Penguatan Karakter Melalui Seni untuk Memberantas Korupsi
Ilustrasi
Bagaimana indonesia bisa terbebas dari kasus korupsi? Jika pertanyaan besar itu di lemparkan kepada diri saya yang kecil ini, kemungkinan saya tidak tahu menjawabnya. Korupsi bukanlah suatu yang instan untuk musnahkan.
Bagaimana pun, jika kita melihat data yang ada saat ini, Indonesia masih berada dalam kondisi yang menakutkan. Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2020, memaparkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di skor 37 dengan peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan. Berkembangnya praktik korupsi di Indonesia telah berjalan sedari–dulu. Saat ini, kerja keras pemerintah dan kerja penegak hukum layaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan sangat diharapkan untuk pemberantasan korupsi di Negeri kita. Namun, kerja keras dari mereka pun tidak juga menjamin terberantasnya korupsi di Indonesia. Tidak tahu kenapa, semakin keras korupsi di berantas, ada saja orang yang terjerat kasus korupsi
Berbicara melawan korupsi, saya jadi teringat kutipan yang pernah dituliskan oleh Friedrich Nietzsche; “Whoever fights monsters should see to it that in the process he does not become a monster. And if you gaze long enough into an abyss, the abyss will gaze back into you.”
Bagi saya, kasus korupsi layaknya monster yang akan mengubah orang-orang terlahir menjadi bibit monster baru. Celaka-nya korupsi bahkan bisa dilakukan oleh orang-orang yang sebelumnya melantangkan suara untuk melawan korupsi tapi pada kondisi tertentu masih saja melakukannya – sangat bahaya jika kesadaran menolak korupsi itu tidak tumbuh dari kedalaman hati. Fenomena semacam ini telah berhasil menciptakan kredo bahwa korupsi telah menjadi budaya di Negeri kita.
Sejatinya, korupsi tidak pantas disebut budaya. Tetapi ironisnya korupsi telah menjadi sesuatu yang mengancam kebudayaan, ekonomi, atau bahkan politik. Di Indonesia, dampak nyata korupsi bisa di lihat dari persoalan kemiskinan dan lambannya pembangunan. Yang lebih kronis lagi adalah kasus korupsi banyak sekali terjadi dalam lingkungan pendidikan dan bahkan di praktekkan langsung oleh orang-orang terdidik.
Berdasarkan materi dalam buku Psikologi Korupsi yang ditulis oleh salah seorang dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran bernama Zainal Abidin, disana tercatat sejumlah orang yang memiliki pendidikan tinggi, antara lain 199 bergelar sarjana, 147 bergelar master, 332 bergelar doktor, dan 10 orang profesor tersandung dalam polemik korupsi. Dari materi tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara kemampuan mereka merupakan orang-orang berpendidikan yang kapasitas intelektualnya sudah tak diragukan lagi. Dari materi tersebut, teori well-educated rupanya tak terjamin hilang atau musnahnya beberapa perilaku bejat layaknya praktek korupsi. Apakah mungkin, benih-benih korupsi sudah tumbuh sejak kita di sekolah?
Jika suatu saat saya berkesempatan menjadi seorang pemimpin, apa yang akan saya lakukan untuk isu ini? Sudah jelas, Saya akan memberantas korupsi lewat kekuatan Seni. Fakta diatas sudah menjelaskan bahwa orang-orang yang tersandung korupsi merupakan orang-orang yang sudah teruji secara kapasitas intelektual, namun secara watak dan perilaku belum tentu teruji.
Emanuele Castano, seorang psikolog sosial, bersama rekannya David Kidd melakukan penelitian dengan membagi sejumlah partisipan dan memberi mereka tugas bacaan yang berbeda: bacaan populer,seni , sastra, non-fiksi dan tidak ada bacaan sama sekali. Setelah mereka menyelesaikan bacaan itu, para partisipan melakukan tes untuk mengukur kemampuan mereka dalam memahami pemikiran dan perasaan orang lain. Tim peneliti menemukan, hasil yang mengejutkan, terdapat perbedaan signifikan antara pembaca seni dan yang bukan seni.
Seni dan Sastra yang baik dianggap mampu memberikan gambaran yang berfokus pada karakter secara psikologis. “Seringkali pikiran para tokoh digambarkan samar-samar, tanpa banyak penjelasan dan pembaca diajak untuk mengisi sejumlah kekosongan dan memahami serta hal-hal yang ada pada tokoh tersebut,” jelas Kidd.
Kondisi inilah yang memberikan ruang pembaca untuk membawa kesadaran psikologis tokoh ke dalam dunia nyata, melawan kehidupan yang rumit dan batin yang sulit dipahami. Secara tidak langsung, hal tersebut mendukung seseorang untuk memahami perasan orang lain.
Dari hasil penelitian Castano dan Kidd, mereka menyarankan kita untuk belajar dari seni dan sastra guna mengembangkan proses sosialisasi dan meningkatkan empati. Bahkan mereka pun memberi saran untuk menciptakan program di penjara dan membantu narapidana untuk meningkatkan fungsi sosial dan empati yang dimiliki.
Saya sempat berdiskusi dengan teman-teman saya di komunitas, tentang bacaan yang bagaimana untuk dibaca dan mampu meningkatkan kesadaran dan empati pembaca. Berdasarkan diskusi tersebut kami berkomitmen agar lebih memperbanyak bacaan yang ditulis oleh penulis indonesia supaya mendapatkan kesadaran yang lebih besar dan nyata. Walaupun sangat minim penulis indonesia yang mampu memproduksi karya seni dan sastra dengan daya edukasi yang kuat.
Menurut saya salah satu bacaan yang mampu menumbuhkan kesadaran dan empati generasi muda terhadap realitas adalah novel Bumi Manusia karya nya Pramoedya Ananta Toer.
Novel ini sangat saya rekomendasikan untuk jadi bacaan wajib di kalangan anak muda. Tentu saja pengaruh dari karakter Minke dapat membuat kita menghela nafas lagi dalam upaya memikirkan kondisi Indonesia saat ini. Maka, dengan dasar tumbuhnya kesadaran dan empati yang kita dapat dari produk-produk seni dan sastra tersebut membuat kita lebih bijak lagi dalam bertindak. Sehingga korupsi dapat diberantas dari kesadaran dan empati yang kita punya.
Lawan!
Regards,
VANDOLS
Alumni Sekolah Anti Korupsi Aceh