VIRTUAL CURRENCY: DALAM PERSPEKTIF SISI SOSIAL BUDAYA
A. Pendahuluan
Istilah virtual currency, adalah sebuah istilah yang masih sangat premature dalam system transaksi keuangan di lihat dari sisi social budaya masyarakat Indonesia yang masih mempercayai transaksi keuangan adalah dengan menggunakan mata uang rupiah. Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.
Sesuai tugas dan fungsinya sebagai Bank Indonesia sebagai otoritas di bidang moneter, stabilitas system keuangan dan system pembayaran perlu melakukan intervensi guna menjaga stabilitas system keuangan, perlindungan dan mencegah praktik-praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme. Dan untuk menjaga kestabilan system keuangan, Bank Indonesia sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Di mana, lewat dua peraturan ini secara tegas Bank Indonesias sebagai otoritas Sistem Pembayaran, melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara Teknologi Finansial di Indonesia baik Bank dan Lembaga Selain Bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency.
Istilah Virtual Corrency berhubungan dengan konsep Digital Currency, di mana Digital Corrency dapat dikelomopokan dalam dua jenis yakni Virtual Currency itu sendiri dan juaga Electronic miney atau uang elektronik. Yang membedakan dari kedua hal ini terletak pada sisi penerbitnya. Uang elektronik diregulasi oleh pemerintah dan menggunakan mata uang negara. Virtual Currency sendiri dibagi menjadi dua jenis: bisa dipertukarkan dan tidak bisa dipertukarkan (convertible and non-convertible). Contoh Virtual Currency yang non-convertible adalah mata uang dalam permainan (game-coin) dimana kita bisa membeli kredit untuk keperluan upgrade persenjataan misalnya, namun sisa kredit tidak bisa diuangkan kembali. Virtual Currency yang dapat dipertukarkan juga dapat dipisahkan menjadi dua jenis: terpusat (centralized) atau terdesentralisasi (decentralized) . Contoh Virtual Currency terpusat yang dapat dipertukarkan adalah WebMoney, suatu bentuk mata uang digital dimana servernya terpusat dikelola oleh satu perusahaan.
B. Pembahasan
Penggunaan uang bukan sekedar jenis data, ini adalah konstruksi social dari kekuatan psikologis dan budaya yang kompleks (Hart:200; Maurer:2006 dan Simmel:2004). Penggunaanya memerlukan koneksi ke konteks yang lebih luas, tidak hanya untuk “pasar”, tetapi juga untuk struktur makna pribadi dan public yang diperebutka, seperti kelas social dan ekonomi politik.
Yang dan Scott (2008) mengungkap bagaimana persepsi, perolehan, dan penggunaan Virtual Currency dapat secara kritis membentuk perilaku dan pengalaman gamer online. Kami menemukan bahwa pemain dapat meninggalkan, merangkul, atau memperluas dunia virtual berdasarkan pada cara-cara sumber permainan (seperti uang game dan peralatan) dapat atau tidak dapat dibeli dan dijual. Efek uang bukanlah sui generis tetapi dipengaruhi beberapa aspek kunci dari pengalaman pengguna, terutama yang terkait dengan realita, kepercayaan, dan keadilan. Desain Virtual Currency dan kemampuannya menghadirkan tantangan dan peluang baru dengan potensi yang luas. Mata uang online adalah satuan transaksi resmi atau de facto yang digunakan dalam transaksi online. Ini termasuk RMB atau USD ketika digunakan dalam transaksi online (biasanya melalui kartu kredit), terlepas dari apakah barang atau jasa yang dibeli adalah "nyata" atau virtual.
Selanjutnya Yang dan Scott (2008) menyatakan bahwa mata uang virtual, seperti mata uang non standar lainnya, cenderung asing dan bermasalah, menimbulkan banyak masalah. Sementara beberapa di antaranya adalah mata uang spesifik (misalnya, menentukan harga dan nilai tukar), seringkali mata uang virtual adalah masalah yang endemic di dunia maya yang diperkenalkan oleh pengguna uang lebih lanjut. Lebih lanjut Yang dan Scott mempertimbangkan tiga masalah dalam hubungannya dengan dampak dari virtual currency atau uang virtual yang adalah sebagai berikut:
Realisme
Mata uang virtual tidak jujur, hampir penipuan: uang nyata yang menyamar sebagai mainan yang tidak mudah, terlalu mudah untuk dihabiskan. Di masa depan akan semakin berurusan dengan masalah virtual dan nyata, dan bukan hanya dalam konteks dunia maya. Upaya menangguhkan ketidakpercayaan atas nama permainan atau kesenangan dapat menjadi bomerang, jika terlihat tamak dan tidak jujur “tidak benar-benar palsu”.
