Secangkir kopi kenangan
Sedikit rumit memang untuk memulai cerita ini, sudah sejak lama aku ingin menulis tentang diri sendiri. Sedikit demi sedikit. Sepotong demi sepotong kisah klasik coba kuingat lagi. Berharap ada bahagia yang terlupa disana, masa silam yang sempat kita habiskan berdua. Tapi ternyata tidak, sedari kecil aku memang sudah menjalani banyak hal rumit dan sulit.
Mulai dari terlahir sebagai suku yang berbeda dengan lainnya, terlahir dengan keberuntungan yang jauh berbeda dengan anak-anak lainnya, dan terlahir dengan kenyataan bahwa di balik semua kekurangan yang aku punya ada bahagia yang tersisa meski kini belum kujumpa.
Perlahan namun pasti aku beranjak dewasa, meski belum paham makna akan sakit, susah, sulit, tangis dan tawa yang kulalui, namun kini aku mencoba merenungi kembali. Aku meraba lagi sedih di masa lalu, masa dimana aku ingin berkata tidak tapi kenyataan memaksaku untuk berkata "ya" ketika ayah dan ibu berkata "kita harus keluar dari Aceh segera!"
Dari sana aku mulai sadar bahwa aku berbeda. Aku Jawa!
Perjalanan pelarian kami sebagai pengungsian tidak sebentar. Berkatnya aku harus menghabiskan 6 tahun SD ku di lima sekolahan dengan tempat yang berbeda-beda. Pertama, MIN Peukan Cunda selama satu tahun. Kedua, SD N 7 Pejaten selama 3 bulan. Ketiga, MIN Tulungagung selama 3 bulan. Keempat, SD N Pandanagung selama 3 Bulan pula, dan terakhir aku berhasil bertahan lama di SD N Pejaten Timur 22 Pagi, Jakarta Selatan.
Aku menyelesaikan banyak cerita semasa sekolah dasar. Ada yang bertanya "ikut pindah karna tugas orangtua, ya?". "Tidak" Jawabku "Kami pengungsian", lanjutku. Mungkin jika aku berkata seperti itu pada orang dewasa, mereka akan paham asal kami dari mana. Namun kali ini rasaku percuma kujelaskan semua, toh kami hanya anak ingusan yang harus habiskan siang dengan berlarian.
Keadaan dan keuangan kami kacau balau. Untung ada abang-abang ku yang sudah lebih dulu merantau. Banyak kuterima bantuan sana sini, aku tak paham dari mana saja, yang aku tahu hampir semua orang yang kami kenal ikut andil membantu kami mengurangi penderitaan itu. Tapi tidak dengan ayah dan keluarganya, mereka memilih tutup mata. Bukan apa, mungkin bagi mereka kami akan mampu melewatinya. Dan benar, kini ayah sudah kembali kepada kami setelah sekian lama pergi mencari kebahagiaan sendiri. Satu hal yang aku tau, sendiri itu tidak bahagia. Ayah sudah membuktikannya, dan aku juga.
Setelah semua pedih sebagai pengungsian kami bagi dan kami ceritakan sana sini, tibalah waktunya kami kembali ke tanah Aceh. Saat itu keadaan belum stabil betul. Namun Ibu dan abangku yang paling kecil ngotot pulang dengan alasan "kita masih punya rumah, tanah dan harta benda lainnya di Aceh. Sekarang pun keadaan sudah tidak separah dulu, lagipun ekonomi di Jakarta semakin sulit. Disini emaak gak bisa bantu abang, kalau di Aceh emaak bisa berladang sama adik-adik kamu. Jadi lebih baik emaak dan adik-adik kembali saja duluan, untuk mengurangi beban kalian". Begitulah lebih kurang alasan yang emaak utarakan ketika memaksa abang untuk mengijinkan kami pulang ke kampung halaman (Aceh).
Perjalan ke Aceh sungguh panjang, 3 hari 4 malam kami habiskan di jalan. Saat pulang tidak sedikit do'a dan airmata yang kami terima dari saudara-saudara dan teman-teman disana. Akupun demikian, aku kesal dengan keadaan demikian 'kenapa kita harus menangisi perpisahan dan berjanji untuk pertemuan berikutnya jika sebenarnya kita tau tak akan terulang?' pikirku sederhana ketika kuucapkan "nanti kita saling kirim kabar dan ketemu lagi yaa Yun, Fit dan teman-teman lainnya". Aku pikir Aceh-Jakarta tidak membutuhkan banyak biaya untuk membunuh jarak antara keduanya. Tapi aku salah, sampai saat inipun aku tak pernah saling kirim kabar dengan temanku yang disana, apalagi berjumpa. Ini yang aku benci dari perpisahan, hilang kabar!
