Serba-serbi Menjadi Jurnalis (Perempuan)

in Indonesia3 years ago


Sering ada yang bertanya, "gimana rasanya menjadi jurnalis?" atau "Capek sekali, ya, menjadi jurnalis, enggak bisa jauh dengan laptop." Ada juga yang begini: Malam-malam masih harus bekerja?

Untuk pertanyaan pertama biasanya saya akan menjawab "asyik" dengan diikuti penjelasan lain sebagai pendukung kata asyik. Pertanyaan kedua saya narasikan dengan pernyataan atau pertanyaan "apakah ada pekerjaan yang tidak capek?" Untuk ketiga biasanya agak sedikit diplomatis: Selama kaumenikmati pekerjaan itu, siang atau malam cuma soal perbedaan waktu.

Ada juga yang terang-terangan bertanya soal penghasilan, apa gaji sebagai jurnalis besar? Wah, kalau soal ini saya biasanya selalu menjawab dengan agak sedikit berhati-hati: cukuplah untuk makan sehari-hari dan membeli segenggam berlian. Ha ha ha. Jawaban seriusnya, setidaknya sampai sekarang saya masih bertahan di profesi ini. Itu artinya, ada sesuatu yang worth it untuk dilakoni.

Sejak awal menekuni profesi ini, saya memang memulainya dengan niat ingin belajar sehingga fokus saya lebih pada menghasilkan karya yang berkualitas. Rekan-rekan seprofesi menjadi pembuka pintu bagi saya untuk mempelajari keterampilan teknis lainnya. Salah satu yang serius saya pelajari ialah di bidang sunting-menyunting tulisan. Keterampilan ini menurut saya akan berkontribusi besar untuk mendukung target-target pribadi jangka panjang yang sudah saya tetapkan jauh-jauh hari.

Saya sering bertanya pada diri sendiri, akan jadi apa saya nanti, akan menekuni profesi apa sebagai estafet berikutnya? Di antara banyak jawaban, menjadi editor adalah profesi yang memungkinkan untuk dilakoni sebagai self employee.

Pelan-pelan, saya pun mempersiapkan diri untuk itu. Karya-karya saya yang sudah lolos dari tangan editor saya baca ulang dengan saksama, saya pelajari apa yang berubah, apa yang dihapus, apa yang ditambah. Kalau ada yang tidak saya pahami, saya akan bertanya pada mereka. Saya juga mengikuti kelas-kelas berbayar sebagai bentuk kesungguhan untuk mendapatkan ilmu. Hal-hal yang juga tak pernah saya lewatkan ialah berdiskusi dengan teman-teman yang berprofesi sebagai editor dan menekuni dunia tulis-menulis.

Sampai sejauh ini, saya selalu bersyukur bisa menggeluti profesi ini. Saya mengalami pertumbuhan perkembangan kepribadian yang sangat signifikan. Jauh sebelum itu, saya memang pernah terlibat di lembaga pendidikan nonformal yang fokus mengadakan kelas-kelas pengembangan kepribadian seperti public speaking, time management, dan leadership. Apa yang saya dapatkan di kelas-kelas sebelumnya sangat membantu di awal-awal karier saya sebagai jurnalis.

Di antara yang memungkinkan untuk kita dapatkan dengan menjadi jurnalis adalah membangun relasi dan kesempatan berjejaring. Ini, menurut saya, adalah kesempatan yang mewah. Memiliki relasi dari beragam latar belakang tidak hanya berguna untuk hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab di tempat kerja, tetapi juga berguna bagi kehidupan pribadi kita. Misalnya, saat ibu dirawat dan mengidap penyakit yang terasa asing bagi saya, saya berkonsultasi dengan seorang dokter yang pernah menjadi narasumber saya dan hubungan baik di antara kami tetap terbina. Konsultasi itu sangat membantu pemahamanan saya tentang penyakit tersebut dan mengurangi tingkat kecemasan.

Uang hanyalah salah satu benefit terkecil yang memungkinkan untuk diperoleh dengan menjadi jurnalis. Kalau hanya soal uang, banyak profesi lain yang bisa dilakukan. Namun, profesi ini bisa memberikan lebih karena pada saat yang bersamaan kita tidak hanya bisa bekerja sebagai jurnalis yang notabenenya membuat berita-berita jurnalistik, tetapi juga bisa menjadi pembawa acara di berbagai kegiatan, editor, enumerator, administrator website, fasilitator kegiatan, notulis, penerjemah, bloger, steemian, bahkan pemateri dengan topik-topik yang relevan. Menarik, bukan?[]

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 59169.46
ETH 2597.10
USDT 1.00
SBD 2.42