Kenapa Kita Memilih Menderita?
Ada sejenak waktu di mana dunia masih abu-abu. Waktu di mana realitas belum sepenuhnya menjelma dan berada di ambang batas kesadaran dan ketidaksadaran. Pada momen yang demikian, sebelum ingatan akan beban hidup menjerat kembali, sebuah pertanyaan menyusup. Pertanyaan tersebut ialah: mengapa saya, manusia, memilih untuk menderita?
Mungkin terdengar ganjil bahkan absurd ketika mengandaikan bahwa penderitaan adalah pilihan. Namun, bukankah saya seringkali dengan penuh kesadaran menapaki jalan yang saya tahu akan penuh dengan duri? Seolah ada magnet yang tak terlihat dan menarik saya ke arah yang kita tahu akan berujung pada luka. Lalu, mengapa saya tetap melangkah? Mengapa memilih jalan itu ketika ada alternatif lain yang tampak lebih terang nan bersahabat?
Penderitaan bagi saya bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ia adalah konsekuensi dari keputusan yang dibuat, dari pilihan-pilihan yang saya ambil dalam hidup ini. Setiap keputusan yang saya buat membawa serta konsekuensi yang tak terhindarkan. Ketika saya memilih untuk mencintai, saya juga mau tidak mau memilih untuk menghadapi kemungkinan kehilangan.
Cinta adalah bagian dari risiko yang saya ambil dengan sepenuh hati, meski di hati yang terdalam, saya tahu ada kemungkinan bahwa saya akan dibuatnya hancur berkeping-keping suatu hari nanti. Anggap saja risiko terbaik: yang dicinta akan mati. Yang terburuk? Jangan dibayangkan karena akan membuat anda gila lebih cepat. Tapi kenyataannya adalah saya harus siap dengan bayang-bayang luka yang mengintai, yang menyerang di saat-saat saya paling tidak siap.
Sekali lagi, mengapa saya tetap memilih untuk menderita? Mengapa saya, dengan penuh kesadaran, memilih jalan yang saya tahu akan berujung pada air mata? Di sinilah kutemukan letak keanehan sekaligus keindahan dari sifat manusia. Kita adalah makhluk yang teramat rasional sekaligus paradoksial dalam waktu yang sama.
Barangkali saya memilih untuk menderita karena memahami bahwa dalam penderitaan, ada sebuah esensi yang tak bisa saya temukan di tempat lain. Ada suatu keindahan dalam luka. Kedalaman yang hanya bisa saya temukan ketika telah terjatuh dan merasakan sakit.
Cinta pada dasarnya adalah bentuk penderitaan yang saya pilih dengan sukarela. Ketika mencintai seseorang, saya membuka diri terhadap kemungkinan dikecewakan, ditinggalkan, atau bahkan dikhianati. Di sinilah paradoksnya. Kesedihan dan kebahagiaan adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya penuh dengan subjektivitas: apa yang tampak sebagai penderitaan bagi seseorang bisa jadi adalah kebahagiaan bagi yang lain, begitu pula sebaliknya.
Setiap orang memiliki prioritas yang berbeda dalam hidup. Ada yang memilih untuk mengejar kebahagiaan dengan cara hedonis meski harus mengorbankan hal-hal lain yang lebih esensial. Ada pula yang lebih memilih untuk mencari makna.
Dalam setiap keputusan ada sebuah kompromi yang harus dibuat, sebuah prioritas yang harus ditentukan. Dan dalam menetapkan prioritas inilah saya seringkali memilih untuk menderita, karena saya percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dan lebih bermakna di balik penderitaan itu.
Kebahagiaan bukanlah memiliki apa yang saya inginkan, tetapi menginginkan apa yang saya miliki. Apa yang ada di depan mata saya bukan realitas yang objektif, tetapi realitas yang saya ciptakan di dalam kepala. Realitas adalah netral, tidak memihak.