Tibalah kami di Aceh, perjalanan panjang dan benar-benar melelahkan. Saat sudah memasuki daerah Aceh, di daerah Langsa Bus yang kami tumpangi berhenti untuk istirahat dan makan. Disana aku lihat seseorang berseragam berdiri tegap lengkap dengan senjata, aku mulai berpikir 'aku sudah kembali ke tanah yang tak lagi kukenali'. Kami yang masih kecil dilarang banyak berbicara dan tertawa, padahal kami tau apa? Yang kami bisa hanya berbicara dan tertawa, dan itu pun sudah dilarang dengan alasan 'demi keamanan! Kita belum tau gimana situasi sebenarnya'. Akupun menuruti perintah orang tua, aku makan dengan tenang sambil sesekali melirik pria yang bersenjata tersebut.
Perjalanan kami berlanjut, saat itu pakaian kami sudah menutup aurat, seperti ketentuan syari'at yang diagung-agungkan di Aceh. Begitu kami turun bus, yang kami lihat hanya beberapa saudara yang datang menjemput. Disana tangis kembali pecah, aku perhatikan satu per satu dari mereka saling peluk dan bertukar kabar sambil berurai airmata. Aku sama sekali tidak paham apa yang terjadi, yang aku tau mereka menangis dalam keheningan. 'Aceh sudah bukan lagi bumi damai seperti yang dulu kami tinggalkan'.
Hari-hari pertama begitu menyiksa, hampir setiap saat aku lihat mobil-mobil tentara berlalu lalang (kebetulan kami tinggal sementara di dekat kompi tentara) sesekali kudengar kalimat "ada suara tembakan disana", "ada jatuh korban disana" dan kalimat-kalimat duka cita lainnya. Aku mencoba mencerna apa yang terjadi, namun tetap tak bisa dan aku melanjutkan aktifitasku seperti biasa. Aku melanjutkan sekolah menengah pertamaku sedikit terlambat dikarenakan aku murid pindahan, dan butuh dukungan orang dalam saat itu. Kebetulan masih ada Pakde ku yang mengurus segalanya, hingga mulailah kami bersekolah. Tempat yang tak kukenali karna telah lama kutinggal pergi kini mulai ramah terhadapku. Namun hal itu hanya berlangsung selama beberapa bulan.
Pagi itu, minggu 26 Desember 2004. Bencana besar terjadi, aku sekali lagi terguncang jiwanya. Belum juga reda semua yang kurasa, kini kehilangan kembali menerpa. Saat itu emaak sedang tidak di rumah, aku, kakak-kakakku, saudara dan orang-orang di sekitar kami panik. Aku teringat emaak, dan tak lama kudengar air laut naik. Kami panik! Semua sibuk mencari tau kebenaran dan keberadaan satu sama lain, aku sibuk menanyakan keberadaan emaak, kakakku sibuk mencari tau keberadaan suaminya yg sedang mencari nafkah, dll. Tak lama sambungan telpon rusak total, abangku yang di Jakarta sibuk mencari tau keadaan kami pasca tsunami. Sedang kami disini sibuk mengabsen keberadaan satu sama lain, syukur kami semua selamat, aku, emaak, abang, kakak dan abang ipar.
Berhari-hari kami tak dapat berkirim kabar, yang aku tau semua stasiun televisi menayangkan berita tsunami. Aku tidak tau persis dimana-mana saja kejadiannya, yang aku tau banyak korban hilang bahkan meninggal dunia disebabkan olehnya. Beberapa hari kemudian sambungan telpon pulih, emaak sibuk mengabari abang dan saudara yg jauh disana bahwa kami disini baik-baik saja.
