Unfinished Biography: Pang Sabon; Orang-Orang Di Sekitar Kelahiran Setnov
Tiga tahun lalu aku pernah merancang satu cerita bersambung di platform ini. Itu serial yang rumit. Sama rumitnya ketika aku mencoba mereka-reka cerita, dan aku menuliskannya dengan latar yang melompat-lompat, tak beraturan. Setelah kubaca ulang, ada banyak kontradiksi di sana-sini, entah itu pada keterangan waktu, tempat, watak dan konflik antar tokoh, dan lain sebagainya, yang untuk memperbaikinya membutuhkan kedisiplinan seorang peneliti.
Untuk keinsafan demikian, sejatinya aku sudah memulai mengerjakan ulang apa yang telah kumulai ini. Mulai merevisi apa saja yang kuanggap rancu di tulisan-tulisan lama dan dalam kemalasan menulis yang memuncak, terutama dalam setahunan lewat, aku juga mulai merancang lanjutan ceritanya, yang penggalan-penggalannya akan kucicil kembali di sini. Sepenggal di antaranya adalah apa yang akan kalian baca di bawah tulisan pengantar ini.
Bagi yang ingin membaca cerita yang kutulis tiga tahun lewat itu, sila ikuti link-links terdahulu: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
SELAMAT DATANG DI DUSUN SEJAHTERA. Dusun di sebuah desa yang dari letaknya tak akan pernah terpikirkan untuk didatangi apalagi jadi tempat tinggal orang-orang yang kadung candu dengan kegempitaan kota. Dusun yang kehidupan orang-orangnya benar-benar bertolak belakang dengan namanya.
Dan jika benar nama adalah doa, inilah dusun yang sejak ditabal dengan nama Sejahtera, tak pernah putus berdoa. Melulu berdoa. Kendati apa yang tampak secara terang benderang adalah ketidakmustajabannya itu doa.
Aku tiba di dusun ini pada akhir Maret lalu, ketika orang-orangnya tengah masyhuk dalam ritual doa wajib tengah hari di sebuah meunasah yang kusam. Itu siang yang panas. Matahari menyengat. Angin mati. Dan jalanan berbatu di dusun ini hanya dihidupkan oleh lalu lalang lima ekor kambing. Seorang tua bertelanjang dada memperbaiki jaring di pinggir jalan. Selebihnya hanyalah kelengangan.
Rumah-rumah menghadap ke jalan. Rumah beton, semi permanen, atau yang berdinding papan sepenuhnya tampak seragam di bagian atapnya; seng berlabur karat. Keseragaman lainnya adalah semua rumah di sini tanpa pagar.
"Kami hanya punya kambing dan tak punya pencuri. Jadi untuk apa pagar rumah? Beda kalau di kota. Orang-orang kota tak punya kambing tapi punya banyak pencuri. Makanya perlu pagar rumah. Bahkan, kalau kami tak salah dengar, orang kota harus mencuri jatah rumah dhuafa orang-orang kampung seperti kami untuk bikin pagar."
Aku terkesiap mendengar penjelasan Pang Sabon ketika menyoal ketiadaan pagar rumah-rumah di dusun ini. Sekian detik aku hilang akal tak berkata. Aku mengangguk setuju sembari kemudian mengiringi kekehannya dengan tawa selepas-lepasnya. Pertanyaanku tentang suasana dusun tempat tinggalnya, sedikit banyaknya bisa mencairkan kebekuan pertemuan pertama dua orang yang baru saling kenal ini.
Pang Sabon adalah veteran banyak perang. Balita ketika serdadu Nippon masuk. Remaja sewaktu pasukan Mobrig mempreteli rumah orangtuanya hingga tumpas semua barang-barang pusaka.
Rencong, kelewang, dan pistol tarkul dirampas siang-siang. Pang Sabon ingat, ia ditendang ayahnya hingga tersuruk ke dinding ketika ia hendak merampas balik pistol tarkul dari tangan si Mobrig. Ia meringis tapi kemudian langsung paham aksi menyakitkan ayahnya itu tak lain hanyalah usaha menyelamatkan nyawanya. Kalau tidak, bedil si Mobrig jahanam itu pasti akan menyalak tepat di kepalanya.
Pang Sabon berusia 22 pada tahun 1966. Ini tahun ketika ia mengerti sepenuhnya bagaimana jatuh cinta pada seorang perempuan. Tahun yang sama ketika tentara menghasut teungku-teungku dan orang kampung untuk membunuh beberapa guru sekolah. Oleh tentara, para guru sekolah yang malang itu dikatakan kafir, tak bertuhan, dan kerap memakai lembar halaman Al-Quran sebagai pengganti kertas lap kuah yang tercecer di meja makan.
Apa yang kemudian jadi pupuk paling manjur akan tumbuhbesarnya kebencian Pang Sabon pada tentara tidak lain ketika ia tahu salah satu guru yang kena hasut itu adalah Guru Din. Guru agama idolanya saat belajar di Sekolah Dasar sekaligus suami perempuan yang dicintainya.