Realitas yang saya alami adalah hasil dari interpretasi saya sendiri. Produk dari bagaimana otak saya memproses informasi yang diterima dari dunia luar. Dan karena setiap orang memiliki otak yang berbeda/pengalaman yang berbeda, maka ada 7 miliar realitas yang berbeda di muka bumi ini. Masing-masing unik, masing-masing istimewa.
Karena pada akhirnya kebahagiaan bukanlah sesuatu yang saya temukan di luar sana, melainkan sesuatu yang diciptakan di dalam diri saya sendiri.
A good story and I wonder if there's anyone who did not experience this.
I can only speak for myself (and all those elderly I spoke with) if it comes to it the risks we take if it comes to love, love is overrated. The bit of luck and love doesn't make up for all the misery,loneliness, humiliations, lost years, all the sacrifices we have to make.
So the question is what went wrong? Did we had expectations or were we lured into it, sold to the highest bidder? Was it society or the fear to stay behind, live alone?
I can tell that it's 1000 times better to be single than share your life with someone who breaks you.
Perhaps choices made would be different if we have time to grow older, explore the world, to think what it is we want for us but reality shows a life where we are strangled, occupied, too exhausted to reflect on the life we live and many of us act in an attempt to escape.
Thanks for the good read.
🍀❤️
Congratulations, your comment has been successfully curated by Team 7 via @𝐢𝐫𝐚𝐰𝐚𝐧𝐝𝐞𝐝𝐲
You are welcome @wakeupkitty, what I wrote is that thousands of people experience in life, but most of them only want to make happiness for themselves. Here is the most basic question when someone confesses or tells us "I LOVE YOU".. I asked them back, are you trying to make yourselves happy or to make me happy??, because most of the "LOVE" is only to make oneself happy not to the one they confess love to.
Many of us confess "the LOVE" to someone to fulfill their desire to "Taste" what kind of experience they could have?, it could be sexuality, comfort, not being alone, or having a partner or friend to talk to, and many more self-desire. But not a single reason to make the one they love to be truly happy. Again, many of us think the happiness of someone else is based on what exists in their mind, without asking and understanding what true happiness is.
To me, when I say "I love You" it has a huge responsibility to be the one who can make her happy in whatever way she chooses to step on, and it is hard enough. That is what I said;
I know you understand this very well Kitty
Love comes in many ways and it is hard to define what it is. It is personal, hormonal, chemical, itcan grow or fade away because of something like a habit (once liked) or a smell.
Should it last forever? My father said to his mother: your marriage was easy he was rarely home and died at a young age.
🤔
It has a deep meaning, One said to me long ago, that marriage is like a time bomb on our own body, and I said, If you can defuse the bomb, then there's no harm for you, you just need to carry a little extra weight.
It's hard to tell how to make it worthy (perfe t doesn't exist) but love doesn't come easy just like trust and loyalty.
If we want we can make eveeything work out by avoiding or slowly dying underneath the extra weight. I know I couldn't since I have to face me and live with me ar the first place.
You are born alone and will die alone, no one can do this process for you.
You give a lot to think about.👍
If this is your entry to the contest "Out of the Box -Risk" do not forget to leave the link in the comment section of the contest.
Also use #outofthebox and #risk.
P. S. You forgot to mention the sources of your pictures!
I put the source of those pics, but only a tiny box with an arrow, I will make it more visible anyway, I did not realize that this is about the risk until I finished the whole story, because I just wrote what I thought about. LOL. I will drop the link onto it
It's fine if the source is mentioned. No need to show it bigger. Pixabay for example memtiins there's no need to mention the source. It's a lot of extra work ☹️ Another reason why I hate adding pictures.
🍀❤️
!upvote 15
💯⚜2️⃣0️⃣2️⃣4️⃣ Participate in the "Seven Network" Community2️⃣0️⃣2️⃣4️⃣ ⚜💯.
This post was manually selected to be voted on by "Seven Network Project". (Manual Curation of Steem Seven).
the post has been upvoted successfully! Remaining bandwidth: 140%
Your post has been rewarded by the Seven Team.
Support partner witnesses
We are the hope!