Kepercayaan
Transaksi Tunai Tatap Muka (Face-to-face cash transactions (FCTs)) ironisnya, banyak transaksi di sekitar objek virtual di antara individu yang sangatat paham online di China memerlukan perjalanan fisik untuk transaksi tunai tatap muka. Dunia online bukanlah yang terprcaya. Di China, Alipay, layanan pembayaran dan escrow pihak ketiga terpercaya telah diadopsi secara luas untuk mengatasi masalah kepercayaan dalam transaksi online. Seseorang harus memiliki rekening bank online atau kartu kredit untuk membuka akun Alipay. Karena sejumlah besar gammer online masih di bawah umur dn tidak memiliki kartu kredit atau rekening bank, mereka tidak dapat mengandalkan layanan seperti Alipay untuk menjual atau membeli sumber daya permainan. Alasan penting lainnya untuk prevalensi Transaksi tunai tatap muka terkait permainan adalah sifat virtual sumber daya game online, “sangat sulit untuk menunjukkan bukti transfer, misalnya, bagaimana membuktikan kepada seseorang bahwa telah mengirim atau tidak menerima beberapa hal virtual ini.” Transaksi tunai tatap muka kemudian menjadi cara praktis dalam melakukan transaksi objek virtual.
Keadilan
Peran uang dalam permainan menjadi lebih jelas dalam pengertian "pemain RMB". “Pemain RMB” mengacu pada orang yang maju dalam permainan dengan membelanjakan uang asli daripada bermain jujur. Ini sangat menantang keadilan, aspek kritis dari desain game yang sukses.
Dari ketiga aspek yang dikemukakan di atas, merupakan aspek yang sangat penting dalam implementasi virtual currency. Bila ditinjau dari aspek social dan budaya bangssa Indonesia, hal ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia, di mana jangkauan geografis yang sangat luas dan karakteristik social budaya yang tingkat perbedaaannya cukuip tinggi. Selanjutnya tingkat pengetahuan masyarakat menyangkut virtual currency juga masih sangat rendah.
Selain itu yang sering terjadi adalah masalah di dunia maya sering terjadi praktik-prakltik penipuan transaksi keuangan. Hal ini juga kesiapan dari masyarakat Indonesia yang belum siap untuk menerapkan system virtual currency ini, oleh sebab itu Bank Indonesia selaku salah satu pemegang otoritas moneter, stabilitas system keuangan dan system pembayaran perlu melakukan intervensi. Hal ini di tandai dengan pelarangan yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang melarang pemberlakuan system pembayara dengan mengguankan system virtual currency. Dengan demikian pemerintah dalam hal ini dapat melindungi masyarakat dan juga kestabilan keuangan sehingga praktik-praktik yang dapat merugikan masyarakat maupun praktik pencucian uang dapat di minimalisir.
C. Simpulan
Sebagai salah satu alat pembayaran yang baru yakni atau virtual currency, akan sangat mempengaruhi periaku social dan budaya masyarakat dalam hal melakukan transaksi keuangan. Virtual Currency dapat merusak atau memperbaiki transaksi masyarakat. Dalam penerapan virtual currency ini perlu diperhatikan isu-isu kunci di dunia maya seperti realita, kepercayaan, dan keadilan sehingga virtual currency di terapkan dapat membawa maslahat bagi masyarakat.
Referensi
Hart, K. The Memory Bank: Money in an Unequal World. Profile Books, 2000.
Maurer, B. The Anthropology of Money. Annual Review of Anthropology 35 (2006), 15-36.
Simmel, G. The Philosophy of Money. Routledge,2004.
UNdang undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial
Yang Wang dan Scott D. Mainwaring, “Human-Currency Interaction”: Learning from Virtual Currency Use in China, CHI 2008 Proceedings · Socio-Cultural Impact