Kereta Pabrik Puisi Modern
📍Bilik KKB
Persoalan manusia modern adalah persoalan rumah, yang lama sudah lama ditinggal sementara yang baru belum rampung terbangun. Akhirnya manusia modern terlunta-lunta membayangkan rumah yang tak pernah selesai:
"Aku hanya perlu tempat kembali, sesuatu yang membuatku betah menjaga sunyi."
Permintaan ini tak sederhana, terutama bagi manusia modern. Kemodernan tak berteman dengan kesunyian, jadi permintaan ini pastilah sangat mewah. Benak yang kadung terjebak kemodernan memang tetap mengangankan sepi, namun dari sumber yang bukan dari masa lalu. Sumber itu adalah pengalaman diri di tengah kematian dan ketidakpastian nasib yang ditinggal kereta. Selain rumah, soal lain manusia modern adalah waktu. Waktu modern telah dideklarasikan sebagai waktu yang mengarah tajam dan menderu ke masa depan yang pasti, seperti kereta yang terus melaju. Manusia tak bisa hanya berdiri di sisi rel, manusia harus berada dalam kereta itu -- seperti tawaran lagu kanak-kanak dulu, kemodernan menawari perjalanan: "tuut..tuut..tuut… siapa hendak ikut. Bila tak ikut, ia hanya berjajar dilintasi angin perjalanan."
Kematian juga soal waktu, kereta yang terus melintas tak kenal berhenti untuk menyapa yang berjajar di pinggiran. Mereka yang berjajar di pinggiran rel akan merumuskan kembali hidupnya, mencari sunyi yang membuatnya tak perlu tergesa dikejar tenggat pemberangkatan.
Rumusan itu bisa berupa konsepsi nasib, atau soal tuhan;
"Kita berhadap-hadapan, lalu berbalik ke arah langit. Apakah di sana ada tuhan?"
Sementara soal nasib puisinya menceritakan ketakberdayaan:
"Mungkin nasib semacam angin malam, yang menendang kardus kardus, menerbangkan koran koran,mengapungkan harapan."
Source
Waktu modern seharusnya dapat dirumuskan kedalam puisi, sementara bagi mereka yang tak ikut kereta cepat waktu modern tetap susah dipahami, Serupa Kredo akhir tahun:
"Sebagaimana kalender, hanya angka-angka,
yang tak mesti dikalimatkan, atau sebab desember tetap saja desember."
Manusia terjebak dalam putaran waktu modern yang tak bisa diikutinya, terutama ketika menganggap kesunyian sebagai kado dari luar diri:
"Tak habis habis kita memuja, maha samudera, padahal dada kita lebih lautan, membentang layar, menantang gelombang, sementara kita terus mencatat, badai demi badai yang menabrak, dinding perahu hingga kandas, hingga terhempas."
Menjadi pabrik puisi; pengalaman ada-dalam sunyi itu sebagai pengalaman berada dalam puisi dan pada pengalaman manusiawi:
"Aku mencium harum bunga, pada detik ketika maut, begitu dekat. Doa hanya serupa omong kosong mirip pembicaraan, seseorang dengan kenangan."
Ketika doa hanya mirip pembicaraan dengan kenangan, kematian terasa begitu sendirian. Rumah yang dikangeni manusia modern, yang memberi sunyi, adalah kematian.
Puisi, menurut Ignas Kleden, merupakan wacana yang memanfaatkan semaksimal mungkin sifat bahasa tulis yang dibebaskan dari peristiwa dan sifat bahasa yang simbolik, yang membuka diri bagi ambiguitas dan/atau ambivalensi. Kemampuan tiap ekspresi simbolik adalah menyingkap dan sekaligus menyembunyikan, revelation and concealment. Pabrik puisi menyajikan imaji, suasana, intuisi, dan pengalaman yang memberikan penyingkapan sekaligus pengelakan ihwal hidup di ruang modern.
"status pak penyair tua"
JAMAN CEPAT BERLARI, PAK TUA. SADARLAH!
aku penasaran, penggalan tulisan kutipan yang miring2 itu puisi milik siapa? selintas macam pernah kubaca ...tapi tak ingat, sebab kadang2 kita menemukan kata berserak dimana2 dgn makna sama cuma beda susunan kata saja. bila itu milikmu, keren benar👍
Itu memang contoh penggalan puisi persoalan-persoalan umum yang bisa di tulis khalayak. Aku cuma mau mematahkan; bahwa menjadi pabrik puisi tidaklah salah untuk berproses. Jadi, taulah tujuannya. 😅
Puisi ini memang sudah ada di catatanku sejak tahun 2012.
siiippsslah bila begitu