Catatan Petualangan Ala-ala (Part I): Kapal Rohingya
Perjalanan kali ini bukanlah sebuah ekspedisi penuh adrenalin yang menguji limit di puncak gunung, tidak pula ditemani angin yang menderu tajam dan udara yang merangsek ke dalam paru-paru. Perjalanan yang saya abadikan dalam seri menyelesaikan beberapa urusan yang berkaitan dengan pekerjaan, keluarga, atau sekedar melepaskan penat.
Beberapa lanskap menarik sempat saya abadikan, dan sayang sekali kalau dibiarkan di galeri pribadi tanpa dibuatkan satu postingan pun. Siapa tahu bisa menutup biaya kopi (irit coy!)
Hari itu matahari sedang sangat terik. Saya berkendara melewati jalanan gersang Laweung-Krueng Raya yang jarang dijadikan jalur prioritas SIgli-Banda Aceh (kecuali jika Anda adalah seorang penggemar tanjakan terjal atau pecinta jalanan berlubang). Sebuah pemandangan tak terduga tiba-tiba memancing rasa penasaran saya. Mata saya yang sudah mau juling mendadak menangkap sebuah bangkai kapal terdampar di perairan Laweung.
Kapal tersebut tak seperti kapal nelayan biasa yang sering ditemui di pesisir Aceh. Ia tampak agak “eksotis,” seperti kapal-kapal nelayan Thailand. Saya memutuskan untuk berhenti sejenak, bukan hanya untuk memuaskan rasa penasaran, tetapi juga untuk memberi tubuh saya jeda setelah berkendara jauh menggunakan sepeda motor.
Di dekat bangkai kapal itu terparkir, ada sebuah warung kecil milik warga setempat ang agak menjorok ke tebing. Sebuah tempat yang ideal untuk bersantai sambil memesan minuman bersoda yang digelontor dengan es batu, supaya sedikit bisa melupakan betapa teriknya matahari siang itu.
Warung itu adalah tempat sempurna untuk bersaksi atas kisah yang terselip di balik kapal hantu di hadapan saya saat ini. Dalam basa-basi singkat dengan pemilik warung, saya diberi tahu bahwa kapal itu ternyata bukan sekadar kapal nelayan biasa, melainkan kapal yang ditumpangi oleh imigran Rohingya.
Tahun 2023, sebuah kapal yang digunakan pengungsi Rohingya itu berasal dari hasil patungan mereka sesama pelarian yang kemudian diserahkan kepada agen jaringan internasional yang menjanjikan mereka kehidupan baru di negeri jauh. Perlu diselidiki lebih lanjut bagaimana kondisi riil di negaranya sehingga mereka dalam kondisi statelessness dan terombang-ambing seperti saat ini. Kenyataannya adalah mereka tidak punya tempat untuk pulang, tak ada tanah yang mengakuinya.
Siapa yang mau bertaruh nyawa di lautan luas jika kehidupan di daratan lebih baik. Taruhan sebagai sesama pelarian ini bukan hanya nyawa mereka sendiri, namun juga harapan dan mimpi tentang masa depan yang lebih baik.
Setelah mengarungi nasib kapal itu dan kisah di baliknya, saya kembali meneguk minuman bersoda saya yang sudah tinggal setengah.
Dan begitulah bagian pertama dari cerita perjalanan darat yang saya lakukan. Tetaplah mengikuti kisah ini, siapa tahu akan anda temukan lagi sesuatu yang menarik di cerita perjalanan selanjutnya. Hitung-hitung menambah postingan aktif saya.
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.
Congratulations! Your post has been upvoted through steemcurator06.
Good post here should be . . .
Curated by : @𝗁𝖾𝗋𝗂𝖺𝖽𝗂