[CERPEN]: Keputusan Alaina

in Indonesia3 years ago (edited)

CVE.jpeg

Tergesa-gesa Alaina keluar dari kamar. Sampai-sampai jarinya hampir terjepit saat menutup pintu. Hari masih pagi. Belum genap pukul delapan. Tak biasanya Alaina seperti itu. Hari-hari sebelumnya, meskipun untuk berangkat kerja, Alaina baru keluar dari rumah pukul setengah sembilan. Bekerja di sebuah yayasan pendidikan sebagai tenaga keuangan memang membuat Alaina sedikit longgar. Dia bisa masuk kerja pukul sembilan. Pulang pukul empat sore. Makanya, ketika hari ini Alaina sudah akan berangkat sepagi ini, wajar saja kalau ibunya heran.

“Mau ke mana kamu sepagi ini, Na?” tanya Zubaidah sambil mengaduk seduhan teh di meja makan.

Zubaidah memandang sulungnya yang masih berdiri di dekat pintu. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia mencari-cari bola mata putrinya. Namun, yang dicari tak kunjung ketemu karena terhalang oleh bushiyya yang menutup seluruh wajah Alaina.

“Kau angkat dulu itu penutup wajahmu, tak puas Ibu berbicara tanpa bisa melihat matamu,” kata Zubaidah lagi.

“Aku mau ke kantor, Bu.” Pendek saja Alaina menjawab sambil merogoh kunci motor di dalam tas.

“Sepagi ini? Tak biasanya,” sergah Zubaidah.

“Iya, biar urusannya cepat beres.”

“Urusan apa memangnya?” buru Zubaidah.

“Bu, aku buru-buru. Nanti aku cerita, ya. Sekarang aku pergi dulu.”

Zubaidah masih hendak mengatakan sesuatu. Namun, ia kalah cepat dengan Alaina yang sudah melesat ke halaman. Sesaat kemudian terdengar suara mesin sepeda motor dari halaman lalu menghilang. Zubaidah masih terpacak di tempatnya.

“Ke mana Alaina, Bu?” Pardi yang baru saja selesai dari kamar mandi mendekati istrinya.

Zubaidah menggeleng. Tak tahu hendak menjelaskan apa pada suaminya. Belakangan ini dia nyaris tak bisa mengenali Alaina. Sudah dua puluh tujuh tahun sejak ia melahirkan Alaina, tetapi baru tiga bulan terakhir rasanya dia benar-benar asing dengan putrinya sendiri. Bukan saja cara berpakaiannya yang berubah 180 derajat. Cara berpikir Alaina pun menurutnya sangat berbeda sekarang.

Dalam beberapa hal, Zubaidah suka dengan perubahan sikap Alaina yang sekarang lebih agamais. Salatnya selalu tepat waktu. Dia juga jadi rajin mengaji. Alaina lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Tidak seperti dulu yang masih suka keluyuran jika ada waktu senggang.

Sering juga Zubaidah mendapat teguran dari Alaina kalau sudah masuk waktu salat, tetapi dia masih asyik di dapur atau menonton televisi. Hanya saja, cara Alaina menegur itu yang kerap membuat Zubaidah mengurut dada. Tak jarang ibu dan anak itu saling bersitegang. Suatu siang misalnya. Alaina dengan enteng mengatakan ibunya “kafir” karena tak langsung salat setelah azan Zuhur berkumandang.

“Ibu tahu apa yang membedakan seorang muslim dengan orang kafir?” pertanyaan Alaina membuat Zubaidah tersentak.

Alih-alih menjawab, Zubaidah malah hanya bisa tertegun. “Salat, Bu! Salat! Kalau Ibu tidak salat, berarti apa bedanya Ibu dengan orang-orang kafir?!”

Zubaidah yang tadi tertegun merasa tergores hatinya. Tak menduga Alaina berbicara sekasar itu padanya.

“Ibu bukan tidak salat Alaina. Apa pernah Ibu meninggalkan salat satu waktu saja? Ibu sedang memasak. Apa kamu tidak bisa melihat?” lantang suara Zubaidah sambil menantang mata Alaina. Namun, percuma saja, mata Alaina tersembunyi di balik bushiyya hitam.

“Ibu masih menyambah Allah. Masih percaya pada Muhammad. Mengapa bicaramu akhir-akhir ini menjadi tidak sopan? Siapa yang sudah merusak pikiranmu? Dengan pakaianmu seharusnya akhlakmu juga lebih baik, bukan malah makin kacau.”

“Jangan bawa-bawa pakaianku, Bu. Aku sedang bicarakan Ibu yang suka sekali menunda salat,” sambar Alaina sambil ngeloyor masuk ke kamarnya.

“Ibu tidak tahu, Pak,” jawab Zubaidah jujur.

