tujuan meugang ini untuk menyambut Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha.Bagi masyarakat di Aceh, hari meugang tanpa membeli daging rasanya tidak lengkap , bahkan bagai aib. Kaya miskin seakan wajib memilikinya. Pada hari meugang semua anggota keluarga berkumpul bersama. Jadi intinya adalah pertama untuk membangun silahturrahmi dengan anggota keluraga dan hari itu semua harus makan daging baik kaya maupun miskin.
Momen ramadan sangat sakral bagi masyarakat Tanah Rencong. Sejak zaman dulu hingga kini, tidak ada yang mempermasalahkannya. Bahkan, warga sangat gembira dan antusias dengan tradisi ini.