Omset Triliunan, Etika Numpang Lewat
Tak berkelaluan kita berseliweran di media sosial, mengernyitkan dahi dan merasa geli dengan brand owner yang doyan flexing. Mereka-mereka ini bukan hanya hobi pamer barang, tapi juga memahat monumen maya dari “kesuksesan” yang mereka bawa bak hadiah dari langit.
Anda pasti pernah dengar cerita tentang sekian banyak brand owner skincare yang hobi menebar puji-puji diri sendiri di TikTok? Well, saya juga pernah. Dan memang, kalau bukan karena mereka mendadak viral setelah produknya direview “doktif” (untuk diksi aneh ini, cari sendiri di internet) dan hasil uji laboratorium independen menunjukkan kandungan berbahaya dalam produk tersebut, saya mungkin tidak akan memperhatikan sama sekali.
Saya bukan orang yang alergi sama kemajuan bisnis orang lain, apalagi kalau mereka benar-benar berhasil. Yang mengumpani perhatian saya bukan semata-mata kandungan dalam produk ecek-ecek yang dicatut overclaim, melainkan respon para owner.
Bukannya mengoreksi, berbenah, atau bahkan sekadar berterima kasih atas kritik yang waras, mereka malah memilih lajur yang agak lain. Membuat video tantrum, menantang reviewer dengan gaya drama ala televisi murahan. Saya sampai pada vonis bahwa uang tak bisa membeli kelas. Uang bisa membeli banyak hal, tapi sayangnya kelas dan ethics tak termasuk di dalamnya.
Sikap yang mereka tunjukkan ini menurutku lebih mirip anak kecil yang marah karena mainannya diambil, bukan seorang pemimpin bisnis dengan omzet triliunan yang berwibawa. Kalau benar mereka punya omset sebesar itu, kenapa cara mereka merespon kritik malah bikin aku mikir dua kali soal level kelas sosial mereka?
Beberapa orang mengadukan, “sukses bukan cuma soal apa yang kamu dapatkan, tapi juga bagaimana kamu merespon kesulitan.” Tapi kalau responnya tantrum kayak begini? Aduh, lebih cocok masuk kategori “kelas ekonomi” ketimbang “kelas bisnis.”
Kenapa brand owner (terutama di industri skincare) suka sekali marah-marah saat produknya di-review negatif? Apalagi kalau hasil laboratorium independen menunjukkan produk mereka mengandung bahan berbahaya dan cenderung overclaim.
Jawabannya ya simpel, mereka takut. Takut kebohongan mereka terkuak, takut penjualan anjlok, takut nama baik tercoreng. Mereka takut kalau customer mulai meragukan keaslian klaim mereka, karena endingnya produk yang dulu dijual dengan harga melambung tinggi jadi tak lebih dari barang yang dicap “isinya air atau gliserin doang.”
Ketakutan inilah yang bikin mereka bertindak absurd. Dari luar terlihat seperti sok cool dan defensif, tetapi hatinya menggigil. Lucu, kan? Orang yang hobi flexing, pamer omset, pamer kemasyhuran, ternyata segitu takutnya pada satu kalimat kritik. Nah, masalahnya, mereka tidak tahu caranya merespon kritik dengan elegan. Alih-alih belajar dan memperbaiki kesalahan, mereka malah membuat video yang isinya menantang reviewer dengan nada marah seolah-olah mereka korban. Waduhhh!
Padahal, kalau mau berpikir sedikit lebih dewasa, respons yang lebih tepat bisa seperti ini: "Terima kasih atas review-nya. Saya akan segera melakukan investigasi terhadap produk saya. Dan jika ada kesalahan, saya akan menarik produk tersebut dari pasaran."
Beres, kan?
Ada lagi alasan yang sering dipakai: “Banyak yang bergantung pada bisnis saya, kalau bisnis saya tutup, gimana nasib mereka?”
Ampun ah!
Media sosial memang tempat paling fertil untuk memamerkan kekayaan. Sebenarnya saya setuju. Tapi ada bedanya antara memamerkan kesuksesan dengan bermartabat dan sekadar flexing yang tak ada substansinya. Mereka yang benar-benar “sukses” tidak perlu berteriak-teriak tentang omsetnya atau berusaha meyakinkan dunia bahwa mereka berharga. Tidak perlu bejibun kamera untuk mengabadikan semua hal-hal keduniawian yang melekat pada mereka.
Flexing itu adalah ekspresi dari rasa insekuritas yang dimiliki seseorang. Ini aku pernah dengar dari sebuah siniar bergenre psikologi dan semakin aku pikir-pikir, ada benarnya. Orang yang terus menerus menunjukkan kekayaan, status, atau kesuksesan di media sosial lumrahnya sedang mencoba meyakinkan diri mereka sendiri, bukan orang lain.
Flexing adalah cara mereka menutupi rasa takut bahwa mereka sebenarnya tidak seberharga itu tanpa atribut-atribut materi yang mereka pertontonkan. Kalau dia tidak menunjukkan itu semua, lantas apa yang tersisa dari dirinya?
Sebagai orang yang sudah cukup sering melihat fenomena ini di dunia nyata, aku jadi semakin yakin dengan keputusanku untuk tidak akan pernah membeli produk dari brand owner yang hobinya flexing di media sosial. Ya, bukan hanya karena aku muak melihatnya, tapi karena itu tanda bahwa ada sesuatu yang salah di balik bisnis tersebut.
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.
mereka hanya kebetulan beromset sangat banyak dan terliput media (memilih mengucurkan uang untuk mengeskspos dirinya sendiri), itu saja beda mereka dengan kebanyakan penjual obat palsu yang sekarang banyak bertebaran di masyarakat, dan pemerintahh, emang mereka ke mana? jwabannya ya itu kan bukan kerjaan pemerintah. Hehe.
Your explanation is very good about Social Media are full of brand owners who likes to show off the sucess.Great dear.Stay blessed