Pardi sebenarnya juga menyimpan kegeraman yang sama seperti istrinya. Namun, sejak dulu dia memang tak begitu dekat dengan anak-anaknya. Komunikasi antara dia dan ketiga anaknya lebih sering diwakilkan melalui Zubaidah. Anak-anaknya pun begitu. Kalau ada perlu ini itu, cukup mengatakan pada Zubaidah. Zubaidah menyampaikan ke suaminya. Ditambah, pekerjaan Pardi sebagai supir bus lintas provinsi, waktunya di rumah memang sangat terbatas. Kalau pun ada di rumah paling hanya sebentar, setelah itu pergi lagi. Nyaris tak pernah bertemu dengan anak-anaknya.

Pardi coba mengingat-ingat kembali. Kapan ia mulai merasakan perubahan drastis sulungnya. Itu sekitar tiga bulan lalu. Suatu pagi saat sedang sarapan, Alaina keluar dari kamarnya dengan abaya hitam gombrang lengkap dengan bushiyya yang menutupi wajahnya. Pardi hampir saja terlompat dari duduknya saking kagetnya.

“Siapa itu?!” pekiknya.

“Alaina, Pak,” jawab Zubaidah singkat.

“Sejak kapan Alaina berubah begini?”

“Seminggu lalu.”

“Kau kenapa, Alaina?” melotot mata Pardi.

Alaina tak menjawab. Malah ngeloyor pergi begitu saja.

“Aku pergi kerja dulu,” katanya sambil berlalu.

“Ibu tidak tanya kenapa Alaina?” tanya Pardi lagi pada istrinya.

“Sudah, Pak, tapi Alaina tidak mau ngomong. Kalau Ibu paksa dia pasti marah.”

Bagi mereka, perubahan Alaina mungkin terasa tiba-tiba. Alaina yang sebelumnya selalu tampil kasual dengan kerudung yang tak begitu lebar, kini malah berpenampilan serba tertutup dengan abaya gombrang berwarna gelap gulita. Tak hanya tubuh, wajahnya pun ditutup dengan selembar kain tipis. Bushiyya namanya. Cukup nyaman bagi Alaina untuk tetap melihat dari balik kain tipis itu, tetapi tidak dengan orang-orang yang berbicara dengannya. Pardi risau bukan pada perubahannya, tetapi prosesnya yang terjadi begitu cepat. Menurutnya ada yang tidak wajar dengan perubahan tersebut.

Namun, bagi Alaina semua itu tidaklah terjadi tiba-tiba. Jauh sebelum dia mengambil keputusan untuk mengubah penampilannya secara drastis sekitar tiga bulan lalu. Dia sudah berpikir matang. Termasuk soal risiko akan ada pertentangan-pertentangan kecil dengan orang tuanya.

Semua itu berawal dari perkenalannya dengan Razak. Seorang pemuda yang mengaku tinggal di sebrang pulau dan berprofesi sebagai juru dakwah. Enam bulan lalu, Alaina sedang sibuk-sibuknya membuat laporan keuangan untuk kepentingan laporan pajak tahunan. Tiba-tiba ponselnya masuk nomor tak dikenal dan mengaku salah sambung. Rupanya, drama salah sambung itu berlanjut esoknya. Ketika sedang menginput data di aplikasi pajak, sebuah pesan masuk ke ponsel Alaina. Merasa memiliki sedikit waktu senggang, Alaina meladeni pesan tersebut. Berlanjut dan terus berlanjut hingga hari ini.

“Alaina, hidup itu bukan hanya untuk dunia. Akhirat juga harus dipikirkan,” begitulah awal dari obrolan yang panjang itu.

Pesan-pesan berikutnya Razak mulai menceritakan aktivitasnya sebagai juru dakwah. Ia bercerita soal surga neraka. Dunia yang hitam putih. Termasuk soal bagaimana seharusnya perempuan berbusana. Akhir dari diskusi yang panjang itu, membuat Alaina mengambil keputusan. Hijrah. Keputusan yang sempat membuat teman-temannya merasa tidak nyaman karena Alaina sering menyindir cara berpakaian mereka yang menurutnya belum sesuai anjuran agama. Sebenarnya yang membuat mereka tidak nyaman bukan karena pakaian Alaina. Akan tetap reaksi Alaina pada lingkungan kerjanya yang juga turut berubah. Alaina jadi sering membicarakan perihal donatur yayasan yang di antaranya berasal dari Eropa dan Amerika. Alaina pernah menyampaikan itu pada manajernya, tetapi malah kena tegur balik.

“Sudah pintar kau bicara sekarang Alaina. Telat sekali kau sadar!” ketus sang manajer keuangan mengkritik kelancangan Alaina.

Rupanya, bukan hanya sampai di situ. Razak yang tak pernah dilihat seperti apa bentuk wajahnya oleh Alaina, mulai merecoki pikiran Alaina soal pekerjaan. Itu sekitar dua minggu lalu. Iklim kerja yang akhir-akhir ini mulai tak kondusif membuat Alaina condong pada pengaruh Razak.

“Pekerjaan kamu itu berpotensi menjerumuskan kamu ke neraka,” kata Razak saat mengobrol dengan Alaina di telepon.

“Mengapa begitu?” tanya Alaina penasaran.

