Akhir Cerita si Penulis
Source
KEMARIN MALAM, seusai merapikan buku-buku di raknya, penulis merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Di raihnya smartphone yang sedang di isikan daya. Penulis mulai membuka kunci layarnya dengan Pola Z, kemudian membuka aplikasi catatan dan lekas mengetik sesuatu yang dari tadi berkelebat di kepalanya ke dalam catatan sebelum bersiap tidur. Itu sudah menjadi rutinitasnya setiap malam jika tidak sedang lembur menyelesaikan naskahnya dengan ide yang mengalir bak Air Terjun Kuta Malaka. Deras dan indah.
Pada malam itu, ketika penulis memejamkan mata sambil mengangkat tangannya yang sedang memegang smartphone tinggi-tinggi dan mengayun-ayunkannya, berpikir apa yang harus dia tulis guna melanjutkan cerita ini—yang tertunda empat hari lamanya karena buntu di tengah jalan—akhirnya dia memutuskan untuk membunuh tokoh utama. Namun, sebelum itu dia juga sempat membuat beberapa poin kasar sebagai titik-titik penyambung alur cerita.
Sementara penulis asyik membuat kerangka cerita ini, salah satu tokoh dalam bukunya yang berbaris di rak buku membelalakkan mata mendengar sesuatu yang diucap-rencanakan oleh si penulis. "Ini musibah!" batinnya.
Source
Penulis berencana untuk membuat cerita yang berkisah kalau Adil—seseorang yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, yang pengikutnya rata-rata dari kalangan mayoritas—akan berakhir dengan menemui kematian. Adil dianggap ancaman yang tidak main-main bagi para petinggi sehingga perlu dilenyapkan, setelah sebelumnya ditahan pihak berwajib dengan dakwaan menyebarkan ajaran sesat. Dalam masa penahanannya itu, Adil diminta untuk berpihak dan meminta pengikutnya agar berada di pihak seseorang tertentu—seseorang yang memerintahkan penahanannya. Namun sayangnya, Adil tidak mau. Dia lebih memilih mati dengan terhormat dibanding berada di pihak yang salah. Karena kebangkangannya itulah Adil diadili dengan cara yang tidak adil dan membuat pengikutnya yang merupakan kalangan mayoritas menciptakan kegaduhan tanpa ba-bi-bu lagi. Melihat kegaduhan yang tak berkesudahan, para petinggi memberi perintah untuk membasmi siapa saja yang ikut membangkang. Membuat akhir dari cerita ini penuh dengan kekecewaan, kehilangan, dan ketidakadilan yang tak berujung.
Di semestanya yang sudah berakhir tenang dan damai. An, tokoh yang mengamati si penulis mulai tampak resah. Dia menyibak selimut, beranjak meninggalkan kasur dan menatap bulan purnama dari balik jendela. Berjalan mondar-mandir seraya melirik ke arah istri dan anaknya yang tengah tertidur pulas.
“Adil tidak boleh mati! Adil tidak boleh mati!” gumamnya sambil tetap mondar-mandir dan meremas kedua tangannya secara bergantian.
An berencana melarikan diri dari ceritanya yang memiliki akhir bahagia. Dia pernah mendengar dari seorang teman yang baru pulang merantau, ada cara untuk melarikan diri dari semesta buatan penulis. Para tokoh bisa melarikan diri, bahkan jika kesadaran tokoh sangat kuat, mereka juga bisa membangkang atas takdir yang telah ditetapkan oleh penulis.
Dia belum tahu apa yang dikatakan seorang temannya itu benar atau tidak. Dia juga tidak yakin kalau temannya itu pernah mencoba hal demikian. Karena jika sekiranya apa yang temannya itu ceritakan adalah sebuah kebenaran, yang dibumbui dengan kebebasan, maka tak mungkin dia kembali masuk ke dalam cerita di mana penulis berencana membuatnya menjadi wanita gila.
“Kalau merasa bebas, lalu kenapa kau kembali ke sini?”
“Karena ini rumah.”
“Apanya yang rumah, bodoh? Sudah tahu kau bakal dibuat gila nanti, masih saja kembali. Jika memang ada kesempatan melarikan diri, maka lari saja yang jauh!”
“Jika aku melarikan diri, apa anakku akan tetap baik baik saja? Bukankah aku gila setelah menjadikannya sukses?”