Menurut cerita yang didengar Pang Sabon dari seorang sejawatnya dari kampung sebelah beberapa jam setelah pembantaian terjadi, Guru Din dicegat di jalan pulang dari sekolah. Ia diseret dari sepeda, diarak oleh belasan pemuda kampung ke dalam rawa-rawa. Kepalanya dikarungi goni. Lalu dieksekusi dengan sebilah pedang oleh bintara pembina bernama Payungbui.
Tadinya Pang Sabon senang bukan kepalang demi mendengar berita Guru Din telah mati dibunuh. Bagaimanapun juga merebut cinta seorang janda berkali lipat lebih mudah ketimbang merebut istri orang.
Tapi itu kegirangan yang singkat. Dari mulut sejawatnya ia mendengar perempuan yang dicintainya, janda Guru Din, ternyata juga masuk dalam daftar orang yang patut dipenggal menurut hitungan para tentara. Dan Payungbui bersumpah akan memenggal semua pemuda desa, jika sekira janda Guru Din langsung dieksekusi sebelum dibawa menghadap dirinya terlebih dahulu.
Demi pertaruhan cintanya, pada malam itu juga Pang Sabon mendahului orang-orang kampung yang tengah diamuk hasut menjemput janda Guru Din di rumahnya. Lantas setelah meyakinkan si janda Guru Din yang langsung kalap demi mendengar suaminya telah mati dibunuh, ia bersama buah hatinya itu berhasil keluar kampung, melarikan diri ke suatu tempat di pinggiran ibukota provinsi.
Sampai pada cerita ini, Pang Sabon diam sekian waktu lamanya. Rokok kretek yang telah mati ketika ia bercerita tadi ia nyalakan lagi, ia hisap dalam-dalam asapnya untuk kemudian dihembuskannya tepat kedepan wajahku yang masih menunggu lanjutan ceritanya.
Aku mendatangi dusun Sejahtera untuk menemui Pang Sabon. Sebagaimana diarahkan Nyi Miriam ketika menjumpainya di rumahnya beberapa waktu lalu. Nyi Miriam berpetuah Pang Sabonlah yang lebih tahu bagaimana Setnov dibesarkan oleh kakeknya. Terutama ketika bocah kecil Setnov dibawa sang kakek ke tempat-tempat di mana bisnisnya beroperasi. Alasan itulah yang membuatku biliek mata oleh sebab asap rokok kretek Pang Sabon kini.
Sebelumnya, sesampai di dusun Sejahtera sebuah kampung yang dari tempat tinggalku berjarak delapan jam lebih perjalanan darat, aku bertanya pada beberapa warga yang pertama kutemui tentang keberadaan Pang Sabon. Oleh seorang warga yang baik hati, ia menyuruh anaknya yang masih bocah untuk menuntunku ke tempat di mana Pang Sabon berada saat itu juga. Aku dibawa si bocah ke sebuah kedai kopi yang bangunannya persis dibangun di atas rawa-rawa. Kedai kopi ini sepenuhnya beratap daun rumbia, tiang-tiangnya dari batang bak bangka. Dinding dan lantainya berupa papan-papan hasil belahan batang kayu besar yang tidak kutahu namanya.
"Kau siapa? Dari mana? Ada perlu apa dengan saya?"
Aku memperkenalkan diri dengan santun dan ketakziman yang dipunyai seorang santri ketika menghadap pimpinan dayah tempatnya mengaji. Pang Sabon, yang sejak ditunjuk keberadaannya oleh si bocah pada kali pertama menginjakkan kaki di kedai kopi ini, tampak bukanlah tipikal orang yang gampang beramah tamah dengan orang baru, menyikapi jawaban perkenalanku dengan dingin. Ia bergeming. Tatapannya hanya terpacak pada gelas kopi, rokok kretek dan pemantik yang ada di atas meja.
Dengan sikapnya yang acuh tak acuh seperti itu aku rada kikuk sendiri untuk mengutarakan maksud kedatanganku menemuinya. Mula-mula aku mencoba mencairkan suasana dengan menanyakan hal remeh temeh seputaran apa yang kulihat di dusun ini, seperti keberadaan rumah-rumah warga yang tak berpagar sama sekali.
Kendati tanggapannya membuatku terbahak-bahak, Pang Sabon cukup paham bahwa kedatanganku menemuinya tidaklah sebatas hendak mempertanyakan pagar rumah belaka. "Sebenarnya ada perlu apa dengan saya?" Dalam kegamanganku akan memulai dari mana menggali cerita masa hidup Setnov kecil dari dia, aku ingat pesan Nyi Miriam, lantas kukata padanya, "Janda Guru Din titip salam!"
Jadeh sang lahe novel kali nyoe dari Steemit...
Haha... Talake doa, doa bak buleuen puasa beu beutoi2 musjateub. 😁😁
Brat beursen Kanda Setnov malam njou.
Ta meulakee cit bah beursen ngon ceumeukok aju ih keudeh. 😄