“Ikhtilat. Bercampur-baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, itu dosa, dosa besar. Kalau kamu mau selamat, kamu harus keluar dari sana,” suara Razak terdengar seperti mengultimatum.

“Tapi saya perlu pekerjaan ini, Razak. Untuk memenuhi kebutuhan saya, tidak mungkin saya minta pada orang tua, saya perlu punya penghasilan sendiri,” kilah Alaina.

“Allah sudah mengatur rezeki hamba-Nya. Kamu jangan takut. Kamu bisa berniaga. Bisa melakukan pekerjaan lain tanpa harus bercampur-baur dengan laki-laki.”

“Tapi masing-masing kami punya ruangan-ruangan sendiri, kok,” Alaina masih berargumen.

“Dosa, Alaina. Dosa!” suara Razak meninggi.

Alaina merasa kecut. Namun, setelah dipikir-pikir kembali, dia merasa sependapat dengan Razak.

“Lagi pula bukan hanya itu, yayasanmu itu dibiayai oleh donatur dari Eropa. Kita tak boleh menjalin kerja sama dengan orang-orang kafir.”

Alaina seperti dicucuk hidungnya. Jadi seperti kerbau. Apa yang dikatakan Razak semua terasa benar di pikirannya. Meskipun masih ada juga sedikit ragu-ragu di hatinya.

Hasil dari obrolan itu membuat Alaina nyaris tidak bisa tidur beberapa hari ke belakang ini. Dia bimbang. Apakah mengikuti saran Razak untuk berhenti bekerja atau tetap bekerja dengan konsekuensi menanggung dosa seperti yang disampaikan Razak. Di tengah kebimbangannya, semalam Razak kembali menghubungi Alaina dan menyemangatinya.
“Keputusanmu sudah tepat, Alaina. Jangan ragu. Nanti setelah resign dari yayasan, kau bisa membantuku berdakwah,” katanya melalui pesan teks.

“Berdakwah di mana?”

“Juru dakwah kami dikirimkan ke berbagai daerah, tapi sebelum itu akan ada pemusatan latihan terlebih dahulu. Kau akan diberikan pembekalan bersama juru dakwah lainnya dari seluruh daerah. Tidak lama, paling hanya setahun. Di sana nanti kita bisa bertemu,” kata Razak.

Alaina pun semakin yakin dan mantap. Itulah yang membuatnya tergesa-gesa pagi tadi. Ia ingin segera menjumpai kepala yayasan dan menyatakan keinginannya untuk berhenti kerja. Keputusan itu diambilnya sama sekali tanpa berdiskusi dengan orang tuanya. Tadinya Alaina berniat memberitahukan Zubaidah perihal niatnya itu. Namun, Razak melarangnya. Alaina sudah dewasa. Begitu kata Razak. Usianya sudah dua puluh tujuh tahun. Dia sudah bisa memutuskan jalan hidupnya sendiri.

“Termasuk soal rencanamu mengikuti pemusatan latihan, sebaiknya tak perlu memberi tahu orang tuamu.”

“Bagaimana mungkin? Selama ini aku selalu terbuka pada Ibu, apa pun yang kulakukan pasti Ibu mengetahuinya.”

“Alaina ... Alaina ... ” Razak menarik napas. Sepertinya agak kesal. “Berapa kali lagi harus kubilang, kau ini sudah dewasa. Coba kau pikir-pikir lagi, dakwah itu lebih utama. Orang tuamu tidak akan keberatan kalau kau mengabdi pada agama. Di sini aku akan menjagamu nanti. Kita akan menikah, Alaina.”

Mendengar kata “menikah” hati Alaina menjadi hangat. Tanpa sepengetahuan ibunya Alaina sudah berencana untuk menemui Razak. Sebuah alamat sudah ia rekam lekat-lekat di ingatannya. Nun di sana. Seseorang yang bernama Razak sedang menyusun sebuah skenario untuk Alaina.[]

Catatan: cerpen ini saya ikutkan dalam kompetisi sebagaimana tercantum dalam brosur di bawah dan alhamdulillah terpilih sebagai salah satu pemenang.

CVE1.jpeg

Sort:  

Wah...keren ceritanya, meskipun pada kondisi real aku juga ketemu yg Mirip Alaina, cuma nggak drastis gitu berubah nya.. alus pisan. Arrgghhh ... Perempuan single yg agak kurang pede, biasanya mudah terbujuk.

Good job ihan...

Memang mengerikan efek bujuk rayu itu, Kak. Ihan pernah ketemu seseorang yang kejadiannya mirip gitu--walaupun bukan untuk ekstremisme--tetapi ujung-ujungnya jadi korban eksploitasi seksual.

Makanya pendidikan "jaga diri" buat anak perempuan jadi penting sebelum mereka beredar di luar rumah. Apalagi gaya hidup konsumerisme sekarang, lihai dikit para predator ... Selesai sudah

Betul, Kak, dalam kasus yang Ihan ceritakan itu sudah dewasa (usia di atas 25 th), apalagi anak-anak yng di awah umur.

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 59226.54
ETH 2603.16
USDT 1.00
SBD 2.42