Setelah semua itu berlalu, hidup kami kembali normal. Emaak perlahan-lahan mulai memberanikan diri untuk melihat rumah dan tananh yang kami tinggalkan dulu. Keadaannya sungguh buruk. Rumahku sudah tidak layak huni, dindingnya yang masih papan sebagian, dan sebagian lainnya masih bambu terlihat tua dan usang bahkan sudah condong ke kanan seperti menara pisa yang terkenal itu. Sedikit demi sedikit kami perbaiki, abang yang di Jakarta sesekali mengirimi kami uang, emaak dan abang disini mulai berladang dan kami adik-adiknya mulai bersekolah kembali.
Perlahan ekonomi kami membaik, rumah sedikit demi sedikit kami perbaiki. Dan emaak, abang dan kakakku yang SMA memilih tinggal di rumah sendiri, sedang aku dan kakakku yang masih SMA kelas 1 dititipkan masing masing di rumah kakakku. Aku di Cunda dan kakakku yang satunya di Pardede. Dengan alasan biar kami bisa tetap sekolah, karna jika kami ikut tinggal dengan emaak di kampung maka kami akan terancam putus sekolah karna tidak ada ongkos. Kami pun terima dengan lapang dada, emaak sering menjenguk kami. Setelah aku bisa naik angkot sendiri, sesekali aku pulang menjenguk emaak untuk sekedar lepas kangen. Begitulah hari-hari kami habiskan, tapi kami tidak menceritakan kepada orang lain, kami tidak ingin membebankan. Kami sama sekali tidak malu, aku sendiri baru kali ini buka suara mengenai hidupku. Beberapa dari temanku ketika aku bilang aku SD di Jakarta maka mereka berfikir bahwa aku 'orang punya', demi menyelamatkan harga diri aku hanya bisa diam, tidak berusaha menjelaskan semua bebanku pada mereka. Toh, mereka juga tidak akan paham. Yang mereka tau mungkin hanya merasa iba, kasihan dan lain sebagainya, sedang aku tidak suka dipandang menyedihkan.
Kini, aku sudah jauh dari masa itu. Aku, kakakku, dan kakaknya kakakku sudah menyelesaikan pendidikan kami, berat bantuan dari abang-abang kami. Aku sendiri anak bungsu dari sembilan bersaudara. Iya, SEMBILAN bersaudara. Aku dan kakak kedelapan yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga sarjana (Terimakasih, emaak dan abang), yang lainnya hanya tamat SMA, bahkan ada yang hanya tamat SMP yaitu kakak ketiga, abang keempat dan abang kelima. Kakak ketigaku menikah di usia belia, dengan alasan 'sudah ada yg minta, daripada terjadi yang tidak-tidak' sebut emaakku. Abang keempatku, bandeeelnya luar biasa. Ia berhenti sekolah di kelas 2 SMA. Dan abang kelimaku, dia berjiwa pengusaha, dia memilih berdagang dari pada melanjutkan SMA. Tapi sampai sekarang tidak sukses juga #ups.
Sekarang, hanya tinggal aku yang belum berkeluarga. Selebihnya semua sudah berkeluarga dan memiliki anak. Abang pertama 2 orang anak, kakak kedua 2 orang anak, kakak ketiga 3 orang anak, aang keempat 3 orang anak, abang kelima 3 orang anak, kakak keenam 2 orang anak, kakak ketujuh dan delapan masing-masing satu orang anak. Dan masing-masing tersebar luas di seluruh Ibdonesia. Hanya kakak ketiga dan kedelapan serta aku yang masih ada di Lhokseumawe, selebihnya tersebar di Jakarta, Padang, Jawa Tengah, Pematang Siantar dan Binjai. Dan kedua orang tuaku alhamdulillah masih bersama kami, mohon do'anya agar mereka sehat selalu dan bisa melihat cucu dariku.
Aamiin
Catatan :
Urutan keluarga :
Bono - Ayah
Saikem - Ibu
Hadi Suseno - Abang pertama
Sumini - Kakak kedua
Erna Rahayu Ningsih - Kakak Ketiga
Budi Iswanto - Abang keempat
Iwan Arifrianto - Abang kelima
Fitri Wijayanti - Kakak Keenam
Nova Dewi Murtika - Kakak Ketujuh
Rika Deni Astuti - Kakak Kedelapan
Linggasari Andriyani - Si Bungsu.
Ada banyak kepedihan di kehidupan sekarang, insya Allah akan aku lanjutkan dilain kesempatan.
Hai @eungga.. Selamat gabung di Steemit! Suka bertemu anda di sini.. kami upvote yah.. 8)