An tidak menjawab. Dia hanya berpikir, barangkali temannya terlalu frustasi setelah mengetahui apa yang akan terjadi kepada dirinya nanti. Yet, temannya itu adalah seorang ibu, dan sama seperti ibu-ibu lainnya, termasuk ibu An, dia tak akan sampai hati melepas rantai yang sudah diikat di kedua kakinya, yang tersambung ke sebuah tiang bernama keluarga.
Source
Mulanya, An tidak peduli dengan segala jalan cerita yang akan dibuat oleh si penulis, meski itu artinya dia atau tokoh lain akan memiliki akhir yang tragis. An bahkan senang setiap kali mengamati penulisnya merebahkan diri di kasur sembari menatap smartphone dan menggaruk-garuk kepalanya atau duduk di depan laptop sambil mengusap kasar wajahnya lantaran tengah berpikir keras mencari ide atau melanjutkan ceritanya yang mangkrak di tengah jalan.
Namun, bukan tanpa alasan. An bersikukuh untuk meninggalkan kebahagiaan yang diperolehnya setelah menjalani hidup yang payah. Setelah menggali sejauh 988 km, dia bahkan sering ragu apakah pintu rahasia yang dicarinya benar ada. Jangan-jangan pintu rahasia itu hanya bualan dari temannya yang sudah setengah gila. Kalau memang benar begitu, maka An tidak tahu cara apa lagi yang bisa dia lakukan demi mengubah akhir dari cerita ini.
An terus menggali, ada 500 km tanah lagi di hadapannya yang perlu dia lubangi guna menemukan pintu rahasia. Meski tak begitu mempercayai sesuatu yang dikatakan temannya, dia pikir tak ada salahnya mencoba. Dia harus melarikan diri dari ceritanya. Menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya.
Maka, setelah terus menggali sampai ke kedalaman 1500 km dan menemukan pintu rahasia yang pernah diceritakan oleh temannya, An masuk ke dalam cerita ini. Nafasnya sedikit tersenggal dan kakinya gemetar. Ketika mendapati seorang tua melintas di hadapannya, buru-buru dia menghampiri orang itu. Bertanya, hal besar apa yang tengah terjadi di kota kecil ini?
Namun, bukannya menjawab, seorang tua dengan janggut sepanjang dada itu malah memperhatikan penampilan An dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut panjang dan berantakan, wajah tirus dengan cambang dan janggut yang menyatu cukup lebat menutup separuh wajah, tubuh cemong oleh tanah bercampur keringat. An benar-benar tak sempat mengurus diri. Dia perlu tahu apa yang terjadi dengan Adil.
“Kau belum dengar apa yang tengah terjadi di negeri yang bobrok ini, Anak Muda?” tanya seorang tua di hadapannya. “Tuan Adil ditahan oleh pihak berwajib atas dakwaan menyebarkan ajaran sesat. Siapa pun di negeri ini tentu tahu kalau Tuan Adil adalah seorang ahli ibadah dan memegang teguh ajaran Tuhan. Beliau tidak pernah main main dengan agama, jadi tidak mungkin menyebarkan ajaran sesat. Memang keterlaluan mereka-mereka itu!”
An menghela napas. Jika Adil telah ditahan oleh pihak berwajib, itu artinya cerita hampir menemui halaman akhir. Sungguh, An tidak peduli akan itu, sama sekali tidak peduli. Dia berasal dari cerita berbeda dan kehidupan yang Adil jalani juga hanyalah rekaan si penulis. Namun, bagaimanapun juga An merasa perlu mengubah alur cerita ini, karena dalam cerita ini, salah satu dari kalangan mayoritas itu ada ibunya. Setidaknya, jika An memang tidak bisa mengubah alur cerita, dia bisa membawa kabur ibunya seperti ibu membawanya kabur dari desa yang hendak menelannya hidup-hidup.
Persetan dengan keadilan. Baginya, selagi dia dan ibunya bisa menjalani kehidupan yang layak, maka dia tak peduli pada apa pun, termasuk bobroknya sistem di seluruh semesta.[]
Poor An, dia mencoba segala upaya utk melawan tuhan (penulis) tapi Masih gagal juga, tapi tak apa yg penteng tak dihakimi pembaca.
Aku bolak balik ke komunitas Indonesia cuma buat menikmati tulisan2 begini. Thank you @vandols❤️
Bayangkan jika tokoh-tokoh dalam tulisan kita berontak.
Aku padamu kak 🙌🏻
nggak mau kubayangkan, bikin rusak rencana aku saja mereka nanti.. hahahaha