The Diary Game [15 September 2022]: Mengunjungi Keponakan Shalihahku di Pondok Pesantren
Assalamu'alaikum, teman-teman.
Lama tak bersua, semoga kita semua dalam kondisi baik-baik saja. InsyaAllah.
Kamis yang cerah
Kamis yang manis dengan cuaca cerah dan langit birunya. Hari ini adalah jadwal kunjungan mingguan rutin untuk santri pada sebuah dayah terpadu Banda Aceh, Inshafuddin. Keponakanku merupakan salah satu dari ratusan santri yang sedang mengenyam pendidikan di sana.
Ya, dayah atau lebih populer dengan pondok pesantren (ponpes) menjadi tujuan utama para orang tua untuk memberikan pendidikan terbaik bagi buah hatinya. Oleh karena itu sebagian dari orang tua bahkan cenderung ‘memaksa’ sang anak untuk menuntut ilmu agama di sebuah ponpes.
Apalagi di zaman yang serba canggih, orang tua bahkan semakin risau akan perkembangan sang anak di tengah hiruk pikuk akhir zaman. Semuanya serba canggih hingga hal yang tidak perlu diketahui pun dapat diakses oleh siapapun, tidak pandang usia.
Jadi, bukan suatu kesalahan besar apabila orang tua seperti kakak dan abangku mengambil keputusan untuk mempercayakan anaknya pada sebuah pondok pesantren di mana ilmu dunia dan akhirat diperoleh secara bersamaan.
Kembali ke topik awal di mana aku mengunjungi keponakan shalihahku yang baru menduduki kelas 1 sekolah menengah, Ghina.
Biasanya setiap Kamis aku hanya sendirian, berangkat dari rumah dengan ojek online sementara di tangan penuh dengan barang bawaan untuknya. Namun kali ini aku pergi bersama kakak iparku yang merupakan ibunya serta seorang keponakan kecilku, Alya. Kami juga menumpangi ojek online untuk menuju ke dayah tersebut.
Alya dan jus jeruknya
Harusnya kami berkunjung di sore hari setelah para santri menunaikan shalat Ashar, tapi kali ini harus mencuri waktu pagi. Kami hanya membawa beberapa bungkus nasi pagi, karena keponakanku dalam kondisi kurang sehat.
di depan ruang Unit Kesehatan Dayah
Sesampainya di sana, keponakanku sudah berada di dalam ruangan Unit Kesehatan Dayah dengan kondisi cukup lemah, tidak seperti biasanya. Dia memiliki riwayat syndrome dispepsia atau lebih dikenal asam lambung, ditambah lagi dengan kebiasaannya yang memang sedikit susah untuk diajak makan.
Apalagi saat sudah mulai mondok, dia menjadi lebih susah untuk makan. Alasannya sangat umum, karena makanan di sana tidak sesuai selera. Alasan klasik para santri.
Setelah beberapa jam kami berada di sana, kami memutuskan untuk pulang. Keponakanku juga sudah dicekoki obat asam lambung yang menjadi asupan rutinnya. Senyumnya juga kembali cerah, selain asam lambung ternyata dia juga juga menderita karena rindu akan ibunya.
Yahh, begitulah kehidupan para santri yang sedang berjuang dengan semua tantangannya. Tidak ada harapan selain semoga dia betah untuk mengemban ilmu dunia dan akhirat di sana. Fii amanillah, sayang.
Terima kasih sudah membaca tulisan singkatku hari ini. Semoga ada hal baik yang dapat dijadikan contoh dan pelajaran.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Hello friend!
I'm @steem.history, who is steem witness.
Thank you for witnessvoting for me.
please click it!
(Go to https://steemit.com/~witnesses and type fbslo at the bottom of the page)
Thanks 😊
Curated By - @chiabertrand
Curation Team - Team 3
Thanks a lot for voting me 😊
Hi @zahraidami,
Always endeavor to use your club #tag on all your posts
@chiabertrand
Ok, i'll use that tag later. Thanks 🙂