Aceh Miskin Salah Siapa?

in Indonesia3 years ago


cigar-362183_960_720.jpg
img source

Beberapa waktu yang lalu, publik dihebohkan dengan rilisan data dari Badan Pusat Statistik yang menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin di sumatera. Bagi sebahagian netizen, ini adalah penghinaan yang sungguh nyata. Macam mana caranya negeri kaya sumber daya tapi masyarakatnya hidup dalam keadaan papa?

Warganet kemudian berbondong-bondong menyalahkan pemerintah soal peringkat kemiskinan ini. Katanya, pemerintah sekarang tak becus mengurus warganya. Pokoknya apapun komentarnya, semua orang menyalahkan pak Nova. Komentar bernada menyalahkan ini tak sedikit berujung pada ujaran yang bersandar pada rasisme. Saya punya tangkapan layarnya, tapi setelah dipikir-pikir tak elok rasanya saya tampilkan di sini. Jika dibaca, agaknya akan memancing kemarahan orang-orang yang berasal dari daerah yang sama dengan pak Nova.

Namun masalahnya, benarkah kemiskinan di Aceh murni salah Nova?


20210217_145316.jpg
img source

Saya pertama sekali aktif di dunia politik saat duduk di semester 7. Partai pertama yang menjadi pelabuhan aspirasi saya adalah Nasional Demokrat. Walaupun jika dikaji ulang, sebenarnya saya pernah menjadi kader partai nasional lainnya ketika usia saya baru genap 17 tahun. Namun keanggotaan saya di sana bukan karena keputusan pribadi. Hanya karena sungkan kepada guru mengaji.

Keanggotaan saya di Nasional Demokrat membawa saya ke pusaran politik praktis. Saya juga terlibat dalam setiap pemilu yang berlangsung setelahnya. Hanya pada pilpres dan pileg 2019 saya agak sedikit berjarak dengan hiruk pikuk pemenangan pemilu. Itupun karena secara domisili saya tengah berada di Bandung sana. Dan sesekali pulang-pergi ke berbagai kota. Termasuk Banda Aceh tentunya.

Sepanjang ingatan saya yang buruk ini, menjadi kader partai nasional di Aceh bukanlah sesuatu yang umum. Ini karena, paska kemenangan pasangan Irwandi-Nazar di pilkada 2017 silam, popularitas partai politik lokal meningkat tajam. Berbondong-bondong orang merapat ke sana. Tak hanya mantan kombatan, para aktivis hingga politisi kawakan juga menjadikan parlok sebagai kendaraan politiknya.

Ini seharusnya menjadi kabar baik. Keberadaan berbagai partai lokal ini idealnya menjadi sarana untuk membuktikan bahwa Aceh mampu mengurus dirinya sendiri. Dan ternyata, mayoritas masyarakat percaya bahwa kita memang bisa. Ini terbukti dari hasil pemilu selanjutnya. Partai lokal selalu keluar sebagai juara. Berbilang kota dan kabupaten dipimpin oleh petinggi partai lokal ini. Soal persentase di gedung dewan, tentu tak perlu diragukan lagi.


army-60724_960_720.jpg
img source

Dominasi partai politik lokal di Aceh terasa begitu kentara. Tidak hanya di gedung-gedung pemerintah, aroma parlok juga terhidu di berbagai penjuru gampong. Sila perhatikan jembatan dan gapura yang dikelir serupa warna bendera partai yang tengah berkuasa. Juga warna dasar untuk desain publikasi lembaga-lembaga negara.

Saya sendiri beberapa kali di ajak untuk bergabung ke entitas politik lokal tersebut. Atau paling tidak, diminta untuk membantu pemenangan calon yang mereka usung. Pada beberapa kesempatan saya menolak, terutama jika menyangkut soal keanggotaan partai. Tapi untuk urusan pemenangan, saya tercatat sempat ikut kerja-kerja pemenangan calon yang di usung partai lokal.

Dari aktivitas politik itu, saya mengambil kesimpulan bahwa bisa jadi pada dasarnya kemiskinan di Aceh disebabkan oleh diri kita sendiri. Dalam hal ini berarti kita yang menggunakan hak suara setiap kali pemilu tiba. Sebagai pemilih, kita seharusnya bisa menilai siapa calon penyelenggara negara yang mampu membawa kita menuju gerbang kesejahteraan bersama.

Tinimbang memilih sosok berpengalaman, seringkali kita terjebak dengan kebaikan semu seseorang. Sekilo gula, minyak goreng dan beras serta uang beberapa ratus ribu tentu saja tak mampu mendongkrak posisi Aceh dari posisi paling miskin di Sumatera. Tapi, masalahnya adalah banyak orang berprinsip “pajan lom” (kapan lagi –Aceh) dalam urusan ini. “Ambil saja apa yang diberi, masalah pilihan tergantung pada hati nurani.” hilih kintil....

Mari kita urut satu persatu kepala daerah yang berkuasa semenjak damai hadir ditengah-tengah kita. Pertama sekali ada Irwandi-Nazar yang memimpin sejak 2007-2012. Meski maju melalui jalur independen, sudah menjadi rahasia umum bahwa basis pemilih mereka adalah cikal bakal mesin politik Partai Aceh (Kelak partai ini pecah, dan kubu pendukung Irwandi mendirikan Partai Nasional Aceh). 2012 hingga 2017, gantian Abu Zaini Abdullah yang duduk di singgasana. Berdampingan dengan Muallem sang Panglima. Dan saat ini, sejak pilkada 2017 hingga tahun 2022 nanti, Irwandi kembali memimpin setelah lagi-lagi memenangkan hati rakyat Aceh pada pilkada yang nyaris semua calon gubernurnya adalah politisi yang bernaung di bawah payung partai lokal. Sayang, el-capitan tersandung kasus korupsi sehingga wakilnya yang kini menjadi menjabat sebagai pengganti.


Pilkada.jpg
img source

Pula dengan kepala daerah di tingkat Kabupaten kota. Sepanjang pantai timur Aceh pada pilkada 2012, dari Kabupaten Aceh Besar hingga kota Langsa kepala daerahnya berasal dari partai lokal. Hanya di Aceh Tamiang saja calon dari partai lokal tumbang. Bayangkan berapa besar mesin politik partai lokal mengingat pantai timur Aceh adalah wilayah paling padat penduduknya menurut data DPT yang dirilis KIP Aceh. Meskipun di Tahun 2017 kekalahan di tamiang juga harus dirasakan calon kepala daerah dari partai lokal di kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Bireun.

Kekuatan politik sebesar itu jika dimanfaatkan dengan baik tentu akan memudahkan kerja pemerintah dalam mensejahterakan warganya. Namun siapa nyana, kondisi papa justru lebih dekat dengan kita. Dan suami Bu Dyah pula yang kita tuduh punya salah.

“Jika bukan dia, jadi siapa yang salah?”

Ya kita-kita ini lah. Kenapa senang sekali mencari-cari siapa punya salah sedang kita sendiri cepat sekali lupa dengan sejarah. Apa yang terjadi hari ini adalah buah dari yang kita lakukan pada masa dahulu. Emangnya tahun-tahun yang sudah Pak Nova yang punya kuasa? Waktu itu beliau kan masih santai di pelukan kak Yuyun – eh, maksud saya Bunda Dyah tercinta.

Sort:  

Patut disyukuri kemiskinan ini

alhamdulillah

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 62311.78
ETH 2418.00
USDT 1.00
SBD 2.67